Pajak layanan digital menjadi salah satu agenda perpajakan internasional sejak terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang diduga dilakukan oleh perusahaan layanan digital raksasa seperti Google dan Amazon (BBC.com, 21 Mei 2013).
Berbagai proposal diajukan, tetapi belum ada konsensus global mengenai jenis pajak, kriteria pelaku usaha, tarif pajak, dan cara pemungutan pajak yang akan diterapkan. Kristiaji (2018) mengidentifikasi tiga penyebab sulitnya mencapai konsensus itu, yaitu ketiadaan solusi terbaik, dilema memajaki layanan digital yang telah memberi nilai tambah bagi masyarakat, dan sulitnya melakukan koordinasi perpajakan di tingkat global.
Salah satu rencana aksi dari Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan yang diusung oleh OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) dan G-20 telah membahas isu ini pada Interim Report 2018 tentang Tax Challenges Arising from Digitalisation.
Dalam dokumen itu, OECD/G-20 mengajukan proposal pengenaan excise tax on e-services, yang merupakan instrumen transisi (interim measure) menuju reformasi pajak atas layanan digital yang seutuhnya. Pengenaan pajak transisi (interim tax) juga diusulkan oleh Komisi Uni Eropa, yang mengajukan proposal Digital Services Tax (DST) pada 21 Maret 2018. Tarif DST diusulkan sebesar 3 persen, dan akan dikenakan kepada perusahaan layanan digital yang memiliki konsumen di wilayah Uni Eropa dan memenuhi syarat tertentu. Sementara itu, di Indonesia, pajak layanan digital direncanakan sebagai bagian dari rezim Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Prastowo: 2018).
Baik diformulasikan secara unilateral maupun multilateral, pajak layanan digital dipungut berdasarkan desakan untuk "menghukum" perusahaan layanan digital yang dianggap telah mendistorsi fungsi redistribusi pendapatan dari pemungutan pajak. Desakan tersebut melahirkan solusi yang responsif dan berlaku dalam jangka pendek.
Kebijakan perpajakan yang diciptakan pun tidak merefleksikan evolusi layanan digital dalam kurun dua dekade terakhir. Akibatnya, berbagai proposal pajak layanan digital tidak memiliki landasan konseptual yang kuat sehingga justru menciptakan ketidakadilan baru, terutama karena pajak tersebut didesain khusus untuk membidik perusahaan layanan digital raksasa, sehingga terkesan diskriminatif.
Dua kelemahan
Ada dua kelemahan konseptual dari pajak layanan digital yang menyebabkan pajak ini sulit dikenakan. Pertama, pengenaan DST dilandaskan pada paradigma penciptaan nilai, di mana nilai dari perusahaan layanan digital dianggap terakumulasi di negara tempat konsumennya berada. Bukan di negara tempat perusahaan layanan digital atau server yang digunakan untuk bisnisnya berada.
Berdasarkan paradigma ini, negara yang menjadi lokasi pasar dari perusahaan layanan digital berhak memungut DST atas laba usaha yang diperoleh perusahaan itu di negaranya. Profesor Deveraux (2018) menilai bahwa paradigma ini samar karena—pada praktiknya—banyak faktor yang memengaruhi nilai perusahaan layanan digital, di antaranya volatilitas pasar uang.
Kedua, sebagai pajak yang membidik perusahaan layanan digital sebagai subyek pajak, DST justru menerapkan prinsip yang melandasi pemungutan pajak obyektif, yaitu prinsip destinasi (destination principle) yang melandasi pemungutan PPN. Prinsip itu memberikan hak pemungutan PPN kepada negara tempat barang kena pajak atau jasa kena pajak dimanfaatkan, sehingga tercipta netralitas perlakuan pajak di negara pasar. Dengan menganut paradigma bahwa penciptaan nilai (value creation) ada di negara tempat konsumen berada, sejatinya DST mengakui prinsip destinasi.
Prinsip destinasi ini tidak kompatibel untuk diterapkan pada jenis pajak subyektif seperti DST. Pemungutan DST justru menyerupai Pajak Penghasilan (PPh) karena basis pajaknya dihitung dari penghasilan yang diterima oleh penyedia layanan digital. Secara tradisional, hak untuk memungut PPh atas laba usaha diberikan secara eksklusif kepada negara tempat pengusaha berada, kecuali pengusaha tersebut memiliki bentuk usaha tetap di negara tempat konsumen berada. Dengan demikian, ada pertentangan paradigma antara penciptaan nilai dan pemungutan PPh atas laba usaha.
Dualisme paradigma ini tidak dapat dibenarkan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagaimana diungkapkan Profesor Deveraux (2018), dualisme ini menunjukkan inkonsistensi negara dalam memungut pajak. Di satu sisi, terhadap perusahaan non-layanan digital dalam negeri, negara akan memungut PPh atas laba usaha yang dierima oleh perusahaan itu dari luar negeri. Di sisi lain, terhadap perusahaan layanan digital luar negeri, negara yang sama akan memungut DST atas keuntungan yang diterima oleh perusahaan itu di wilayahnya.
Akhirnya, perusahaan layanan digital sejatinya memiliki tabiat yang sama dengan perusahaan non-layanan digital. Keduanya adalah subyek pajak yang akan selalu mengupayakan penghematan pajak (tax savings) demi mendapatkan laba usaha sebesar-besarnya.
Sebagai pihak yang selama ini menjadi penonton dari perkembangan layanan digital, negara tidak dalam posisi yang kuat untuk menuntut hak pemungutan pajak. Apalagi, pengenaan pajak tersebut bermotif "penghukuman" akibat kerugian penerimaan negara, yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Arsitektur dari suatu rezim pajak menghendaki pilar-pilar prinsipiil yang kokoh sehingga menghasilkan bangunan rezim pajak yang kokoh pula. Pilar-pilar ini membutuhkan waktu untuk dapat berdiri tegak. Seperti peribahasa: Roma tidak dibangun dalam satu hari!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar