Pada sebuah kuliah Filsafat Bahasa, saya bertanya tentang arti kata mengamankan dan menertibkan. Rata-rata mahasiswa menjawab, mengamankan berarti memberi rasa aman, atau menjauhkan dari ancaman.

Dalam aksi massa terhadap terduga pencopetan, misalnya, lazim digunakan kalimat "aparat telah mengamankan pelaku". Sementara untuk menertibkan, hampir semuanya merujuk pada makna denotatif; aktivitas mengatur atau menata sesuatu yang semula semrawut menjadi tertata.

Mahasiswa yang menjadi responden survei kecil-kecilan itu adalah generasi kelahiran 1998 ke atas, yang berarti di masa kejatuhan Orde Baru masih bayi. Itu sebabnya, tidak ada yang punya ingatan tentang konotasi mengamankan dengan aktivitas menangkap atau membekuk dengan cara-cara mengerikan. Begitu pula dengan makna menertibkan, tak ada imajinasi tentang perlakuan "menggusur secara paksa" atau "melibas massa dengan gas air mata".

Pisau bermata tiga

Demikian kiranya riwayat bahasa dari masa ke masa. Di tangan bayi-bayi masa Orde Baru, konotasi mengamankan dan menertibkan telah kembali pada pangkal denotasinya. Kamus kembali berfungsi dan dua kata itu selamat dari  konotasi yang menyeramkan. Anak-anak muda—yang kebetulan mahasiswa saya itu—tidak tahu bahwa konotasi term "stabilitas", "subversif," dan "pembangunan" yang hampir menjadi "takhayul" di masa Orde Baru tak mungkin mengemuka karena yang  boleh muncul hanya denotasinya. Apabila menggunakan ungkapan penyair Afrizal Malna, makna-makna itu dijaga ketat oleh tentara.

Akan tetapi, itu datang dari masa kelam pengalaman memaknai language games yang, menurut filsuf Ludwig Wittgenstein (1889-1951), akan mengalami pergantian aturan (rule of game) seiring dengan perubahan zaman. Di era media sosial,  kata-kata berhamburan bagai telur-telur yang menetas saban siang dan tak ada yang denotasinya dikawal oleh "polisi" morfologi. Warganet leluasa menggunakan diksi, bebas menyingkap tafsir peyoratif atas kata-kata yang bergentayangan di Twitter, Instastory, Facebook, dan WhatsApp. Dari kebebasan memungut makna di rimba kata itu, saling berbalas status cadas, saling menyindir, hingga aksi blokir-memblokir jejaring pertemanan adalah situasi yang biasa terjadi.

Frasa sederhana dan kalimat populer semacam kelar idup lositu waras?  atau masyuuuk Pak Eko adalah contoh dari perayaan kelisanan, hingga pada akhirnya memerlukan kamus spesifik guna menyingkap horizon kontekstualnya. Ketiganya bagai pisau bermata tiga. Bisa bercorak ofensif untuk mengudarakan sebuah isu baru, bisa pula defensif guna menahan diksi-diksi bercorak menyerang, tetapi bisa pula berposisi sebagai alegori atau satir yang menghibur, hingga apa saja komentar yang muncul dapat dikait-kaitkan dengan pilihan frasa atau kalimat populer itu guna menggapai keriangan dalam suasana yang senantiasa menegangkan.

Gelombang kelisanan itu rupanya menimbulkan empasan yang cukup mengguncang atmosfer komunikasi politik menjelang Pilpres 2019. Arena kontestasi bagai dikepung perayaan tafsir konotatif atas narasi yang berasal dari kedua kontestan. Indikasinya tampak sejak munculnya kalimat tempe setipis kartu ATM. Kalimat yang bersumber dari pernyataan cawapres Sandiaga Uno itu telah membiakkan banyak kemungkinan makna. Ada yang menyikapinya sebagai alegori  lantaran bahan baku kedelai impor kian mahal—yang berakibat pada meningkatnya biaya produksi—maka untuk menjaga stabilitas harga, ukuran tempe ditipiskan hingga mencapai ketipisan kartu ATM. Ada pula yang membangun konotasi, tak gampang mengimajinasikan ketipisan tempe yang setara dengan ketipisan kartu ATM. Namun, karena Sandiaga yang berasal dari keluarga berada, sedari kecil hanya mengenal  kartu ATM, sampai di situlah imajinasinya tentang ukuran ketipisan tempe. Tak sedikit pula warganet yang berkomentar, itu hanya diksi-diksi jenaka yang sengaja dilepaskan guna mendongkrak popularitas Sandiaga yang dalam hitungan survei masih minim.

Lalu muncul diksi "sontoloyo" yang berasal dari Presiden Joko Widodo—kebetulan berstatus capres petahana. "Sontoloyo" dibaca sebagai tanda semiotik yang mengacu pada kelayakan atau ketaklayakan seorang presiden menggunakannya. Sudah dijelaskan berkali-kali, Jokowi hanya sedang menggunakan kiasan untuk sejumlah pihak yang menurut dia tidak fair dalam melihat itikad baik dari rencana kebijakan tentang dana kelurahan.  Diksi "sontoloyo" juga tak menanggung beban makna yang berat. Presiden Soekarno pernah menggunakannya sebagai kiasan yang tak mendistorsi reputasi presiden sebagai kepala negara. Namun, dalam arus kelisanan yang begitu deras, tafsir peyoratif dapat dirancang dengan berbagai argumentasi yang seolah-olah tersimak meyakinkan, hingga kemudian memicu polemik berkepanjangan.

Tafsir  peyoratif  juga muncul atas diksi genderuwo dan yang terkini tabok dari Jokowi, tampang Boyolali dari Prabowo Subianto, buta-tuli dari KH Ma'ruf Amin. Barangkali sudah lumrah bahwa imajinasi tentang makhluk genderuwo digunakan sebagai cara orangtua menakuti-nakuti anak-anak supaya tak bermain hingga larut senja. Dalam horizon pernyataan Jokowi, kebetulan ia hendak menganalogikan orang-orang yang gemar menakuti-nakuti rakyat dengan kabar yang tak dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Misalnya tentang ramalan Indonesia bakal ambruk atau Indonesia akan bangkrut lantaran rapuhnya fundamental ekonomi, padahal tak ada yang perlu ditakutkan karena, menurut Presiden, setiap potensi masalah telah dipikirkan matang-matang dan penyelesaiannya dikerjakan dengan perhitungan yang  prudent dan prinsip kehatian-hatian. Maka, alih-alih takut, seyogianya yang diembuskan adalah optimisme dan harapan-harapan baru bagi kegemilangan Indonesia di masa depan.

Gelanggang pertarungan tafsir

Capres Prabowo Subianto pun tak luput dari empasan badai kelisanan sebagaimana yang dialami Jokowi, Sandiaga, dan Ma'ruf Amin. Frasa tampang Boyolali,  yang semula hanya dimaksudkan sebagai pengamsalan sederhana  tentang inferioritas bangsa kita di hadapan para pemodal asing, kemudian mengalami penyimpangan makna yang mengarah pada asumsi tentang penghinaan atas anak-anak bangsa, terutama yang tanah kelahirannya di Boyolali, Jawa Tengah. Polemik tentang tampang Boyolali sampai menghabiskan waktu berhari-hari hampir di semua platform media sosial.

Hal serupa dialami cawapres Ma'ruf Amin lantaran diksi buta-tuli yang semula dimaksudkan sebagai amsal dari sebuah kisah dalam Al Quran, yakni tentang orang-orang yang telah buta hatinya dan ditulikan pendengarannya. Tak ada tendensi menyinggung, apalagi menghina fisik. Namun, pesan yang sengaja dibelokkan sebelum tiba di tujuan dapat dikapitalisasi guna mendegradasi moralitas produsennya. Berhari-hari pula linimasa dikepung oleh perdebatan yang jauh dari gagasan dan program-program kerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Karnaval kelisanan mungkin tak dapat dielakkan, tetapi apakah margin elektoral bisa diraih hanya dengan skor kalah-menang di gelanggang pertarungan tafsir peyoratif atas narasi kedua kontestan? Jika yang sedang diperebutkan adalah pemilih usia 17-34  tahun—disinyalir berjumlah puluhan juta dan dikalkulasi sebagai kunci kemenangan—apakah sudah terkonfirmasi mereka terpikat pada politik kelisanan yang nyinyir dan tak bermutu itu? Bahasa mereka tidak rumit, tidak polemis, bahkan hanya bahasa visual, atau semacam emoticon dalam percakapan daring.

Karnaval kelisanan hanyalah tamasya kata-kata yang tak mengundang minat mereka. Habis-habisan berdebat soal tempe setipis ATM, sontoloyo, tampang Boyolali, buta-tuli? "Baper", ah….