Terungkapnya skandal suap dan pengaturan hasil pertandingan (match fixing) yang melibatkan seorang anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI sebenarnya bukan barang baru di tubuh organisasi olahraga paling tua tersebut. Jejaknya merentang panjang puluhan tahun ke belakang dan tak pernah ditangani secara serius serta tuntas.
Ibarat kanker, penyakit yang menggerogoti tubuh PSSI ini bahkan mengakar sejak para pemain merintis karier pada usia pra-remaja dengan mendapat sokongan dari para orangtua yang menghalalkan sembarang cara agar anaknya "bersinar" di panggung sepak bola.
Terkuaknya kasus percobaan pengaturan hasil laga yang melibatkan anggota Exco, Hidayat, berkat laporan Manajer Madura FC Januar Herwanto ini muncul nyaris bersamaan dengan tudingan yang dilontarkan mantan pelaku match fixing,Bambang Suryo, terhadap VW, salah satu oknum sepak bola nasional yang tiga dekade lebih malang melintang di lingkungan PSSI. Tudingan terbuka Bambang tersebut terekam dalam sebuah acara bincang-bicang (talk show) di sebuah televisi swasta belum lama ini.
Sebelumnya, mantan pemain timnas, Fachri Husaini, lewat akun Twitter-nya juga mengunggah sebuah cuplikan laga yang diduga terkontaminasi pengaturan hasil antara Aceh United dan PSMP Mojokerto. Dalam laga yang dimenangi 3-2 oleh Aceh United itu, terekam sebuah kejadian yang amat ganjil saat pemain PSMP, Krisna Adi, mengeksekusi tendangan penalti. Krisna yang tergolong produktif dan eksekutor jitu menendang bola dengan melenceng sekitar 2 meter dari tiang gawang.
"Bahkan, pemain paling bego sekalipun tidak akan mengeksekusi seperti itu. Dari posisi sebelum menendang saja sudah kelihatan dia akan membuang bola," ujar Rochi Puttiray, yang juga mantan pemain timnas, saat ditanya tentang insiden tersebut. "Saya yakin itu bagian dari pengaturan skor," kata Rochi dalam sebuah obrolan di bilangan Kemang, Jumat pekan lalu.
Serangkaian kasus yang terkuak hampir bersamaan itu celakanya mencuat ke permukaan hanya beberapa hari setelah kegagalan timnas di ajang Piala AFF, ajang paling bontot di lingkungan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dan merupakan gelaran rutin asosiasi sepak bola di lingkungan negara-negara Asia Tenggara (AFF). Sejak pertama ikut di turnamen ini pada 1996, Indonesia memang belum pernah menjadi juara sehingga menimbulkan gugatan terhadap kinerja PSSI di bawah kendali Edy Rahmayadi.
"Kalau wartawan dan medianya baik, timnya juga baik," begitu jawab Edy dengan wajah tanpa dosa dan entah apa maksudnya.
Alih-alih memberikan jawaban diplomatis terhadap pertanyaan media tentang kegagalan tersebut, Ketua Umum PSSI yang mantan Pangkostrad dan kini juga merangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara itu justru berkelit dengan kalimat-kalimat absurd. "Kalau wartawan dan medianya baik, timnya juga baik," begitu jawab Edy dengan wajah tanpa dosa dan entah apa maksudnya.
Jawaban "nyeleneh" Edy sebenarnya memang gambaran dari betapa sialnya nasib persepakbolaan nasional karena selama berpuluh tahun dikendalikan oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya punya niat membawa olahraga yang sangat populer ini berprestasi di level internasional. Dari 100 lebih pemilik suara yang tersebar di sejumlah daerah, anggota Exco sampai ketua umum yang merangkap jabatan sebagai gubernur hampir tidak ada yang benar-benar mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kemajuan sepak bola nasional.
Coba perhatikan, Indonesia hanya berada di peringkat ke-160, tertinggal jauh dari Vietnam, Thailand, bahkan Myanmar. Di level Asia Tenggara, Indonesia terakhir kali juara SEA Games Manila 1991. Sementara di ajang Piala AFF, sekali lagi, kita tak pernah mengangkat piala. Dari dua indikator ini saja terlihat bahwa kinerja PSSI masih jauh dari harapan para pemangku kepentingan sepak bola Tanah Air.
Kompetisi strata tertinggi Liga 1 dan beberapa strata di bawahnya belum mampu menghasilkan pemain-pemain mumpuni yang bisa mengangkat level Indonesia di pentas internasional. Kualitas liga tak pernah beranjak naik dan justru semakin tenggelam oleh berbagai skandal pengaturan pertandingan dan suap seperti yang dilakukan oleh Hidayat.
Hidayat memang sudah mengundurkan diri. Dalam pengakuannya, dosa yang dia lakukan terhadap Madura FC adalah hal yang pertama kali dia lakukan. Pasti banyak yang tidak percaya pada pengakuan tersebut mengingat banyak sekali kejadian ganjil dalam laga-laga sepak bola nasional, bukan hanya di strata bawah Liga 2 dan Liga 3, tetapi juga di kasta tertinggi Liga 1.
Kemenpora dan BOPI bungkam
Menanggapi skandal yang melibatkan anggota Exco, Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha mengatakan, kasus tersebut sudah masuk taraf penyelidikan. Menurut Tisha, dalam diskusi dengan kalangan jurnalis pasca-skandal Hidayat, tidak hanya laga Madura FC yang sedang diselidiki, tetapi juga sejumlah laga lain yang dinilai mencurigakan sudah masuk dalam tahap penyelidikan Komisi Disiplin. "Pokokya pekan depan (minggu kedua Desember) sudah harus tuntas," ujar Tisha dengan yakin.
Tekad Tisha untuk menuntaskan kasus suap, judi, dan pengaturan hasil laga patut dinantikan keseriusannya mengingat "kanker" dalam tubuh PSSI telah lama menjadi duri dalam daging persepakbolaan nasional. Jelas PSSI tak mungkin bekerja sendiri memberantas penyakit akut yang sudah bersarang lebih dari setengah abad ini.
Yang menjadi pertanyaan adalah, pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), seolah bergeming terhadap skandal yang mencuat ini. Demikian pula dengan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) diam seribu bahasa. Padahal, kita ingat betul, saat membekukan kepengurusan PSSI era La Nyalla Mattaliti hampir tiga tahun lalu, dua instansi inilah yang paling lantang berteriak soal adanya mafia di tubuh PSSI.
Tuduhan jaringan mafia ini juga yang menjadi salah satu alasan pemerintah, cq Kemenpora untuk membekukan kepengurusan PSSI yang mengakibatkan seluruh kegiatan sepak bola nasional di bawah kendali federasi itu terhenti total selama hampir satu tahun. Campur tangan pemerintah yang melewati kewenangannya itu berakibat jatuhnya sanksi FIFA terhadap Indonesia.
Meski mendapat sanksi FIFA, pemerintah sukses "mendudukkan" Edy Rahmayadi di kursi PSSI 1 dengan dukungan kelompok oportunis yang kini menguasai struktur pemilik suara dan Exco. Padahal, orang-orang tersebut, salah satunya Gusti Randa (anggota Exco), adalah oknum yang awalnya berada di barisan depan menentang pembekuan PSSI oleh Menpora Imam Nahrawi.
Dalam sebuah acara bincang-bincang di Kompas TV, Gusti (yang di era La Nyalla juga duduk sebagai pejabat penting PSSI) bahkan tidak mampu mengontrol emosinya saat berdiskusi tentang tindakan pembekuan oleh Imam Nahrawi. Saat situasi mulai menekan keras La Nyalla, Gusti Randa kemudian "balik badan" dan bergandengan tangan dengan Kemenpora menggusur La Nyalla dan menaikkan Edy.
Sampai satu pekan setelah skandal Hidayat meletup, tidak ada suara lantang dari Imam Nahwari dan BOPI terkait kasus memalukan ini. Sangat berbeda dengan masa tiga tahun lalu saat mereka begitu keras bicara soal mafia pengaturan hasil laga. Boleh jadi baik Kemenpora maupun BOPI malu hati karena mereka jugalah yang mendorong Edy Rahmayadi menjadi Ketua Umum PSSI.
Di sisi lain, dalam cara bincang-bincang televisi pekan lalu, Gusti Randa terkesan melindungi Hidayat, sesama anggota Exco. Bahkan, Gusti yang sudah terbilang cukup lama berkecimpung di lingkungan PSSI mengaku tidak kenal dan tidak pernah mendengar nama oknum berinisial VW yang disebut-sebut sebagai tokoh penting di balik banyak pengaturan hasil laga di lingkungan sepak bola nasional. Sebuah pengakuan yang menjadi bahan tertawaan para pemangku kepentingan sepak bola.
