DOKUMENTASI UMM

Dosen dan akademisi melakukan long march mulai dari kampus I UMM di Jalan Bandung Kota Malang hingga ke sekitar Alun-Alun Tugu Kota Malang.

Tesis Azyumardi Azra benar bahwa potensi radikalisme itu sangat besar di perguruan tinggi. Bukan hanya pandangan radikal, bahkan tindakan teror pun terjadi di perguruan tinggi.

Kalau dilihat, itu dilakukan bukan hanya dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi (PT) Islam, melainkan juga PT umum yang notabene berkembang dalam aura rasionalitas sekularistik.

Kegersangan spiritual

Mengapa itu terjadi? Pertama, ada kegersangan spiritual. Sivitas akademika mencari tempat-tempat yang diharapkan dapat mengobati kegelisahan jiwa, sayangnya salah langkah. Agama sebagai ruang penyembuhan spiritual malah dipenuhi doktrin agama yang sifatnya pedagogis dan destruktif: menghasut dan merusak.

Kedua, pada akses bacaan. Kaum kampus, bukan hanya mahasiswa, melainkan juga dosen, termasuk guru besar, mengonsumsi bacaan-bacaan yang tidak terarah. Agama diliterasikan secara intoleran dan permusuhan. Agama hadir dengan sensitivitas sensorik dan otodidak.

Pembelajaran agama dikembangkan oleh orang yang tidak punya kredibilitas. Oleh karena itu, kesalahan dalam memahami konsep agama mengakibatkan kesalahan dalam pelaksanaan agama.

Tindakan-tindakan teror atas nama agama umumnya akibat kesalahan memahami agama. Mereka tidak mampu menerjemahkan teks yang dibaca lalu merelevansikannya dengan realitas kontekstual. Teks agama yang dipelajari secara literalistik itu diperlakukan seperti mesin pembabat rumput yang harus membabat semua konteks sosial yang dianggap tidak sesuai dengan teks agama yang dipahami secara sempit itu.

Semangat untuk mempelajari agama membuat mereka terlarut emosi sehingga kesulitan untuk berpikir rasional dan kritis. Padahal, kritisisme adalah ciri utama dari mahasiswa ideal. Akan tetapi, belakangan ini kritisisme itu sudah memudar akibat budaya pragmatisme.

Peringatan ini harus dipahami siapa saja yang sadar bahwa radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama itu sangat buruk. Kita harus peka dan waspada terhadap segala tindakan pembelajaran agama karena di sana mengandung potensi radikalisme.

Mengapa demikian? Sebab, apabila diabaikan, pembelajaran agama yang tidak terarah akan menjadi potensi terorisme. Untuk itu, semua kalangan yang sadar—baik itu guru, akademisi, maupun ulama—harus terus-menerus mengawasi kegiatan pembelajaran agama agar tidak disusupi oleh ide-ide yang mengarah pada indoktrinasi ajaran radikal, subversi, dan intoleransi.

Setiap pembelajaran agama harus melalui pendidik yang benar-benar memahami esensi agama. Pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam melindungi warganya dari potensi munculnya radikalisme dan intoleransi dalam beragama.

Program pemerintah yang mengejar kuantitas penerbitan buku untuk bersaing dengan negara lain dalam angka penerbitan buku harus diiringi dengan seleksi yang ketat atas buku-buku yang beredar. Masalahnya, kontrol sangat lemah sehingga peredaran buku-buku yang mengedepankan semangat gerakan salafi radikal sangat banyak beredar di masyarakat.

Buku-buku sejenis itu hanya sebuah etalase untuk kembali ke masa lalu tanpa mau melongok masa depan. Emosi dan naluri dikedepankan sehingga menyebabkan munculnya tindakan-tindakan teror. Tidak mengherankan jika tindakan-tindakan teror atas nama agama itu tidak muncul dari kalangan yang berlatar belakang santri, tetapi dari pembelajar otodidak yang tidak memahami semangat pengetahuan agama.

Dalam hal ini, PT, terutama yang bernuansa Islam, harus terus-menerus memperbaiki segala hal menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Agama harus mampu dimunculkan dalam ruang perbincangan yang kritis dan dialektis sehingga bisa melihat perubahan sosial-kemasyarakatan secara responsif.

Maka, tak heran jika saat ini PT Islam melebarkan sayapnya membuka fakultas dan program studi pendidikan non-agama sehingga pendidikan agama muncul dalam langgam yang lebih kompleks dan komprehensif.

Tantangan PT Islam

Menghadapi berbagai tantangan baru, PT Islam atau perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) harus terus-menerus berbenah, mengejar standar pendidikan ideal dan mencegah munculnya potensi radikalisme dan intoleransi di tengah-tengah masyarakat umumnya dan di kalangan mahasiswa khususnya.

Untuk itu, modernisasi segala hal yang menyangkut penyelenggaraan tridarma PT harus terus-menerus digalakkan. Karena kewajiban PT adalah suksesi tridarma pendidikan, pengajaran, dan pengabdian masyarakat,  modernisasi berkesinambungan jadi tuntutan yang harus dihadapi.

Dalam spirit Cak Nur (Nurcholish Madjid), modernisasi adalah semangat primordial yang terkandung dalam Al Quran dan sunah.  Akademisi PT Islam harus punya bekal pemikiran yang moderat. Moderasi Islam idealnya harus ditempuh melalui optimalisasi pemahaman agama dan penyatuan diri dengan budaya. Agama berfungsi mengarahkan semangat modernisasi pada persoalan-persoalan yang sesuai dengan prinsip-prinsip religiusitas. Penghayatan kebudayaan yang merupakan tempat kita hidup menyatu dengan alam dan manusia menjadikan modernisasi sebagai sebuah sistem yang berdialektika dengan kebudayaan.

Sebutlah munculnya wacana Islam Nusantara masih banyak yang gagal memahaminya. Padahal, makna Islam Nusantara adalah memahami kompleksitas normativitas agama melalui praktik kebudayaan yang dibenarkan atau telah mengalami proses apropriasi. Kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka harmonisme dengan alam dan lingkungannya.

Orang yang menolak kebudayaannya sama seperti pohon yang dicabut dari tanah. Agama dan budaya mana pun sebenarnya tidak bertentangan, hanya diperlukan kebijaksanaan dalam menjalankannya.

Islam Nusantara adalah kemanunggalan antara Islam dan budaya-budaya yang ada di seluruh penjuru Nusantara. Islam Nusantara telah tegak selama ratusan tahun dengan semangat toleran dan harmonis.

Nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dapat diinternasionalisasikan kepada bangsa-bangsa di dunia.  PT Islam dapat dioptimalkan untuk menjadi agen internasionalisasi keluhuran budaya bangsa yang berhasil mendobrak kejumudan beragama.

Belakangan ini, kampanye Islam damai dan toleran hanya dilakukan beberapa individu akademisi PTKI yang menonjol, seperti Prof Said Aqil Siroj, Prof Azyumardi Azra, dan Prof Nasaruddin Umar. Di masa depan kampanye semacam ini harus lebih masif, tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga lembaga PTKI. Untuk itu, PTKI harus mempersiapkan diri memainkan peran tersebut. Semua itu harus dimulai dari pembenahan internal semua PTKI.

Langkah mendasar dalam pembenahan internal ini adalah akselerasi akreditasi PT dan harmonisasi kehidupan kampus. Pengenalan kampus sangat efektif melalui penelitian yang mengantarkan solusi atas problematika ilmiah dan publikasi jurnal ilmiah, kontribusi nyata dari pengabdian masyarakat.

Tidak kalah penting adalah terbangunnya solidaritas keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan serta kualitas pendidikan yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional. Semua usaha tersebut harus dibangun melalui harmonisasi kehidupan kampus.

Obyektivitas, intelektualitas, dan humanitas harus menjadi budaya di setiap PT sehingga pendidikan tinggi tidak hanya bersih dari potensi radikalisme, tetapi juga menciptakan iklim sivitas akademika yang bebas dari pengaruh buruk radikalisme dan terorisme.