Paket kebijakan ekonomi XVI diluncurkan menjelang Pemilu 2019. Tak heran jika terjadi kontroversi, khususnya terkait daftar negatif investasi untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Bisa diduga, keputusannya pun tak lagi bertumpu pada argumen teknokratis (sepenuhnya), tetapi (ada aspek) politis.

Apakah ini salah? Kebijakan publik tak mengenal salah atau benar, tetapi tepat atau tidak tepat. Gejala ini terjadi di seluruh dunia, bukan monopoli kita saja. Apalagi, belakangan ini, lanskap politik global berubah sehingga kebijakan (teknokratis) ekonomi harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan perubahan konteks tersebut.

Meski demikian, tetap saja diperlukan pemahaman peta obyektifnya agar kebijakan tak tersesat dalam belantara politik (kepentingan). Pertama, konstelasi global, khususnya bidang perdagangan dan investasi berubah drastis sejak era-Presiden Trump di Amerika Serikat (AS). Kedua, perekonomian domestik mengidap "penyakit bawaan" cukup kronis, yaitu defisit neraca transaksi berjalan. Kebijakan ekonomi pertama-tama tentu harus dirancang guna mengantisipasi tantangan struktural tersebut, baik pada level global maupun domestik, meski tetap penting melihat momentumnya sehingga kontekstual.

Dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia 2018 beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengapresiasi keberanian bank sentral menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 6 persen. Padahal, seperti dikutip Presiden, dari 31 ekonom yang disurvei Bloomberg, hanya tiga yang merekomendasikan naik. Dan, lagi, nilai tukar sedang turun menuju kisaran Rp 14.500-an setelah sempat bertengger pada Rp 15.200 per dollar AS.

Mengapa BI tetap menaikkan suku bunga acuannya? Jawabannya, dalam rangka memitigasi persoalan neraca transaksi berjalan yang melebar pada kuartal III-2018 mencapai 8,8 miliar dollar AS atau setara dengan 3,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pertanyaan kritisnya, mengapa kebijakan moneter dibebani persoalan struktural, apakah tidak ada kebijakan lain yang bisa memitigasi defisit transaksi berjalan?

Respons pemerintah

Perekonomian global tengah mengalami fase sulit, ditandai dengan perlambatan, situasi tak seimbang dan penuh ketidakpastian. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2019 menjadi 3,70 persen, turun dari ekspektasi tahun ini 3,73 persen. Sangat mungkin proyeksi pertumbuhan global kembali diturunkan seiring intensifnya perlambatan perdagangan global akibat perang dagang.

Selain melambat, perekonomian global juga tumbuh tidak seimbang akibat masing-masing negara dan kawasan cenderung melihat ke dalam negerinya. Hasil akhirnya, masa depan penuh ketidakpastian. Selain berimplikasi pada sektor keuangan, ketidakpastian global juga berimbas pada pasar komoditas sehingga baik pasar keuangan maupun pasar komoditas akan cenderung berfluktuasi tajam.

Menghadapi situasi penuh turbulensi ini, ada pendapat bahwa pemerintah terlihat tak sigap merespons situasi. Kebijakan lebih banyak bertumpu pada instrumen jangka pendek, seperti suku bunga, tetapi belum memaksimalkan kebijakan jangka panjang, seperti fiskal dan industrial (struktural). Paket kebijakan ekonomi XVI yang diluncurkan pada 16 November 2018 sebenarnya membuktikan lain. Pemerintah juga merespons situasi dengan instrumen fiskal melalui perluasan pemberlakuan tax holiday, selain kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) pada rekening domestik dan penghapusan 54 sektor usaha dari daftar negatif investasi (DNI).

Terhadap paket kebijakan ini, hampir semua kalangan, terutama pelaku usaha, sepakat dengan tax holiday dan DHE, sementara isu DNI memicu kontroversi. Para pengusaha mengeluhkan tidak adanya diskusi penentuan sektor yang akan dibuka sepenuhnya untuk asing, terutama klaster A yang terdiri dari empat bidang usaha, yaitu warung internet, industri kain rajut, industri pengupasan umbi-umbian, dan industri percetakan kain. Pemerintah dianggap tak pro-UMKM dengan memberi karpet merah kepada investor asing melalui kepemilikan 100 persen. Sudah pasti, arah kebijakan ini berhadapan dengan konteks politik atau momentumnya tidak tepat.

Meski melalui fase tarik ulur yang disertai polemik, paket kebijakan XVI tak kehilangan relevansinya. Pertama, investasi asing langsung (PMA) tengah turun dan cenderung melambat di masa depan. Data BKPM menunjukkan, selama tiga kuartal terakhir, nilai penanaman modal asing terus merosot; pada triwulan I sebesar Rp 108,9 triliun, turun sekitar 12 persen menjadi Rp 95,7 triliun pada kuartal II, dan kembali turun pada kuartal III menjadi Rp 89,1 triliun.

Kedua, perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan mengubah lanskap alur perdagangan global. Rantai pasok perekonomian global juga akan mengalami perubahan signifikan.

Berdasarkan Macro Note (edisi 28/11/2018) terbitan divisi Global Economics and Market Research Bank UOB, perang dagang memberi dampak lebih besar bagi China ketimbang AS, skala ekspornya lebih besar. Dalam jangka menengah, konflik tersebut akan mengubah lanskap rantai pasok karena banyak perusahaan di China akan merelokasi usahanya ke negara lain agar tetap bisa memasok barang ke pasar AS. Dalam konteks ini kawasan ASEAN akan mendapat limpahan keuntungan; semakin intensif perang dagang, semakin besar relokasi investasi China ke kawasan ASEAN. Pertanyaannya, ke negara mana saja.

Berdasarkan "catatan" Bank UOB, Thailand, Taiwan, dan Vietnam mengalami peningkatan investasi seiring dengan intensifnya perang dagang. Situasi ini persis berbanding terbalik dengan kecenderungan investasi kita. Kesimpulannya sederhana, Indonesia tak termasuk dalam negara yang mendapat limpahan relokasi investasi dari China.

Paling tidak ada tiga alasan pokok mengapa negara ASEAN menarik sebagai destinasi realokasi investasi; yakni upah buruh masih relatif rendah, fasilitas perpajakan (tax holiday), dan akses pasar.

Dalam konteks inilah paket kebijakan XVI diluncurkan. Jika dilihat komponen kebijakannya, sudah relatif lengkap dengan mempertimbangkan kondisi domestik dan global. Kritik keras terpusat pada penghapusan halangan investasi pada beberapa sektor yang dianggap ladangnya UMKM.

Kementerian Perekonomian meyakini pemerintah tetap memproteksi UMKM melalui pembatasan skala investasi tak boleh kurang dari Rp 10 miliar. Dengan begitu, tak mengganggu keberadaan UMKM.

Transformasi ekonomi

Apakah respons Bank Indonesia dan pemerintah cukup menghadapi perubahan lanskap global? Kebijakan moneter ibaratnya obat penurun panas, berfungsi meredakan tekanan saja, tetapi tak mengobati penyakit sebenarnya. Paket kebijakan I-XVI bagaikan racikan berbagai macam obat yang diyakini menyembuhkan seribu satu penyakit yang menjangkiti perekonomian kita. Terkadang, terlalu banyak jenis obat justru membuat penyakit resisten, tak mengobati apa-apa.

Inilah saatnya mendiagnosis penyakit dengan benar, serta menata ulang paket deregulasi menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai upaya melakukan transformasi perekonomian domestik menghadapi perubahan lanskap global. Selain lanskap ekonomi-politik yang berubah, peran teknologi juga akan semakin intensif sehingga diperlukan respons yang tepat.

Sejarawan ekonomi dari Columbia University, Adam Tooze, dalam buku berjudul Chased: How a Decade of Financial Crisis Changed the World (Agustus 2018), menjelaskan, krisis finansial global 2008 tak bisa dilepaskan dari redupnya hegemoni (politik) AS sehingga penyelesaian krisis melibatkan "keseimbangan baru" dalam konstalasi kekuasaan global. Dengan demikian, fase penuh ketidakpastian ini cukup panjang dan jangan lagi berharap tatanan global akan kembali pada fase sebelum era-Trump.

Salah satu negara yang kinerja perekonomiannya menonjol akhir-akhir ini adalah Vietnam. Berdasarkan data Bank Dunia, dalam periode kurang dari sepuluh tahun, proporsi perdagangan terhadap produk domestik bruto melonjak lebih dari 30 persen, dari 134 persen pada 2010 menjadi sekitar 200 persen pada 2017. Sementara Indonesia pada periode yang sama justru mengalami penurunan, dari 45 persen pada 2010 menjadi 39 persen pada 2017. Padahal, pada awal 1990-an, proporsi perdagangan Vietnam terhadap PDB baru sekitar 57 persen.

Tentu saja kita tak bisa membandingkan Indonesia dengan Vietnam begitu saja. Namun, ada pelajaran yang bisa ditarik, yaitu kenaikan perdagangan Vietnam tak bisa dilepaskan dari keberhasilan menarik relokasi investasi dari China. Belajar dari pengalaman ini, kerangka paket kebijakan XVI sebenarnya sudah benar, yaitu mendorong agar investasi asing langsung masuk, khususnya di sektor yang berorientasi ekspor dan menghasilkan bahan baku guna mendorong mata rantai industri di dalam negeri.

Melihat struktur industri dalam negeri yang masih lebih banyak berbasis komoditas, mengundang keterlibatan asing untuk membangun industri manufaktur menjadi kunci. Cita-cita membangun basis industri manufaktur tak pernah terwujud tanpa investasi asing pada sektor ini. Meski begitu, mendorong kolaborasi dengan mitra domestik, khususnya pelaku UMKM, juga jadi kunci yang lain. Di sinilah dilema kebijakan daftar negatif investasi. Sayangnya, kebijakan ekonomi memang tak pernah ideal, selalu saja menyisakan trade-off yang melahirkan dilema.

Segera setelah selesai dengan perhelatan politik Pemilu 2019, kita harus bergegas dengan menyusun peta industri, termasuk konsolidasi (paket) kebijakan agar benar-benar berdampak nyata pada pertumbuhan sektoral tersebut. Tak ada jalan mudah dan singkat untuk membangun industri di dalam negeri.

Sudah terlalu lama kita bergantung pada sektor komoditas sehingga transformasi perekonomian akan menjadi pekerjaan rumah jangka panjang. Paling tidak kita sudah berada di jalan yang benar sehingga perlu dilanjutkan dengan ditambah akselerasinya.