Standar ganda yang diterapkan pemerintah (Kemenpora dan BOPI) serta masih bercokolnya insan-insan lama PSSI di tubuh Exco serta pemilik suara membuat cita-cita Sekjen Tisha untuk menuntaskan masalah pengaturan hasil dan suap ini sudah bisa ditebak ujungnya. Seperti yang sudah-sudah, para pemangku kepentingan sepak bola harus bersiap kasus-kasus seperti ini lenyap ditelan bumi tanpa kejelasan.
Busuk sejak dari "akar rumput"
Jika mengamati situasi persepakbolaan nasional, utamanya terkait organisasi PSSI, infratruktur kelembangaan sepak bola hingga ke pelosok daerah, aktivitas sepak bola baik di dalam program PSSI maupun tidak, dan semua infratruktur sosial yang membentuk prestasi sepak bola nasional, bisa dipastikan butuh waktu puluhan tahun untuk memperbaiki kondisi yang menyedihkan ini. Budaya tidak jujur yang membentuk aktivitas suap dan pengaturan hasil sebenarnya telah terkondisi sejak para bakat sepak bola di seluruh penjuru Tanah Air mulai belajar menyepak pada usia pra-remaja.
Atmosfer buruk yang dihirup para talenta muda itu berakibat fatal saat mereka memasuki usia prestasi dan berkompetisi di level profesional.
Para pemerhati sepak bola, apalagi mereka yang bergelut langsung dalam pembinaan usia muda pada berbagai aktivitas turnamen ataupun kompetisi, paham betul bahwa sejak di usia muda bakat-bakat sepak bola telah "diracuni" oleh atmosfer busuk ketidakjujuran. Pencurian umur, pelanggaran-pelanggaran etika dan aturan permainan, provokasi brutal, dan aneka perilaku buruk bahkan sering dilakukan oleh orangtua, manajer tim, pelatih, dan pemilik klub atau SSB (sekolah sepak bola).
Atmosfer buruk yang dihirup para talenta muda itu berakibat fatal saat mereka memasuki usia prestasi dan berkompetisi di level profesional. Tanpa bekal yang cukup dalam menyerap nilai-nilai kejujuran dan sportsmanship karena sedari kecil telah dirusak oleh para orang tua, manajer dan pelatih, bakat-bakat muda tersebut rentan melakukan hal-hal buruk juga saat mereka berlaga di level profesional.
Karena terbiasa dengan hal-hal berbau ketidakjujuran, menerima suap, ikut dalam praktik pengaturan hasil kemudian dianggap menjadi hal yang "lumrah". Oleh sebab itu, tidak perlu heran jika banyak pemain bisa dengan mudah terbujuk rayuan para bandar judi dan antek-anteknya untuk menerima suap dan berperan dalam match fixing.
Hal yang sama terjadi juga pada wasit. Malah dalam banyak kasus, wasit adalah para pemeran sentral dalam pengaturan hasil pertandingan. Jika menilik kasus judi dan mafia wasit yang meledak pada 1998 pada era PSSI di bawah kepemimpinan Azwar Anas, barisan wasit adalah para aktor utama pengaturan hasil laga dalam persepakbolaan nasional.
Oleh sebab itu, memberantas mafia pengaturan hasil laga di tubuh PSSI yang sudah merupakan "kanker" akut butuh lebih dari sekadar tekad seperti yang dikatakan Sekjen Ratu Tisha. Sebagainewbie di lingkungan PSSI, Tisha butuh dukungan dari Exco dan seluruh kekuatan pemilik suara PSSI serta tentu saja sang Ketua Umum yang lebih banyak berada di Medan daripada mengurusi dan memikirkan PSSI di Jakarta.
Namun, melihat gelagatnya, sikap Exco yang serba absurd dan bahasa tubuh Edy Rahmayadi yang jelas menggambarkan ketidakpeduliannya pada PSSI hampir bisa dipastikan Tisha hanya akan berjalan seorang diri dalam memerangi mafia suap, judi, dan pengaturan hasil laga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar