Indonesia adalah rumah kita bersama. Rumah rakyat Indonesia. Sayang, belakangan ini rumah kita sering dilanda kegaduhan.

Ini memang tahun politik. Namun, karena geopolitik yang semakin mencair, kebebasan berpendapat, dan teknologi yang memudahkan pesan tersebar ke mana-mana membuat masyarakat—dalam berpolitik—gemar berkiblat pada ajaran Machiavelli: menghalalkan segala cara. Termasuk dengan memolitisasi agama.

Tahun lalu ada aksi unjuk rasa berjilid-jilid yang mengusung simbol-simbol agama, belum lagi maraknya kaum vigilantis yang ingin menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Semua ini mengisyaratkan ancaman bagi kehidupan bersama dalam berdemokrasi.

Rancangan politik praktis

Jika dicermati, semua aksi tersebut mengindikasikan adanya rancangan politik praktis para komprador. Mereka mengatasnamakan rakyat untuk mencapai ambisi terselubungnya. Setting-annya yang menggunakan pelbagai lambang agama dan isu sensitif biasanya memang bersifat temporer, tetapi menjadi metode baku dan kunci sukses strategi revolusi sebagaimana ditulis dalam buku wajib Gene Sharp, From Dictatorship to Democracy (1994).

Sejarah mencatat, beberapa pergantian kekuasaan berlangsung lewat pola yang sama, yaitu asymmetric warfare—perang tanpa letusan senjata dan tentara. Sebutlah peristiwa lengsernya Presiden Soeharto (1988), Revolusi Warna di negara-negara pecahan Uni Soviet dan Balkan dekade 2000-an, serta periode Arab Spring (2010). Namun, melihat bentuk dan pola kegaduhan belakangan ini, bukan tidak mungkin Indonesia justru menjadi hancur dan kita kehilangan rumah bersama.

Tampak jelas bahwa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah dijadikan momentum untuk menciptakan kegaduhan lewat kompetisi politik tak sehat.

Cara-cara Machiavelli dieksploitasi dengan menggunakan taktik dan strategi rumusan Paul Joseph Goebbels (politics of fear and disinformation), Jerry Falwell (playing victim and politicization of religion), Edward Louis Bernays (playing victim and black propaganda), Harold Dwight Lasswell (magic bullet theory), dan Andrew Little (big problem syndrome) dalam propaganda politik.

Maka, segala bentuk propaganda bermuatan intrik politik tersebut, disadari atau tidak, sesungguhnya merupakan master virus revolusi pencipta kegaduhan, yang sekaligus menggiring opini publik agar pro kepada si pembuat propaganda. Tujuannya? Mendapatkan kekuasaan dengan memenangi kompetisi politik.

Perlu dicermati pula bahwa di era post-truth ini lahir fenomena baru bahwa fakta atau kebenaran tak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan—stakeholder—perlu untuk lebih hati-hati dan tidak menganggap sepele semua kegaduhan politik tak sehat ini.

Apalagi jika sudah menyangkut ujaran kebencian, playing victim, politisasi agama, hingga black propaganda dan penyebaran hoaks (berita palsu). Ingat, ujaran kebencian hingga kebohongan—apa pun bentuknya—jika dikampanyekan secara masif akan dianggap sebagai kebenaran.

Belajar dari negara lain

Bangsa Indonesia seharusnya bisa belajar dari pelbagai tragedi kemanusiaan yang diciptakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Catatan Congressional Research Service (2015) menunjukkan bahwa pendapatan NIIS yang lebih dari 2 miliar dollar AS setiap tahunnya dihabiskan untuk membeli "logistik perang" dan menggaji para militannya. Namun, jika melihat perusahaan pemasok "logistik perang" NIIS, termasuk pengadaan alat transportasi hingga makanan dan kebutuhan lain, menjadi sangat ironis.

Negara asal perusahaan "pemasok logistik perang" tersebut justru didominasi negara-negara penganut ideologi kapitalis yang menjadi target utama NIIS untuk dilenyapkan. Dengan kata lain, NIIS sebenarnya tak lebih dari mesin korporasi bisnis (kapitalis) lewat konflik dengan branding keagamaan, yaitu khilafah.

Lantas, apakah hal sama bisa terjadi di Indonesia?

Jika propaganda keagamaan terus diberi kebebasan sehingga bisa tumbuh dan berkembang—tak ada yang tak mungkin. Semua bisa terjadi. Bagaimanapun "branding khilafah" tak lagi terpusat di lima negara, Suriah, Irak, Nigeria, Libya, dan Yaman, tetapi sudah menyebar ke seluruh dunia, termasuk negara pemilik wajah Islam moderat, seperti Indonesia yang menjadi rumah kita semua.

Tragedi kemanusiaan NIIS hanya contoh terkini ketika "khilafah" tidak lebih hanya branding dari mesin korporasi bisnis kaum kapitalis lewat konflik. Seperti branding korporasi bisnis kaum kapitalis lewat konflik dalam perang saudara di Sierra Leone (tahun 1991-2003 dengan korban 50.000 jiwa) dan Liberia (tahun 1999-2003, korban 350.000 jiwa). Padahal, semuanya terkait dengan intan, mineral, dan kayu.

Di Kolombia (tahun 1964 hingga 2016, korban 200.000 jiwa dan 7 juta pengungsi) juga berkorelasi dengan bisnis kokain. Lalu, di Afghanistan (tahun 2001 hingga sekarang, korban 35.000 jiwa dan jutaan pengungsi) juga tak bisa dipisahkan dari bisnis opium.

Konflik jadi tren

Bisnis konflik di abad ke-21 tengah menjadi tren. Artikel "The Business of Conflict" (The Economist, 2/3/2000) menyebutkan, modus konflik di beberapa negara pada abad ke-21 memiliki pola yang berkaitan dengan penguasaan wilayah dan sumber daya alam. Negara-negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, tetapi tak mampu mengelola karena kondisi pemerintahan (hukum) yang lemah akibat korupsi atau kondisi politik tak stabil, berpotensi dijadikan negara kawasan konflik.

Caranya, gampang! Hanya perlu membuat fake partnership (kemitraan palsu) dengan komprador (anak bangsa yang rela menjual negaranya demi kepentingan pribadi), produk politik kolonial divide et impera dijalankan.

Bagi kaum kapitalis, dalam bisnis konflik hanya ada prinsip, "Give me control of all the country's natural resources, and I don't care about the laws that are used to govern this country." Korelasinya dengan Indonesia—rumah kita bersama—bisa dibaca demikian, "Beri saya kendali atas seluruh sumber daya alam milik negara, dan saya tak peduli dengan hukum apa pun yang akan diberlakukan untuk memerintah negara ini."

Jika melihat kekayaan sumber daya alam, korupsi yang masih membuncah, dan kondisi politik yang belum stabil, termasuk tren politik global, Indonesia—rumah kita bersama—memang berpotensi kembali dijadikan target sebagai negara kawasan konflik.

Oleh karena itu, segala bentuk intrik politik yang berpotensi menyulut kegaduhan—sekecil apa pun, terutama yang datang dari kompetisi politik tak sehat— harus diwaspadai dan segera dieliminasi.

Kegaduhan adalah cikal bakal pertikaian yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Bagaimanapun kegaduhan lewat politisasi agama dan isu-isu provokatif memang sengaja dan terus dikampanyekan oleh para komprador demi ambisi terselubungnya—at all cost!

Jaga rumah kita

Apakah Indonesia—rumah kita bersama—akan dijadikan sebagai negara kawasan konflik dengan branding khilafah setelah NIIS terusir dari Timur Tengah?

Berdasar survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU yang disampaikan kepada BIN, tampaklah bahwa 41 dari 100 masjid yang berada di lingkungan kementerian dan lembaga BUMN di Jakarta terpapar radikalisme. Tidak hanya itu, hasil survei Kemendagri menunjukkan, 19,4 persen aparatur sipil negara (ASN) tak setuju dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Propaganda khilafah juga sudah semakin berani dan terbuka.

Membiarkan kelompok radikal muncul di lingkungan pemerintah dan ASN yang tak setuju dengan Pancasila sebagai ideologi negara juga terus berkembang adalah kebijakan yang salah. Apalagi memberikan kebebasan bagi pendukung khilafah untuk berpropaganda, sungguh hasilnya akan sangat mengerikan. Pada gilirannya, bisa dipastikan mereka akan terus berupaya menjadikan Indonesia—rumah kita bersama—sebagai negara yang tak lagi mendasarkan diri pada Pancasila dan demokrasi untuk digantikan dengan teokrasi.

Lantas, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Pemerintah dalam hal ini eksekutif atau legislatif dan yudikatif? Politik yang tak stabil? Rakyat yang gampang diprovokasi? Atau mimpi reformasi yang kelewat muluk?

Namun, sebagai penghuni rumah kita bersama, kita wajib bekerja sama untuk menjaga nya.