KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Peringatan Hari Guru Nasional 2018 dan HUT ke-73 PGRI. Guru honorer juga turut hadir.

Tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merencanakan pengangkatan 100.000 guru PNS, sementara Persatuan Guru Republik Indonesia masih berharap pemerintah mengutamakan guru honorer yang telah lama mengabdi untuk diprioritaskan. Persoalan guru memang amat pelik.

Di berbagai daerah, saya sering bertemu guru honorer yang sudah mengajar bertahun-tahun di sekolah dengan honor sangat minim—mulai dari Rp 200.000 per bulan. Banyak di antara guru honorer ini yang sangat berdedikasi dan kompeten.

Salah seorang guru di Tanjung Jabung Barat, Jambi, Agus Wagio, pernah bekerja sebagai kuli angkut di pasar selama bertahun-tahun untuk menutupi kekurangan penghasilan sebagai guru. Toh, guru muda ini tetap bersemangat mendidik serta meningkatkan kompetensinya. Dan, ketika sudah diangkat sebagai PNS, dia bisa menunjukkan prestasinya melalui kepemimpinan di Kelompok Kerja Guru (KKG).

Ada banyak guru honorer seperti Agus Wagio. Namun, sebaliknya, banyak pula yang belum menunjukkan kompetensi yang memadai sebagai guru. Mereka bisa mendapatkan pekerjaan mengajar di sekolah-sekolah karena alasan keterpaksaan, baik dari pihak sekolah dan daerah yang terdesak karena kekurangan tenaga guru maupun dari pihak pribadi guru yang menganggap jadi guru adalah pekerjaan yang mudah. Memaksakan semua guru honorer diangkat jadi PNS akan berbahaya bagi peningkatan mutu pendidikan. Kesalahan di masa lalu seyogianya tidak dikoreksi dengan kebijakan salah yang akan membawa petaka di masa depan.

Dalam penelitian "Pemetaan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris" (Lie, dkk, 2018), yang didanai Kemristek dan Dikti melalui skema Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi, kami menelaah penguasaan bahasa dan persepsi 121 guru Bahasa Indonesia dan 149 guru Bahasa Inggris di Palembang, Yogyakarta-Sleman, Surabaya, Ruteng, Ambon, dan Saumlaki.  Di antara sampel guru Bahasa Indonesia dalam penelitian kami, hanya 56,2 persen yang sudah menjadi pembaca mandiri, ditandai dengan tingginya penguasaan kosakata dan kemampuan membangun pemahaman atas teks bacaan. Selain itu, hanya ada 57,8 persen guru yang menulis dengan sadar ejaan yang benar.  Bahkan, ada 5 persen esai guru yang tidak bisa dianalisis karena menggunakan tanda baca titik di hampir semua kata. Sementara penguasaan bahasa Inggris pada sampel guru Bahasa Inggris masih menunjukkan tingkat variasi yang lebar dengan nilai tertinggi 95,8 dan terendah 21,1. Hanya 24 persen dari 149 guru Bahasa Inggris dalam studi ini mencapai angka 76.

Fase pengembangan

Seiring sejarah kemajuan suatu masyarakat, profesi guru juga mengalami perkembangan. Upaya peningkatan mutu guru juga perlu ditinjau dari kerangka tahapan. Andy Hargreaves (2000) membaginya dalam empat fase, yakni praprofesional, profesional mandiri, profesional kolegial, dan pascaprofesional.

Pada fase praprofesional, menjadi guru dianggap mudah. Siapa pun yang mempunyai pengetahuan sedikit saja tentang suatu bidang dianggap bisa mengajar. Pada tahun-tahun setelah Kemerdekaan 1945, karena kebutuhan mendesak, lulusan sekolah rakyat atau sekolah dasar bisa melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah selama empat tahun atau mengikuti kursus-kursus untuk menjadi guru. Pemerintah Indonesia sudah berupaya melewati fase ini, melalui ketentuan kualifikasi pendidikan formal minimal dan empat kompetensi yang harus dikuasai guru, seperti ditetapkan di UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pada fase kedua, guru dianggap sebagai profesional mandiri yang bisa menyiapkan dan menyampaikan materi dan metode di kelas. Pada fase ini, guru bekerja sebagai individu terampil, tetapi tak terhubung secara profesional dengan rekan guru lainnya. Dalam hal ke-terisolasi-an, di banyak daerah di Indonesia saat ini pun situasi guru masih pada fase ini. Fungsi supervisi dari dinas pendidikan setempat tak menjangkau banyak sekolah, terutama di daerah terpencil. Bahkan, di unit sekolah pun—termasuk di kota—banyak guru tidak disupervisi oleh pimpinan sekolah dan tidak terhubung dengan guru lainnya secara kolegial. Interaksi mereka terbatas pada berkantor bersama di ruang guru dan bercakap-cakap tentang topik yang tidak terkait dengan pengajaran dan profesi mereka. Dalam hal otonomi, sulit menilai kemandirian guru karena kebijakan kurikulum yang tidak konsisten dan berkesinambungan.

Fase profesional kolegial ditandai upaya kolektif para guru untuk membangun budaya dalam profesi guru. Kolaborasi merupakan salah satu prasyarat untuk berkembang secara profesional. Pada fase ini, guru bertumbuh dan saling membantu dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh KKG dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Pada fase ini pula organisasi guru ingin ikut berperan dalam pembuatan kebijakan pendidikan.  Sebagai organisasi guru paling besar, PGRI berupaya melakukan peran mitra kritis terhadap kebijakan terkait dengan guru. Berbagai organisasi guru senantiasa diharapkan bisa membantu guru mengembangkan keterampilan dan wawasan, serta tidak menyita waktu guru yang sudah sangat terbeban dengan berbagai tugas mengajar dan administratif.

Fase pascaprofesional menekankan keberagaman dan kelenturan individu guru dan organisasi profesi untuk secara kolektif meningkatkan mutu pendidikan. Dalam fase ini pula guru membangun jejaring strategis dengan komunitas yang lebih luas, misalnya para pemangku kepentingan pendidikan, untuk merespons tantangan dunia di luar sekolah. Ada pula segelintir guru Indonesia yang sudah mencapai fase ini. Mereka mampu menggalang dukungan dan memanfaatkan sumber daya di luar sekolah dalam model pembelajaran berbasis permasalahan aktual dunia. Guru seperti ini menjadi jembatan antara sekolah dan dunia luar.

Keempat fase profesionalisme guru tidak selalu berjalan secara kronologis, tetapi bisa terjadi bersamaan di suatu negara pada periode yang sama. Kehadiran keempat fase ini di Indonesia menunjukkan pemerataan mutu pendidikan masih menjadi isu sentral.

Perbaikan mutu guru 

Studi kami juga menemukan variasi tingkat penguasaan bahasa Inggris sampel guru juga berkaitan dengan lokasi geografis guru. Seperti yang dikeluhkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno, "Mengubah pola pikir memang rumit. Perencanaan alokasi anggaran seharusnya memprioritaskan peningkatan kemampuan guru, siswa, dan penyediaan buku dan bukan pembangunan infrastruktur (Kompas, 14/9/ 2018)."

Temuan menarik lain adalah variasi penguasaan bahasa Inggris antarkelompok masa bakti guru (pemula di bawah 5 tahun, magang 5-10 tahun, praktisi 10-15 tahun, senior di atas 15 tahun). Tingkat penguasaan tertinggi (rerata 70,83) ada pada kelompok praktisi setelah peningkatan mulai dari kelompok pemula dan magang. Ironisnya, capaian terendah (rerata 56,32) justru pada guru-guru senior. Artinya, guru bertumbuh dan mencapai puncaknya pada kisaran masa bakti 10-15 tahun dan kemudian mengalami penurunan. Implikasinya, upaya perbaikan mutu guru perlu berkesinambungan dan menjadi fokus dalam kebijakan pengembangan profesional guru.

Tahun ini Kemristek dan Dikti bekerja sama dengan Kemdikbud menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan (PPGDJ). Guru peserta belajar bersama dengan guru dari berbagai sekolah lain dalam serangkaian modul-modul daring, lokakarya luring, dan praktik pengalaman lapangan dengan bimbingan dosen dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan guru pamong. Untuk mencapai kelulusan, peserta menempuh uji pengetahuan dan uji kinerja. Program ini membawa manfaat positif bagi guru. Selain menambah wawasan, pengetahuan, dan keterampilan melalui modul dan lokakarya, para peserta bisa berinteraksi dengan guru dari berbagai sekolah lain yang sangat berbeda satu sama lain. Di kelas berisi 30 guru, fase profesional kolegial bisa terjadi dengan sangat menggairahkan. Bahkan, sebagian peserta sudah membuat rencana bersama pengembangan profesional dan kerja sama antarsekolah di luar persyaratan kelulusan PPGDJ.

Semoga PPGDJ ini bisa menjadi daya pengungkit bagi upaya peningkatan mutu guru. Bagi daerah yang para gurunya masih pada fase satu dan dua, pemerintah daerah perlu didesak untuk memprioritaskan peningkatan mutu guru. Selanjutnya, kelulusan dari PPGDJ ini bisa melentingkan para guru untuk melompat ke fase empat melalui integrasi program pengembangan profesional guru yang melibatkan KKG, MGMP, dan komunitas pemangku kepentingan sekolah.