Politik hari-hari ini semakin mirip drama tanpa orientasi nilai. Logika, etika, dan estetika disampar. Di panggung, para aktor politik menciptakan kegaduhan. Bicara tanpa substansi sambil menghabiskan konsumsi.
Panggung politik penuh sesak. Orang-orang berdesak-desak. Setiap hari, miliaran kata tumpah di media massa, media sosial, dan di panggung-panggung orasi. Namun, sangat sedikit pernyataan yang mencerahkan dan menyejukkan.
Sebagian besar kata dijadikan alat untuk menciptakan kegentingan, ketakutan, atau memojokkan lawan politik. Hoaks pun bertebaran. Kebencian menyambar-nyambar. Gosip berseliweran. Deras hujan fitnah.
Kita tak yakin kualitas para politikus rendah, tetapi itulah yang terjadi dan dirasakan publik. Benar bahwa demokrasi itu cerewet. Namun, kecerewetan dalam demokrasi selalu menggunakan nalar dan argumentasi sehingga menghasilkan gagasan alternatif yang mencerdaskan dan memperkaya cara pandang.
Bukan kenyinyiran berbasis kebohongan, rasa kebencian, dan niat jahat yang menjurus pada penyesatan dan pembunuhan karakter orang atau pihak lain.
Politik drama
Sebagai dunia permainan, politik lazim disandingkan dengan drama, yakni seni pertunjukan yang mengandung pertautan tema, cerita, persoalan, tokoh-tokoh, konflik, dan cara menyelesaikan konflik.
Pementasan drama yang berhasil biasanya didukung kekuatan naskah, penyutradaraan, keaktoran, tata cahaya, musik, tata artistik, dan unsur lainnya.
Lahirlah berbagai peristiwa dramatik yang menyentuh dan menggugah. Para penonton pun mengalami katarsis (pencucian jiwa) lalu melakukan refleksi atas eksistensinya di tengah kepungan persoalan. Seni drama yang baik tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan, membebaskan, sekaligus meninggikan eksistensi manusia.
Di negeri ini, politik juga mengandung drama. Oleh para aktor, sutradara, dan pemimpin produksi, ia dihadirkan dalam bentuknya yang keras. Keras, karena politik dipahami hanya sebagai alat untuk mencapai kekuasaan imaterial dan material.
Nilai dan gagasan serta orientasi idealnya dipapas karena dianggap mempersulit proses meraih kepentingan sesaat. Akibatnya, politik tidak lagi menjadi wahana kultural sekaligus jalan kebaikan bagi manusia dan kemanusiaan. Padahal,
semestinya politik merupakan medium untuk pemberadaban manusia. Karena pemahaman dan penyikapan yang buruk atas politik, maka drama yang dihasikan pun buruk. Drama yang dimaksud adalah seluruh permainan aktor-aktor politik di panggung media yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan masyarakat.
Buruknya "pementasan" itu disebabkan oleh hal yang mendasar: minimnya komitmen, integritas, dan kapabilitas para aktornya. Adapun dalam seni akting, mereka sangat piawai. Ilmu berpura-pura mereka sangat tinggi.
Ini kurang sebanding dengan etika dan moralitas mereka dalam berpolitik. Tak mengherankan jika mereka dengan enteng mengumbar kata-kata kasar/vulgar dan bombastis. Ya, karena wacana yang ada di dalam benaknya memang kurang elok.
Mereka kurang menyadari bahwa kata-kata sarat kebohongan, kebencian, dan kepalsuan ibarat butiran-butiran udara yang lepas bebas dan tidak dapat ditarik kembali karena telanjur diserap oleh publik. Masih beruntung jika publik memiliki kritis.
Namun, jika mereka intensif menyerap begitu saja, terjadilah gegar penalaran. Publik memercayai kebencian sebagai kelaziman dan kebohongan sebagai kebenaran.
Bencana kebudayaan
Dalam konteks kebudayaan, gegar penalaran merupakan bencana yang melumpuhkan kemampuan dan cara berpikir masyarakat. Logika macet. Akal sehat tak berfungsi. Akibatnya, masyarakat tak mampu lagi menemukan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Salah dan benar diukur dari kepentingan dan keyakinan diri sendiri, bukan kebenaran menurut orang banyak (kebenaran obyektif) dan kebenaran yang sejati (kebenaran Ilahiyah)—meminjam ucapan pelawak Yogya, Embah Guna Susanto.
Di dalam kehidupan, manusia harus memiliki orientasi nilai, yakni cakrawala nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan berpikir, berbicara, dan berperilaku sehingga manusia mampu memilih nilai kebaikan di tengah keburukan/dekadensi, menentukan kebenaran di tengah kesesatan, dan menggenggam keindahan di tengah berbagai ketidakpantasan. Dengan menggenggam nilai-nilai ideal tersebut, manusia melakukan aktualisasi diri dan memberi makna bagi kehidupan kolektif.
Kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang diwujudkan manusia bisa juga dipahami sebagai jalan penebusan atas dunia yang mengalami fragmentasi atau tak utuh lagi (baca: surga yang hilang). Dengan kapasitas masing- masing, setiap manusia berupaya mengembalikan "surga yang hilang", yang turunannya adalah kehidupan yang bermartabat.
Aktor-aktor politik di negeri ini pasti memiliki potensi kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Mereka pun memiliki tugas suci untuk melakukan penebusan dengan menciptakan jagat politik yang bermartabat.
Politik harus dikembalikan pada posisinya sebagai entitas kultural yang mendorong berbagai perubahan menuju masyarakat "salam dan bahagia", meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, yakni masyarakat ideal yang para anggotanya bisa saling menjamin keselamatan dan kebahagiaan satu dengan lainnya.
Juga saling toleran dan menjamin hak-hak setiap golongan untuk mengembangkan dirinya berdasarkan prinsip-prinsip nilai yang diyakini dan sesuai dengan kemajemukan/kebinekaan.
Untuk menciptakan perubahan menuju kebaikan, memang dibutuhkan kekuasaan sebagai mediumnya. Namun, kekuasaan itu harus dicapai dengan cara elegan penuh kebenaran, kebaikan, dan keindahan, sehingga rakyat tidak tersandera oleh ketakutan atau janji-janji yang melambung tinggi.
Ibarat seni pertunjukan, politik (pilpres) bisa jadi peristiwa seni budaya yang memiliki substansi, edukasi dan pencerahan bagi publik. Rakyat sangat menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar