Apakah kita makin rasional? Menjelang pemilihan presiden tidak lagi heboh isu yang membawa-bawa istilah Satria Piningit dan Ratu Adil dengan penjabaran kaya bumbu, tetapi minus analisis intelek dan akal sehat. Di media sosial ada orang mengunggah foto uang lima puluh ribuan yang dicap stempel bertulisan "Satria Piningit" dan nama salah satu calon presiden. Tanggapan publik dingin.
Topik ini merupakan salah satu bahan obrolan dan diskusi terpanas sepanjang 1998, segera setelah Soeharto jatuh. Bahkan rakyat jelata yang hanya bermodal telinga buat menghimpun info dari sana-sini sekonyong-konyong tampil bak pengamat politik lulusan universitas ternama dari segala pojok dunia Barat.
Di warung kopi, gardu keamanan, hingga angkutan umum, tua-muda, lelaki- perempuan, tukang sayur keliling sampai karyawan bank berceloteh dengan fasih tentang Tragedi Mei serta berbagai kemungkinan politis di negara yang babak belur, tetapi menggenggam angan-angan dan harapan kuat tentang masa depan gemilang.
Konsep "Ratu Adil"
Rakyat yang putus asa dengan kenyataan yang compang- camping, ledakan pengangguran akibat jatuhnya nilai mata uang dan kolapsnya banyak perusahaan, situasi yang tidak berketentuan, dan berbagai kabar burung menebar keresahan yang berseliweran siang dan malam tanpa konfirmasi dari pihak yang dapat dipercaya, hanya bisa berikhtiar meredakan perasaan di dalam percakapan mistik berselubung mitos.
Ketika realitas terlalu menakutkan dan menggentarkan semangat hidup, hati dengan hati saling bertaut dalam obrolan yang disepakati bersama bahwa bangsa ini tak lama lagi bakal diayomi oleh sang Ratu Adil. Dialah Satria Piningit dalam narasi kejawen yang penuh janji berbalut penjabaran wejangan dengan pelik-pelik narasi adiluhung yang tak mudah dicerna.
Tentu saja, lebih dari 99 persen pewacana yang mengunyah narasi tersebut sama sekali tak ada minat untuk secara bersungguh-sungguh menyelami kedalaman konsep Ratu Adil dalam kejawen.
Mereka hanya butuh pegangan instan manakala tungkai-tungkai goyah dan bumi serasa gempa pagi dan sore; saat periuk nasi tak dapat dipastikan bakal terisi esok pagi; dan jiwa-jiwa sudah penat menyusuri lowongan kerja setelah terdepak mendadak dari kantor.
Mantan pilot buka warung kopi, bekas manajer bank jadi makelar properti. Sementara dari sudut Jakarta yang kumuh, seseorang yang gagal jadi profesional tiba-tiba mujur jadi politikus, duduk di kursi empuk dan bergaji besar di Senayan.
Orang pun bersama-sama mendongak ke langit nasib yang berkibar-kibar mewartakan ungkapan yang tidak tergapai akal: "Namanya nasib, siapa yang tahu?" Imajinasi memperoleh ruang untuk mengesahkan keyakinan tentang takdir yang perkasa: untuk menghibur diri, kemudian berpaling ke justifikasi khayali.
Demikianlah, di tengah kemelaratan parah, yang tidak hanya menghajar Indonesia, tetapi nyaris seluruh Asia Tenggara kala itu, lahir lapisan tipis kelas sosial yang menikmati "mukjizat nasib": kaya mendadak dan sejuk mendadak di kabin sedan mewah dan ruang megah nan terhormat, tetapi terasing dari realitas sosial yang kusam.
Dari sekian presiden yang silih berganti selama tahun-tahun yang singkat, Abdurrahman Wahid-lah yang dengan berani menyindir DPR sebagai taman kanak-kanak karena perilaku para anggotanya yang tak mampu memikul tanggung jawab moral dengan keseimbangan emosional.
Tak sedikit yang tidur di ruang sidang, gemar membolos dari rapat paripurna, kedapatan menonton video porno saat bersidang, merekayasa biaya tur ke luar negeri.
Tahun-tahun berlalu, dan sementara beberapa negara yang dirontokkan badai moneter mulai bangkit satu demi satu, Indonesia tak juga menggeliat. Kita terlampau sibuk berpolitik, bahkan sampai hari ini! Rakyat yang terpaksa bergantung pada isu politis, bahkan untuk menenteramkan iman di kalbu atau sekadar belanja sayuran, tidak memiliki pilihan lain kecuali menembus jeruji imajinasi buat menguak kemungkinan- kemungkinan dengan harapan bisa menerobos kebuntuan hidup sehari-hari.
Itu cerita lama buat generasi milenial yang kini tengah beranjak dewasa dan dengan mata cerdas mengamati berbagai hal melalui media sosial. Betapapun, kisah ini bukan tentang "mereka" atau suatu generasi yang "bukan generasi kami". Ini tentang kita pada suatu ketika.
Perlu dimaklumi, imajinasi suatu bangsa mengikat bukan hanya masa temporer, juga era kontemporer yang melingkupi segala zaman dan tiap generasi. Pengucapannya mungkin tidak sama, tetapi pemantiknya serupa, yakni batu sandungan, bencana sosial yang masif, dan harapan yang dengan serta-merta lahir dari reaksi wajar jiwa manusia yang didorong hasrat dasar ingin bertahan hidup.
Perlu dikaji
Sesuatu yang tampak sebagai ujung benang-benang yang terjuntai dan belum kita simpul dengan semestinya, sehingga tak ubahnya utang budaya, adalah konsep Ratu Adil dan Satria Piningit. Ini khazanah rohani milik suku-suku bangsa Nusantara.
Para sarjana dan cendekiawan berkewajiban mendudukkan makna konsep mistik itu secara proporsional supaya menjadi pengetahuan budaya yang dapat dipahami secara logis-rasional. Maklum, kita terbiasa menyia-nyiakan konsep- konsep luhur yang diperalat jadi isu politik ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi.
Mengapa konsep ini perlu dikaji dan diajarkan dengan semestinya? Selama berabad-abad konsep ini sudah hidup dalam kontroversi pemaknaan yang tak pernah jernih, selalu bergantung pada selera penafsirnya dan waktu penafsiran yang dipengaruhi realitas ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Kesalahpahaman publik yang luas cenderung jadi celah bagi kaum oportunis yang suka bermain-main narasi penuh pesona, tetapi lancung untuk mengelabui massa. Padahal, bisa disebut konsep ini mengemas sistem spiritual dalam bahasa indah suku-suku bangsa Nusantara, khususnya Jawa, tentang negeri adil makmur, gemah ripah loh jinawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar