Hari antirasuah atau antikorupsi sedunia ditetapkan jatuh pada hari ini, 9 Desember. Penetapan itu didasarkan pada realitas koruptif; korupsi merupakan masalah bersama. Korupsi telah melampaui batas negara dan karenanya korupsi menjadi musuh bersama semua negara dan bangsa di dunia.
Di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Regulasi itu memuat 11 rencana aksi dari sektor keuangan negara, perizinan dan tata niaga, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang bisa segera dijalankan untuk mencegah korupsi (Kompas, 24/11/2018).
Korupsi sudah merasuki banyak aspek di Indonesia. Maka, selain lembaga negara, partai politik dituntut untuk memperbaiki sistem pengawasan. Sebab, menurut laporan Kompas, 61,17 persen penyumbang kasus korupsi berkaitan dengan politik. Sebanyak 69 orang anggota DPR-RI, 149 orang anggota DPRD, 104 Kepala Daerah, dan 223 orang pihak lain terkait dalam perkara korupsi.
Dalam banyak kasus di Indonesia terdapat hubungan linear antara banyaknya aturan dengan tingkat korupsi. Itulah sebabnya, sikap ragu masih dibutuhkan dalam proses pencegahan korupsi di sini. Keraguan tentu bukan untuk melemahkan semangat pemerintah dan penegak hukum, tetapi mesti dipahami sebagai kuatnya harapan akan proses pencegahan dan pemberantasan korupsi secara umum.
Dua realitas
Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001) pernah menyebutkan dua realitas yang sering berkelahi ketika kita ingin memeriksa sebab musabab munculnya sebuah fenomena. Dua realitas itu ialah realitas simbolis dan realitas sosial.
Realitas simbolis adalah kategori kenyataan yang sangat ideal. Sifatnya masih abstrak dan tersimpan rapi dalam tumpukan aturan atau undang-undang. Sebaliknya, realitas sosial ialah fenomena nyata yang terjadi di lapangan. Dua realitas ini bersaing untuk menentukan pilihan seseorang dalam melakukan tindakan tertentu.
Menurut Kleden, korupsi yang terjadi tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengubah realitas simbolis; aturan dan regulasi. Praksis pemberantasan korupsi di level sosial harus dilakukan dengan serius dan tanpa pertimbangan apa pun.
Dalam konteks demikian, regulasi yang menempatkan negara sebagai instrumen penyedia berbagai kebutuhan politik bagi setiap yang ingin bersaing dalam sebuah kontestasi harus benar-benar dilaksanakan. Tujuannya agar elite politik yang bersangkutan tidak mengeluarkan biaya yang besar untuk sebuah persaingan dan pertarungan politik.
Menolak mahar harus dipraktikan ketika proses kandidasi. Caranya, dengan melakukan proses perekrutan calon pemimpin secara terbuka.
Regulasi terkait dengan pembiayaan politik harus diikuti dengan mekanisme kontrol yang kuat dari lembaga independen. Aturan yang menolak mahar tidak bisa hanya dijadikan pemanis bibir.
Menolak mahar harus dipraktikan ketika proses kandidasi. Caranya, dengan melakukan proses perekrutan calon pemimpin secara terbuka. Lembaga pemantau harus diberi ruang dalam mengawasi proses kandidasi. Perubahan sistem politik menjadi langkah awal.
Menanti aksi nyata
PP Nomor 54 Tahun 2018 memberi angin segar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Masalahnya selama ini, semakin banyak aturan, semakin banyak pula pelanggaran terhadap aturan. Semakin gencar upaya pemberantasan korupsi semakin tinggi pula tingkat korupsi.
Pertarungan ide di realitas simbolik dengan fakta yang terjadi di realitas sosial, Kleden, menarik didiskusikan. Soal besar pemberantasan korupsi di Indonesia ialah karena kita sibuk mengutak-atik realitas simbolik dan tidak pernah mengubah perilaku di level sosial.
Banyak pihak sudah menganalisis sebab terjadinya korupsi di Indonesia; mulai dari degradasi etika dan moralitas hingga ke buruknya penegakkan hukum; dari kondisi disposisi mental individu sampai ke soal sistem hukum dan politik. Semua upaya nyaris terbentur dengan dinding kuat perilaku korup elite kekuasaan.
Dari aspek penegakkan hukum, banyak pihak menilai, maraknya korupsi disebabkan karena inkonsistensi hukum dan perilaku buruk penegak dalam praktiknya di lapangan. Inkonsistensi hukum ialah lemahnya putusan dan miringnya praktik putusan hukum di level sosial. Di sisi yang lain, banyaknya hakim yang terjerat operasi KPK menunjukkan buruknya mental penegak hukum.
Ketika koruptor mendapatkan fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan (kasus Lapas Sukamiskin misalnya), sulit nian rasanya mengharapkan pemberantasan korupsi di level praktik. Ketika banyak orang menolak mantan napi korupsi untuk dicalonkan menjadi anggota legislatif, beberapa pihak masih permisif dan memberikan absolusi (ampun dan maaf) bagi mantan napi tersebut. Efek jera sulit muncul di sana.
Maka, konsistensi dan sinergisitas antara aturan dan praktik pelaksanaan aturan itu di lapangan menjadi keniscayaan di sini. PP Nomor 54 Tahun 2018 merupakan alat pencegahan. Terlihat banyak lembaga dan setumpuk struktur di sana.
Konsistensi hukum mesti didukung dengan peningkatan kesadaran kritis masyarakat untuk tidak permisif dengan korupsi atau koruptor.
Yang ditunggu ialah konsistensi kerja dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemberantasan korupsi mulai dari pusat hingga ke daerah; dari hulu sampai ke hilir. Konsistensi hukum mesti didukung dengan peningkatan kesadaran kritis masyarakat untuk tidak permisif dengan korupsi maupun koruptor.
Berkaitan dengan korupsi di daerah dan lembaga politik, mempromosikan prinsip transparansi secara konsekuen dan praksis birokrasi berbasis online harus menjadi keniscayaan.
Setiap pelanggaran tentu harus dihadapkan kepada pengadilan yang jujur dan bersih. Hukuman yang berat kepada pejabat dan aparat penegak hukum yang melakukan korupsi menjadi tindakan imperatif lain yang perlu dilakukan.
Meminjam Kleden, tanpa konsistensi, kita sibuk mengutak-atik realitas simbolis tetapi tidak pernah memperbaiki realitas simbolis. Aturan tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi semakin banyak tetapi praktik korupsi terus meningkat.
(Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana, Kupang)
Kompas, 9 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar