KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Mas Alit yang menjadi tokoh pemimpin masyarakat Banyuwangi saat itu merancang pertunjukan gandrung sebagai upaya tipu daya untuk melumpuhkan Belanda.

Ancaman terbesar dari tumbuh kembangnya kemanusiaan di suatu negeri terletak pada ketidakmampuan untuk mengenal dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan prasyarat kebangkitannya, terletak pada kemampuan literasi segenap warga negara untuk mengenal, belajar, dan menggerakkan pusparagam kebudayaan yang menjadi warisan negerinya.

Inilah sebetulnya maksud Bung Karno ketika beliau meletakkan prinsip berkepribadian dalam kebudayaan dalam platform Trisakti yang ia serukan pada tahun 1963.

Hari ini bangsa Indonesia tengah menghadapi persoalan yang menentukan masa depannya. Persoalan itu muncul dari menyebarnya sentimen populisme sayap kanan dalam panggung politik.

Sentimen ini tampil dalam penolakan terhadap kaum minoritas, benturan berbasis identitas ataupun kemarahan simbolik atas pembakaran bendera ormas terlarang. Corak populisme sayap kanan ini mengikat para pendukungnya dengan identifikasi kultural sebagai kelompok superior berbasis identitas dan menempatkan yang lain dalam posisi inferior.

Sentimen populisme

Kecenderungan bangkitnya populisme di Indonesia merupakan bagian dari keresahan dunia. Keresahan yang juga dihadapi Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris, tersambung oleh krisis sosial yang menerpa dunia semenjak dekade awal abad ke-21.

Situasi yang memprovokasi kalangan kelas menengah rentan (precariat middle class) akan ancaman pemiskinan sosial. Sementara dalam ruang sosial kebudayaan di bawah dikte etos kapitalisme neoliberal, warga kehilangan pergaulan sosial yang hangat berbasis komunitas. Keadaan seperti ini berlangsung dalam konteks makroekonomi-politik pemanfaatan keresahan sosial tersebut dalam pertarungan antarfaksi oligarki untuk memperebutkan sumber daya negara.

Erich Fromm—ilmuwan psikoanalisis—dalam karya klasiknya, The Fear of Freedom (1942), telah mengingatkan ancaman disintegrasi sosial dan menyebarnya suasana kebencian seperti saat ini dalam konteks pengalaman hidupnya pada saat tumbuhnya fasisme Hitler di negerinya. Kombinasi antara krisis ekonomi, alienasi sosial, dan absennya kekuatan sosial inklusif adalah situasi yang matang bagi sebagian besar warga untuk berlari dari kebebasan, tunduk pada otoritas politik berbasis otoritas bercorak seragam yang menguat seiring dengan terbakarnya ruang hidup oleh narasi kebencian sebagai bahan bakar kebangkitannya.

Belajar dari penjelasan Erich Fromm, itulah sebabnya, ketika melihat realitas sosial Indonesia saat ini, kita menyaksikan bahwa populisme sayap kanan perlahan-lahan tampil memengaruhi panggung politik berdasarkan narasi apokaliptik berbasis cerita perang identitas, rumor soal kaum minoritas yang menolak supremasi mayoritas ataupun hoaks konspirasi asing yang akan menguasai Indonesia. Kebencian dan kehendak untuk mendominasi ini didorong penyebaran narasi yang jauh dari fakta sosial ataupun informasi berlandaskan pengetahuan.

Hantu populisme yang menebar gelapnya kebencian hanya dapat dihadapi oleh cerita mencerahkan untuk menerangi keterasingan sosial. Aktivis sosial dan neuroscientist George Marshall, dalam Don't Even Think About It (2015), menjelaskan bahwa narasi memiliki fungsi fundamental dalam membentuk wawasan kognitif kita.

Narasi adalah materi bagi otak emosional untuk meneguhkan keyakinan atas fakta dan data yang diserap oleh otak rasional. Oleh karena itu, pemahaman atas informasi, data, dan pengetahuan yang diserap secara rasional tidak akan berubah menjadi keyakinan kolektif tanpa diikat oleh narasi yang meyakinkan.

Sampai saat ini perjuangan melawan sebaran kebencian dan populisme belum diikat oleh narasi kuat yang dapat menghimpun data, pengetahuan, dan informasi menjadi keyakinan yang dapat menggerakkan spirit kewargaan kita.

Pertanyaannya adalah dari mana kita harus memulai pembentukan narasi inklusif bagi keadaban publik? Bukankah lebih baik bagi kita mengelaborasi kekayaan khazanah kebudayaan kita alih-alih mengambil narasi tersebut dari khazanah luar yang juga memiliki tendensi penyeragaman. Sebuah tindakan untuk mengenali diri kita kembali sebagai awal bagi kita memberikan kontribusi sebagai warga dunia dalam kemanusiaan.

Narasi Nusantara, narasi sosial

Penulis mendapat inspirasi ketika diundang Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas untuk menyaksikan festival kolosal Gandrung Banyuwangi pada 20 Oktober 2018. Sebuah festival perayaan kebudayaan dengan partisipasi warga menghadirkan lebih dari 1.000 penari yang diiringi oleh hibridasi racikan budaya lokal dan nuansa selawat Islam Nusantara. Di balik performa yang mengesankan, tersimpan narasi mengagumkan dalam kisah Gandrung Banyuwangi.

Pada awalnya adalah kisah tragis hancurnya peradaban masyarakat Blambangan akibat genosida yang dilakukan VOC saat membantai sekitar 80.000 warga di sana pada tahun 1772, hingga menyisakan tidak lebih hanya 5.000 warga. Sebuah sejarah kelam yang tercatat di dalam karya sastrawan Pujangga Baru, Sanusi Pane (1936), dalam karyanya Sejarah Nusantara.

Di tengah peradaban yang tengah hancur lebur, warga Blambangan bangkit dan menghimpun kembali kekuatan dari warga yang tersisa. Sebagian warga melakukan inisiatif menciptakan tari gandrung. Tarian yang mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta di tengah kepahitan hidup yang mereka alami. Mereka berkeliling dari desa, hutan, dan penjuru gunung, menghibur warga dan membagikan uang dan barang yang didapatkan dari hasil pertunjukan itu untuk menyambung hidup warga yang tengah tertimpa kesulitan hidup.

Gandrung Banyuwangi adalah salah satu butir dari untaian mutu manikam kebudayaan Nusantara yang memberikan narasi ampuh kepada kita. Riwayat gandrung mengabarkan pesan untuk membangun kembali ikatan sosial yang terbuka, menyapa mereka yang terpinggirkan oleh tekanan krisis, memintal benang harapan di tengah alienasi sosial. Narasi Gandrung Banyuwangi adalah kisah sosial yang mengagumkan juga karena subyek protagonis yang mengembalikan spirit hidup adalah kaum marjinal, bukan bangsawan, aristokrat, maupun elite. Ada esensi demokrasi dalam Gandrung Banyuwangi.

Khazanah kebudayaan Nusantara merupakan taman sari narasi sosial yang tengah merindu untuk dieksplorasi bagi kebangkitan kembali bangsa ini dari gelapnya narasi kebencian dan antagonisme kultural. Kebinekaan Indonesia itu perlu dihayati dan diberdayakan sebagai jalan bagi kita untuk berkepribadian dalam kebudayaan di ufuk era milenial.