Temuan survei mengukuhkan pandangan proklamator Mohammad Hatta. Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa. Korupsi menjadi bagian dari praktik sehari-hari. Hasil temuan KPK itu seperti ditulis harian ini menyebutkan, "Praksis korupsi masih terjadi karena siapa pun yang berupaya melaporkannya kepada penegak hukum justru dikucilkan dari lingkungan kerja dan kariernya dihambat."
Bahkan, menurut temuan survei ini, ada lembaga yang menolak lembaga itu disurvei. Sikap politik lembaga itu jelas amat menimbulkan pertanyaan.
Temuan survei itu menunjukkan ada masalah besar dalam budaya birokrasi kita. Korupsi seperti sudah menjadi oli pembangunan dari kehidupan birokrasi. Uang negara yang diperoleh dari pajak atau penerimaan negara bukan pajak dijadikan bancakan bersama. Segala urusan yang berkaitan dengan publik dijadikan sarana untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Birokrasi perizinan dipersulit karena semakin sulit, berarti ada transaksi untuk mempermudah.
Dalam situasi oligarki korupsi di lingkungan birokrasi, orang yang berniat baik melaporkan terjadinya penyimpangan, berani berbeda sikap, justru dikucilkan dari lingkungan kerja, disingkirkan, dan kariernya dihambat. Kebiasaan itu menunjukkan birokrasi kita sedang sakit parah dan kronis. Perkembangan budaya korupsi di birokrasi sebagaimana hasil temuan Survei Penilaian Integritas sungguh mengecewakan publik.
Elite politik harus ingat gerakan reformasi Mei 1998 telah menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya. Ribuan orang tewas dalam gerakan reformasi Mei. Bundaran Semanggi dan sejumlah tempat lain menjadi saksi perjuangan mahasiswa melawan korupsi dan Orde Baru.
Ketetapan MPR Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ditandatangani November 1998. Namun, 20 tahun lalu, semangat perjuangan untuk Indonesia yang bersih dari korupsi, bersih dari kolusi, dan bersih dari nepotisme mulai kedodoran. Korupsi tetap terjadi. Kolusi atau persengkongkolan mulai tampak, nepotisme mulai kelihatan.
Ada gejala kemunduran bangsa ini. Situasi ini haruslah disikapi serius oleh Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Revolusi Mental saja tidak cukup. Jargon reformasi birokrasi dalam pidato-pidato menteri terlalu normatif. Butuh langkah dan pemimpin berani sebagai terapi kejut untuk membenahi dan membersihkan birokrasi. Sejumlah alternatif kebijakan tersedia, termasuk memensiunkan birokrat korup, tetapi untuk itu dibutuhkan pemimpin berani yang punya nyali untuk menyelamatkan bangsa dari korupsi dan bukan hanya berpikir pemilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar