KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penetapan Nomor Urut Capres – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) berfoto bersama dua pasang calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu Presiden 2019 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno usai mengikuti pengundian nomor urut di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (21/9/2018) malam. 

Pemilu Presiden 2019 merupakan momentum penting bagi masa depan demokrasi. Berbagai ujian atas demokrasi semakin kompleks pasca-Pilpres 2014. Polarisasi politik makin menguat, bahkan memengaruhi kehidupan sosial warga.

Situasi tersebut direspons para kandidat Pilpres 2019. Pasangan kandidat Joko Widodo dan Ma'ruf Amin secara implisit menawarkan gagasan demokrasi dalam misi ke-6 hingga ke-8. Secara eksplisit, aktualisasi Demokrasi Pancasila ditetapkan dalam visi ke-8, dengan cara "memperkuat kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi, dengan melanjutkan konsolidasi kualitas demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan".

Selain itu, pasangan kandidat nomor urut 01 ini menawarkan metode lainnya melalui peningkatan transparansi, partisipasi kebijakan, jaminan hak politik dan kebebasan sipil, kemerdekaan pers, literasi digital, serta penguatan pemilu dan pilkada.

Sementara pasangan kandidat Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno secara eksplisit menawarkan gagasan demokrasi dalam misi ke-4. Demokrasi berkualitas merupakan jalan untuk membangun keadilan hukum dan membangun persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Secara operasional, gagasan demokrasi pasangan nomor urut 02 ini ditetapkan dalam 11 dari "21 Program Aksi Politik, Hukum, dan Hankam".

Tawaran programnya mulai dari penjaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat hingga pengembangan sistem smart government dalam pelayanan guna mencegah manipulasi dan korupsi.

Kesenjangan

Apabila dibandingkan, visi demokrasi dua pasangan calon tidak menunjukkan perbedaan ekstrem, bahkan cenderung sama. Secara teoretis, tawaran keduanya menunjukkan "jalan konsolidasi" dalam memperkuat dan mempertahankan demokrasi. Ciri-ciri konsolidasi demokrasi yang menonjol adalah penguatan legitimasi rakyat, supremasi sipil, penguatan partai, penguatan aturan dan sistem pemilu, desentralisasi, reformasi yudisial, dan pengendalian korupsi.

Konsolidasi sepertinya merupakan opsi realistis bagi demokrasi kita yang baru berjalan dua dekade. Indikasinya, capaian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan tren perkembangan positif meskipun diwarnai fluktuasi.

Capaian indikator komposit IDI meningkat sejak awal pengukuran (mencapai 67,3 pada 2009 dan 72,11 pada 2017). Angka tersebut memperlihatkan capaian kinerja demokrasi yang terkategori sedang. Maka, cukup wajar apabila para kandidat dalam Pilpres 2019 mengusung gagasan peningkatan performa demokrasi agar mencapai kategori baik (indeks di atas 80).

Namun, proposal konsolidasi yang ditawarkan para kandidat memiliki kelemahan jika dihadapkan pada situasi kesenjangan perkembangan demokrasi antardaerah.  Di balik tren positif, terdapat fakta disparitas perkembangan demokrasi antarprovinsi yang luput dari perhatian para kandidat. Dengan kata lain, manfaat perbaikan kinerja demokrasi belum dirasakan seluruh warga akibat demokratisasi yang tidak berjalan merata.

Dalam delapan tahun terakhir (2009-2017) rata-rata perkembangan IDI di kawasan barat Indonesia (Aceh hingga Banten) mencapai 5,96. Raihan kinerja demokrasi tersebut hampir tiga kali lipat lebih baik dibandingkan dengan kawasan timur Indonesia (Maluku hingga Papua) yang hanya meningkat 2,28 poin. Sementara capaian IDI kawasan tengah Indonesia hanya terpaut satu poin indeks (4,92) daripada kawasan barat.

Ironisnya, kesenjangan terjadi pula antarprovinsi dalam satu kawasan. Ketimpangan kinerja demokrasi (2009-2017) antarprovinsi dengan perkembangan IDI tertinggi dan terendah, di kawasan tengah mencapai 19,43 poin. Angka perbedaan tersebut lebih tinggi ketimbang disparitas di kawasan barat (18,35) dan kawasan timur (10,84).

Warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merasakan manfaat perbaikan kinerja demokrasi optimal berkat kenaikan indeks sebesar 16,06 poin dalam delapan tahun terakhir. Sebaliknya, warga dalam satu kawasan di Jawa Barat justru mengalami penurunan manfaat demokrasi karena perkembangan kinerja demokrasi yang negatif (-2,29 poin) dalam kurun yang sama.

Sementara itu, warga NTB merasakan peningkatan kinerja demokrasi yang lebih tinggi daripada DIY (17,92 poin) sepanjang 2009-2017. Sebaliknya, warga beberapa provinsi lain dihadapkan pada perkembangan negatif demokrasi, yakni Riau (-1,44), Sumatera Selatan (-1,48 poin), Kalimantan Tengah (-1,51), Sulawesi Barat (-0,25), Papua Barat (-0,3), dan Papua (-2,46).

Oleh karena itu, para kandidat seharusnya mempertimbangkan situasi ketimpangan demokrasi antardaerah. Saat pemilu usai, langkah perbaikan platformdemokrasi mesti dilakukan presiden dan wakil presiden terpilih dengan mempertimbangkan disparitas perkembangan demokrasi. Hal ini agar terjadi redistribusi manfaat demokrasi bagi seluruh warga.

Daya tahan

Selain isu kesenjangan yang luput dalam visi demokrasi, para kandidat tidak pula secara spesifik menawarkan proposal daya tahan demokrasi. Para kandidat kurang mendorong ide untuk mengembangkan kemampuan bertahan (nilai, institusi, dan proses demokrasi) ketika harus berhadapan dengan perubahan dan krisis yang dapat menyebabkan erosi demokrasi atau bahkan demokrasi terlengar (kolaps).

Ekses negatif penguatan politik identitas pasca-Pilpres 2014 menjadi tantangan yang dapat menggerus demokrasi. Penggunaan isu-isu perbedaan identitas berpotensi memunculkan polarisasi eksesif di kalangan warga dan mengancam capaian kinerja demokrasi. Sebagai salah satu solusi, penguatan identitas nasional yang diinternalisasi seluruh warga layak diwujudkan guna memperkuat daya tahan demokrasi.

Identitas nasional bisa mendorong demokrasi adaptif terhadap perubahan. Merujuk gagasan Fukuyama (2018), identitas nasional yang sejalan dengan demokrasi hendaknya inklusif dan menguatkan kedaulatan rakyat. Lebih dari itu, identitas nasional mampu memerankan kekuatan generator ekonomi dan mendorong kepercayaan kepada pemerintah.

Maka, para kandidat perlu merumuskan desain penguatan daya tahan demokrasi.  Secara operasional, beragam inovasi politik dan kebijakan perlu diciptakan untuk memperkuat nilai-nilai, institusi, dan proses demokrasi yang adaptif terhadap tantangan perubahan dan situasi krisis.