KOMPAS/ALIF ICHWAN

KPK Tahan Hakim – Tersangka Iswahyu Widodo, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. usai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (29/11/2018), dini hari selanjutnya ditahan KPK. Iswahyu dan empat orang lainnya diamankan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sekitar Jakarta Selatan. Tersangka Iswahyu dengan mengenakan seragam tahanan meninggalkan KPK setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan suap penanganan perkara perdata.

Profesi hakim sering kali disebut sebagai wakil Tuhan di muka bumi karena ketika memutus perkara selalu mengatasnamakan Tuhan. Ironisnya, di Indonesia sudah banyak "wakil Tuhan" yang ditangkap karena terlibat perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, yaitu korupsi.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, sejak 2004 hingga saat ini sudah ada 21 hakim tersangkut dugaan korupsi. Sejumlah penangkapan yang dilakukan KPK terhadap hakim-hakim sebelumnya ternyata tak membuat hakim lain jera dan justru masih nekat melakukan korupsi.

Peristiwa terbaru adalah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK terhadap dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Iswahyu Widodo dan Irwan. Keduanya diduga menerima suap Rp 150 juta dan dijanjikan Rp 500 juta dari salah satu pihak yang berperkara perdata di PN Jakarta Selatan.

Sebelum Hakim Iswahyu dan Irwan, pada 2018, KPK juga menangkap empat hakim di PN Medan dan seorang hakim di PN Tangerang. Hakim yang tersandung korupsi tidak saja hakim yang mengadili perkara perdata atau pidana, tetapi juga hakim pengadilan tipikor yang sehari-hari memeriksa dan memutus perkara korupsi. Selain naas karena ditangkap KPK, mereka akhirnya juga diadili dan dihukum oleh koleganya sesama hakim.

Penangkapan sejumlah hakim karena korupsi tidak saja memprihatinkan, tetapi juga mencoreng citra hakim dan institusi pengadilan. Tindakan korupsi oleh hakim juga tak dapat ditoleransi karena mereka sangat paham tentang perbuatan yang dilarang UU, termasuk besaran hukuman penjara apabila melanggar aturan.

Kisah oknum hakim yang melakukan korupsi sesungguhnya bukanlah cerita baru. Tahun 2001, Indonesia Corruption Watch pernah melakukan penelitian tentang pola-pola korupsi di lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Agung (MA) beserta jajaran pengadilan di bawahnya. Selain hakim, aktor korupsi di lembaga pengadilan antara lain panitera, advokat, dan pegawai atau pejabat di pengadilan.

Jenis korupsi terhadap hakim adalah suap-menyuap atau pemerasan. Motif penyuapan umumnya untuk memengaruhi hakim agar memberikan pertimbangan atau putusan yang menguntungkan kepada pihak yang memberikan suap.

Suap yang diterima tak saja berupa uang, tetapi sering kali dalam bentuk lain, seperti kendaraan, rumah, hiburan, ataupun fasilitas mewah lain. Keberadaan oknum hakim yang korup kemudian memunculkan istilah negatif dari hakim, yaitu "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang".

Potensi korupsi di lembaga pengadilan cukup besar mengingat besarnya struktur organisasi lembaga pengadilan dari pusat hingga daerah. Saat ini, jumlah pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia mencapai 380 pengadilan dengan 4.200 hakim yang setiap hari mengadili ribuan perkara.

Fungsi pengawasan

Selain karena masalah integritas, masih adanya hakim yang tertangkap karena korupsi juga disebabkan oleh belum efektifnya fungsi pengawasan dan pembinaan internal yang dilakukan MA dan jajaran di bawahnya.

Menyikapi banyaknya hakim yang terkena OTT KPK, MA pada 2016 pernah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya. Pada tahun 2017, ketua MA bahkan pernah mengeluarkan maklumat tentang pengawasan dan pembinaan hakim.

Namun, dalam pelaksanaannya, regulasi dan maklumat tersebut belum mampu melakukan pengawasan yang efektif terhadap hakim dan petugas pengadilan.

Ironisnya, ketua pengadilan yang dibebani tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan justru terlibat korupsi, seperti kejadian yang menimpa Hakim Sudiwardono, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara.

Tidak efektifnya pengawasan internal juga diperburuk sikap MA yang dinilai resisten terhadap pengawasan eksternal hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Sejumlah rekomendasi KY untuk menjatuhkan sanksi terhadap hakim-hakim yang nakal sering kali diabaikan oleh MA dengan berbagai alasan.

Mengatasi persoalan pengadilan yang telah darurat korupsi tentu saja tak akan selesai hanya dengan meminta maaf dan menyatakan keprihatinan. Perlu tindakan luar biasa (extraordinary) melalui upaya penindakan dan pencegahan untuk membersihkan praktik mafia hakim dan sekaligus mengembalikan citra pengadilan di mata publik.

Sebagai langkah penindakan, MA sebaiknya mendukung langkah KPK untuk terus melakukan penangkapan terhadap hakim-hakim yang korup. Agar menjerakan, selain diberhentikan secara tidak hormat, oknum hakim yang terbukti korupsi harus dihukum penjara secara maksimal dan semua harta bendanya yang diduga berasal dari korupsi sebaiknya dirampas untuk negara.

Pimpinan MA sebaiknya tidak perlu ragu mencopot ketua pengadilan yang dinilai gagal melakukan tugas pengawasan terhadap hakim.

Sementara untuk langkah pencegahan, MA harus segera melakukan evaluasi dan perbaikan secara menyeluruh mengenai pelaksanaan manajemen penanganan perkara, pengawasan, dan pembinaan hakim selama ini.

Pemetaan potensi korupsi di internal pengadilan penting dilakukan agar perbaikan kebijakan nantinya lebih tepat sasaran dan efektif menutup celah korupsi.

MA perlu terus-menerus mengingatkan semua hakim untuk tidak melakukan tindakan tercela, termasuk korupsi. Memiliki integritas tidak tercela harus menjadi syarat mutlak dalam proses promosi dan mutasi hakim, termasuk dalam pemilihan ketua pengadilan, sebagai salah satu ujung tombak pengawasan internal hakim.