Pada tanggal 10-11 Desember 2018 di Marrakesh, Maroko, negara- negara anggota PBB mengesahkan Kesepakatan Internasional tentang Migrasi Global.

Meskipun tak mengikat (non-legally binding), kesepakatan yang dikenal sebagai The Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration (GCM) itu memiliki arti dan nilai sejarah penting bagi masyarakat internasional. Selama lebih dari 73 tahun sejak PBB didirikan, dunia belum memiliki kesepakatan apa pun mengenai migrasi. Perundingan naskah GCM bukanlah perkara mudah.

Perundingan perlu waktu 18 bulan sejak Februari 2017 dan baru diselesaikan pada perundingan putaran keenam Juli 2018.

Ketika proses perundingan diselesaikan, terdapat optimisme yang tinggi terkait komitmen dunia dalam menyelesaikan tantangan migrasi di tengah dinamika migrasi yang memengaruhi dinamika politik dan keamanan di banyak negara.

Sambil tentu terus menghormati kedaulatan setiap negara untuk memutuskan akan menandatangani atau tidak kesepakatan ini, optimisme tersebut seakan langsung sirna menyusul posisi beberapa negara yang tidak akan menandatangani kesepakatan global tersebut.

Diskursus isu migrasi dalam kerangka PBB bukan hal baru. Pembahasan isu migrasi dapat perhatian dan dorongan politik tingkat tinggi sejak 2006 saat PBB menggelar High-Level Dialogue on Internasional Migration and Development.

Pertemuan PBB ini diikuti oleh penyelenggaraan Global Forum on Migration and Development pada 2007 yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Pengesahan Kesepakatan Internasional mengenai Migrasi Global yang dihadiri lebih dari 30 kepala negara/pemerintahan dan Sekjen PBB menjadi momen penting dunia dalam tata kelola migrasi global kedepan.

Migrasi adalah fenomena global. International Organization for Migration, misalnya, mencatat lebih dari satu miliar orang di dunia bermigrasi. Dalam tiga tahun terakhir, Uni Eropa menghadapi gelombang migrasi. Pada 2015 saja, misalnya, lebih dari sejuta orang masuk ke Eropa.

Tantangan migrasi dewasa ini kian kompleks. Kontribusi migrasi terhadap perekonomian, baik negara pengirim maupun penerima, tak terbantahkan. Namun, dampak negatif migrasi juga tak kecil, baik politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial. Isu migrasi bahkan jadi isu politik yang mengubah perilaku politik pemilih, khususnya di negara maju.

Inilah yang menyebabkan perbedaan pandangan masyarakat internasional terhadap isu migrasi masih besar. Negara masih berbeda pandangan dan terpecah dalam isu migrasi karena adanya perbedaan kepentingan yang tajam antara negara maju dan berkembang, antara negara pengirim dan negara penerima migrasi, antara isu pembangunan dan HAM di satu sisi dan isu politik dalam negeri di sisi lain.

Bagi Indonesia, migrasi adalah tantangan dan fenomena global yang harus disikapi. Tak ada satu pun negara dapat menyelesaikan sendiri. Posisi Indonesia sangat jelas, kolaborasi dunia dalam menyikapi tantangan migrasi mutlak dibutuhkan. Indonesia ingin jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

GCM adalah langkah strategis dunia menyikapi tantangan migrasi. GCM tidak saja memperkuat kerangka kerja sama internasional yang komprehensif, tetapi di saat sama GCM juga mendorong kerja sama nyata guna menyelesaikan seluruh aspek migrasi global. GCM juga akan memperkuat tata kelola migrasi, terutama mendorong migrasi reguler yang memberi manfaat ekonomi dan pembangunan komprehensif.

Untuk itulah sejak perundingan dimulai tahun 2017-2018, Indonesia terlibat aktif dalam proses penyusunan GCM, baik di tingkat kawasan maupun perundingan di Markas Besar PBB di New York. Indonesia juga terpilih menjadi salah satu wakil presiden konferensi pengesahan GCM mewakili kawasan Asia dan Pasifik.

Kepentingan Indonesia

Empat tahun terakhir, upaya perlindungan dan keberpihakan kepada kepentingan WNI, khususnya pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri, sangat menonjol dalam politik luar negeri era Presiden Joko Widodo.

Pemerintah terus berupaya menghadirkan negara bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk PMI di luar negeri. Penguatan sistem perlindungan WNI dilakukan lewat penggunaan inovasi teknologi.

Penyediaan hotline pelayanan WNI 24 jam, Safe Travel, Smart Embassy, Welcoming SMS Blast, dan portal E-Perlindungan diluncurkan. Selain itu, sistem pelayanan, perlindungan, dan pendampingan PMI di luar negeri juga diperkuat.

Perjuangan diplomasi Indonesia untuk melindungi PMI juga dilakukan pada tataran regional dan global. Disepakatinya ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Right of Migrant Workers dan berbagai perjanjian bilateral dengan negara penerima adalah bukti nyata kerja diplomasi perlindungan.

Kesepakatan global mengenai tata kelola migrasi global adalah pilar penting perjuangan diplomasi perlindungan PMI di luar negeri. GCM adalah kerangka global yang paling komprehensif dalam memperbaiki tata kelola migrasi secara terintegrasi (lokal-nasional-regional-global), dari hulu hingga hilir (mulai dari identifikasi kebutuhan pekerja hingga proses kembalinya pekerja ke daerah asal).

Nexus antara isu pembangunan dan perlindungan HAM dan hak-hak pekerja migran menjadi dua mata uang kepentingan nasional Indonesia yang tak dapat dipisahkan. Kontribusi pekerja migran bagi pembangunan di negara asal dan negara tujuan adalah sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, di saat yang sama, perlindungan bagi pekerja migran mutlak harus diberikan.

Bagi Indonesia, kian lemah status seseorang, sistem dan mesin perlindungan terhadap hak-haknya harus semakin kuat. GCM sejalan dengan komitmen nasional dalam pemajuan dan perlindungan HAM serta perlindungan terhadap hak PMI.

Tata kelola yang disepakati dalam GCM akan memastikan perbaikan fenomena migrasi dari hulu ke hilir. Selain itu, GCM mendukung tercapainya triple win approach (keuntungan tiga pihak) dalam migrasi, yaitu adanya manfaat bagi negara pengirim dan penerima, pekerja migran dan keluarga. GCM juga mendukung pelaksanaan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran.

Dalam skala global, GCM dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pemenuhan Agenda Pembangunan Berkelanjutan dan di saat yang sama memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran.

Pada intinya GCM memiliki kerangka kerja sama dengan 23 tujuan, implementasi, serta tindak lanjut dan kaji ulang. Setiap tujuan berisi komitmen dan aksi yang dinilai relevan dengan instrumen kebijakan dan best practices.

Sebagai negara yang aktif dalam kerja sama penanganan migrasi, antara lain melalui Bali Process, GCM ini akan dijadikan platform bagi upaya memperkuat tata kelola migrasi, antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan di kawasan.