KOMPAS/HANDINING

Ilustrasi

Saat ini, ketika tidak berhadapan langsung dengan lawan bicara, orang bisa ngomong apa saja melalui media sosial. Memuji, mengultuskan, bahkan marah dan mencaci maki. Orang bisa mengetik untuk mendukung atau membantah pihak lain sambil tiduran, masak, menonton TV, mengendarai mobil, dan seterusnya. Tak ada rasa sungkan karena merasa tak ada hambatan psikologis untuk menyampaikan pesan atau komentar ketimbang berhadapan langsung secara tatap muka dengan lawan bicara.

Banyak sekali ujaran dengan menggunakan kosakata kafir, cebongPKI, murtad, ahli neraka jahanam, dan sebagainya. Sikap intoleransi begitu mudah dipertunjukkan secara massal dan monumental. Pasalnya, sebagian mereka tak sadar bahwa apa yang mereka sampaikan itu sudah tersimpan di dunia maya dalam bentuk digital footprint yang kapan saja bisa dibuka kembali. Apa yang diyakini kaum agamawan sebagai lauhul mahfudz, yang menyimpan semua dokumen rahasia kehidupan kita, saat ini sudah teraplikasi dalam bentuk digital footprint, yang tentu saja berkat izin Tuhan ditemukan oleh kualitas kecerdasan manusia.

Namun, apakah sikap intoleransi manusia terhadap pendapat, paham, ras, dan bangsa lain itu suatu gejala baru yang merupakan efek negatif dari penggunaan media sosial (medsos)? Tentu saja tidak. Sebab, dari zaman ke zaman manusia memang memiliki sifat dasar intoleran sebagai naluri bawaan terhadap orang lain (liyan) yang bukan kelompok dan golongannya. Mereka memandang pihak lain sebagai ancaman. Paham dan ajaran apa pun yang berbeda dengan pahamnya harus disingkirkan.

Kita punya pengalaman tentang ambisi kekuasaan Orde Baru (pasca-1965) yang mengorbankan ratusan ribu manusia hanya karena perbedaan paham dan ideologi yang dianggap sebagai ancaman. Di belahan dunia lain, banyak spesies manusia telah punah oleh praktik-praktik genosida yang diabadikan oleh monumen sejarah, sebagai bukti dari sifat dasar intoleransi manusia.

Sifat seorang psikopat

Penguasa yang memiliki paham terhadap pemusnahan spesies manusia tak ubahnya dengan pribadi-pribadi yang dalam istilah kriminologi disebut "psikopat". Namun, akhir-akhir ini telah disosialisasikan suatu penemuan mutakhir dari Australian National University, mengenai kelemahan-kelemahan para psikopat yang tidak mampu membedakan ekspresi wajah, gestur, dan emosi seseorang yang sedang mengalami rasa sedih dan takut.

Penguasa yang berjiwa psikopat siap-siap saja akan diviralkan generasi milenial karena terbukti akan menampakkan gestur dan wajah yang berbeda dengan manusia normal dalam menyikapi ketakutan dan kesedihan. Ada rasa empati yang terekspresikan dari otot, lekukan wajah, hingga pancaran mata, ketika seseorang menyaksikan kejadian dramatis yang menyangkut kesedihan atau ketakutan. Namun, seorang penguasa yang memiliki spektrum psikopat tinggi ternyata tidak punya reaksi seperti halnya orang-orang biasa.

Mereka bisa saja pura-pura menampakkan reaksi dan respons yang dibuat-buat terhadap suatu kejadian atau tragedi, tetapi secara kasatmata ataupun kejiwaan akan terdeteksi juga. Tanyakan saja pada insting anak-anak atau orang-orang buta, akan mudah mereka mendeteksi penguasa psikopat dengan kualitas kemanusiaan yang rendah, kaku (rigid), dan penuh kepura-puraan.

Salah satu pendukung kandidat presiden di republik ini barangkali akan protes terhadap hasil penemuan menakjubkan yang dipublikasikan jurnal Personality Disorder: Theory, Research, and Treatment, yang telah berhasil mengumpulkan 140 narapidana dalam kasus pembunuhan tingkat tinggi. Semua partisipan mengamati sejumlah foto yang memperlihatkan ekspresi wajah dengan ragam emosi, mulai dari emosi palsu sampai dengan tulus.

Ternyata, orang-orang yang memiliki kadar sifat psikopat tinggi perasaannya dangkal dan empatinya begitu rendah. Mereka tak bisa membedakan ekspresi yang sebenarnya, dengan ekspresi palsu yang dibuat-buat.

Di sisi lain, para psikopat itu mahir sekali membaca emosi orang yang marah, senang, atau orang yang menolak dan menentang. Namun, orang yang sedang mengalami tekanan yang menimbulkan rasa sedih dan takut, mereka tidak mampu membacanya dengan baik.

Seorang psikolog kriminal, Robert D Hare, menjelaskan tentang sifat dan kelainan emosional pada jiwa psikopat dan pelaku terorisme. Baginya, banyak orang yang memiliki kecenderungan psikopatis merasa tak mampu menghentikan atau menunda sebuah perilaku yang merugikan banyak orang.

Kita pernah membaca karakteristik seorang penderita delusi skizofrenia (dalam novel Pikiran Orang Indonesia), di saat tokoh utamanya merasa ada suara-suara batin yang menegur dan melarang dirinya berbuat jahat yang bisa mencelakakan orang lain. "Ketahuilah," ujar Robert Hare, "hasil penelitian kami menunjukkan para psikopat tidak memiliki suara-suara batin untuk menghentikan kebiasaan jahatnya."

Karena itu, mereka memiliki rasa empati yang amat rendah sehingga tak heran jika perasaan dan kepekaannya begitu dangkal dalam membaca gestur dan ekspresi orang-orang yang ada di sekitarnya. Di sisi lain, psikolog Arielle Baskin Sommers dari Yale University telah berhasil menemukan kelemahan lain pada psikopat, yakni mereka hanya bisa bekerja dengan konsentrasi jika tak ada gangguan di sekelilingnya. Namun, jika ada gangguan— termasuk istri dan anaknya sendiri—mereka tak bisa melakukan sesuatu secara fokus dan serius.

Naluri dan sifat kemanusiaan

Manusia adalah satu-satunya spesies yang memerlukan pertolongan pihak lain saat melahirkan anak. Hewan lain tidak memerlukannya. Bayi manusia dilahirkan sangat prematur dibandingkan spesies lain. Hewan dilahirkan dalam keadaan fisik yang cukup matang sehingga hanya memerlukan waktu pengasuhan yang singkat oleh induk mereka sebelum dilepaskan secara mandiri. Adapun bayi manusia terlahir sangat lemah sehingga memerlukan waktu pengasuhan yang panjang oleh orangtuanya.

Kelahiran prematur pada bayi manusia memungkinkan tumbuhnya jiwa kemanusiaan karena hubungan emosional yang kuat antara anak dan orangtua. Kehadiran pihak lain, bidan atau paraji, yang memberikan pertolongan saat persalinan, mendorong tumbuhnya rasa simpati dan empati antarsesama manusia. Rasa simpati dan saling membutuhkan pertolongan itu terus berkembang dengan baik, sebagai naluri bawaan dalam jiwa manusia pada nilai-nilai kemanusiaan.

Tak terkecuali pemimpin atau tokoh masyarakat, kemampuan nalarnya akan banyak terilhami dari pengalaman hidupnya, terus meningkat dari waktu ke waktu, hingga semakin terampil untuk memperlakukan orang lain sebagai manusia (memanusiakan manusia). Ia akan semakin mahir dalam mempertimbangkan baik dan buruk, benar dan salah, bahkan adil dan sewenang-wenang. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia terus melakukan introspeksi dan mengevaluasi diri, untuk menciptakan pembaruan dalam hubungan yang lebih baik, demi mewujudkan relasi ideal antarsesama manusia.

Hubungan antarmanusia menunjukkan adanya gerak menuju satu kesatuan besar yang dilandasi prinsip-prinsip kemanusiaan. Karena itu, kita menjadi akrab dengan berbagai bentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial, bahkan punya kepekaan dan kepedulian untuk menolong sesama manusia, meski lintas bangsa dan negara. Bantuan sosial untuk bencana alam atau  bencana kemanusiaan semakin hari semakin tumbuh dan berkembang. Meskipun belum seideal yang kita harapkan, kita semua sedang bergerak dan melangkah ke arah sana.

Oleh karena itu, sikap-sikap intoleransi yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan rasanya sulit untuk menempati posisi strategis di republik ini. Karena bagaimanapun, intoleransi adalah bakat alam yang tak mungkin dikembangkan, dan setiap gejala intoleransi akan selalu tampak sebagai tindakan kuno dan kolot, yang hanya dilakukan oleh orang-orang sekelas psikopat tak berperikemanusiaan.

Bahkan, beragama dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sama sekali tak akan membawa kemajuan dalam peradaban umat manusia.