Pemerintah sedang merampungkan penyusunan strategi kebudayaan.

Di bawah tim perumus yang dikomandani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, strategi kebudayaan dimaksud diharapkan bisa menemukan titik penyelesaian desain akhirnya pada penghujung tahun 2018 ini (Kompas, 10/11/2018).

Penyusunan strategi kebudayaan patut diapresiasi dengan catatan kritis. Apalagi, strategi kebudayaan ini erat kaitannya dengan pembangunan karakter bangsa. Lemahnya kebijakan pendidikan atas esensi strategi pembudayaan akan segera menjadi rintangan terberat bagi pembangunan karakter bangsa.

Posisi Mendikbud sebagai koordinator tim penyusunan bukan tanpa makna. Bertemunya kebudayaan dan pendidikan ke dalam nomenklatur kementerian yang dipimpin Mendikbud memiliki nilai strategis untuk mengubah wajah kebangsaan dan kemasyarakatan melalui pertemuan strategis antara pendidikan dan kebudayaan. Karena itu, strategi kebudayaan yang efektif dan berkesinambungan patut mendapat perhatian yang besar agar substansi pembudayaan nilai melalui pendidikan memiliki saluran yang riil.

Infrastruktur sosial 

Strategi kebudayaan mesti didasari pemahaman strategis bahwa pembangunan tak seharusnya semata-mata berorientasi pada pengembangan infrastruktur pembangunan fisik-material, tetapi juga pengembangan kapasitas suprastuktur bagi masyarakat luas. Kapasitas suprastruktur dimaksud di antaranya menyentuh pengembangan nilai luhur bersama, penguatan karakter sosial, pembangunan mental-spiritual dan afeksi sosial, serta pembangunan spirit sosial.

Penguatan kapasitas suprastruktur ini harus ditambahkan sebagai satu paket pembangunan nasional bersama pengembangan infrastruktur. Dengan begitu, pembangunan bisa lebih berimbang antara pengembangan kapasitas infrastruktur dan suprastruktur. Pasalnya, kalau toh pengembangan infrastruktur melalui capaian fisik-material disebut sebagai produk kebudayaan, maka kebudayaan cenderung materialistik.

Hal demikian itu justru bisa kontraproduktif terhadap kepentingan pembangunan sumber daya manusia yang utuh karena kebutuhan hidup manusia tidak semata-mata materialistik, tetapi juga spiritual. Untuk itu, pengambil kebijakan nasional perlu didorong mengembangkan strategi kebudayaan yang lebih humanis, pro terhadap kompleksitas kemanusiaan, baik materialistik maupun spiritual. Hanya dengan begitu basis sosio-kultural masyarakat bisa dijamin untuk dikembangkan lebih jauh.

Dalam kaitan inilah, politik dan administrasi birokrasi di pemerintah tidak selayaknya menjadikan kebudayaan sekadar obyek pertunjukan, tetapi juga sebagai nilai yang diperjuangkan dan dilembagakan. Substansi kebudayaan tidak sepatutnya direduksi menjadi sebatas komoditas pariwisata semata.

Pasalnya, jika itu yang terjadi, substansi kebudayaan tidak disentuh seperti seharusnya. Karena itu, program pembangunan harus menempatkan dan menerjemahkan kebudayaan dalam arti nilai luhur yang membentuk kepribadian dan atau karakter warga masyarakat, bukan komoditas pariwisata.

Kebutuhan terhadap strategi kebudayaan dengan pemahaman strategis atas kebudayaan seperti di atas terasa sangat besar saat dikaitkan dengan penguatan nilai kewargaan. Masifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan belakangan ini tidak akan serta-merta meningkatkan keadaban publik kita jika indeks kesadaran kewargaan rendah.

Bahkan, apabila kesadaran kewargaan ini tidak tumbuh, sebesar apa pun upaya menciptakan kebajikan bersama tidak akan mencapai nilai manfaat yang maksimal bagi terwujudnya keadaban publik yang mapan. Contohnya, APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen justru membuat sejumlah anggota masyarakat merasa pendidikan adalah tanggung jawab mutlak pemerintah. Mereka tidak mau handarbeni menyediakan pendidikan yang baik buat anaknya. Mereka lebih suka membelanjakan uang untuk membeli motor, misalnya, daripada membiayai pendidikan anak di luar SPP.

Berapa sering dijumpai kasus kemapanan ekonomi tidak berbanding lurus dengan praktik keadaban publik. Pendapatan finansial yang meningkat tak selalu diiringi praktik pemenuhan kewajiban dalam hidup bersama. Akibatnya, ruang publik kita tetap cenderung buram. Wajah publik tetap cenderung bopeng.

Berbondongnya warga masyarakat ke dalam ritual agama tak selalu membuat praktik ruang publik jadi lebih baik daripada sebelumnya. Sebagai contoh, tiap kali ada kerumunan warga untuk ritual dan atau pelaksanaan keyakinan tertentu, setiap kali itu pula ruang bersama kita penuh sampah sisa makanan dan minuman serta bekas pakai lain.

Bahkan, lebih dari itu, kini muncul kecenderungan, setiap kali ada masalah di tengah masyarakat, muncul tuntutan memasukkan problem itu ke dalam bangunan kurikulum pendidikan. Saat ada korupsi, muncul desakan untuk memasukkan korupsi ke dalam kurikulum. Saat banyak terjadi pelanggaran lalu lintas, muncul ide dari kepolisian agar cara berlalu lintas masuk kurikulum. Akibatnya, pendidikan kita sarat muatan, tetapi miskin makna.

Tidak sesaat

Strategi kebudayaan harus mampu menjamin secara terukur dan terlembaga bahwa kerja-kerja akademik dan sosial di panggung nasional harusnya tidak tambal sulam, diderek kepentingan "sesaat" dan kekinian. Sebaliknya, harus berorientasi pada kepentingan besar ke depan yang melintasi dimensi kasus per kasus dan melayani kebutuhan universal-nontemporer.

Strategi kebudayaan juga mesti mampu bergerak hingga ke domain kerja operasional dengan diukur oleh kemampuan strategisnya sebagai medium penumbuh dan penguat nilai dasar kultural-kemanusiaan dan kebangsaan yang membentuk manusia Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat merupakan contoh di antaranya.

Dengan begitu, otomatis keberhasilan melakukan penguatan atas nilai dasar kultural-kemanusiaan dan kebangsaan oleh kerja-kerja akademik dan sosial dengan sendirinya akan penjadi pemicu bagi terselesaikannya persoalan hilir yang justru kontraproduktif bagi kehidupan individu dan masyarakat. Persoalan hilir dimaksud di antaranya korupsi, konsumsi narkoba, dan ketidakdisiplinan dalam berkendara atau berlalu lintas.

Dengan cara berpikir seperti itu, strategi kebudayaan akan mampu memastikan bahwa kerja-kerja akademik dan sosial seperti pendidikan bisa dikembalikan kepada makna dan fungsi dasarnya sebagai pembebas dari keterbelakangan dan keterpurukan perilaku hidup, serta sekaligus penumbuh nilai dasar kemanusiaan dan kebangsaan. Bermula dari titik inilah, strategi kebudayaan bisa bergerak secara fungsional bagi pembangunan karakter bangsa ini.