Sejarah juga mencatat, sejumlah bangsa yang elitenya tidak peduli pada era demokratisasi, satu per satu negaranya bubar. Beruntung di Indonesia ada Pancasila sehingga keterlambatan dalam melakukan reformasi dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi tidak membuat negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terpecah belah.
Begitu pula dalam menyongsong era globalisasi, sejumlah negara yang elitenya dengan sungguh-sungguh menyiapkan bangsanya dalam waktu singkat mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Malaysia, umpamanya, memilih jadi pintu masuk wisata Asia, sementara Thailand mengambil sebagai pintu masuk agrobisnis dunia. Sebaliknya, di kita, karena dalam memasuki era globalisasi tanpa persiapan memadai, akhirnya kita hanya mengambil porsi sebagai pengekspor terbesar tenaga kerja, khususnya untuk pekerjaan 3-D (dirty, danger, dan difficult—kotor, berbahaya, kasar).
Belajar dari pengalaman
Adalah realitas bahwa teori trickle-down effect dalam pengaturan ekonomi untuk kasus di Indonesia gagal total. Keberadaan sejumlah konglomerat yang dibesarkan pemerintah dengan segala fasilitas serta kemudahan dan bahkan monopoli ternyata tak menghadirkan kemakmuran bagi orang banyak di sekitarnya.
Dan, yang tergelar justru sebaliknya: lahirlah kesenjangan sosial yang menganga akibat kemiskinan struktural. Kini oleh Presiden Joko Widodo, dengan konsep "menguatkan yang lemah, tanpa melemahkan yang kuat", kita sedang berusaha mengubah permainan di tingkat operasional (game changer), tanpa mengusik sistem besarnya.
Setelah lengsernya Soeharto, elite kita kemudian justru terlibat "pertikaian" antarmereka, di antara mereka saling tuding dan membuka aib sesama. Tidak sedikit di antara konglomerat, dengan backing masing-masing, juga saling "terkam". Mereka lupa bahwa dalam waktu dekat bakal terjadi perubahan mendasar tata kehidupan manusia, baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maupun dalam tata pergaulan dunia.
Mereka seolah tidak paham bahwa dengan teknologi informasi (TI) persoalan korupsi sesungguhnya masalah kecil untuk bisa segera diakhiri karena pada hakikatnya birokrasi adalah mesin yang dijalankan dengan prosedur. Dengan manajemen berbasiskan TI, sepanjang prosedur birokrasi diubah sesuai tuntutan IT, tanpa perang dengan siapa pun, persoalan korupsi—juga permafiaan—di semua bidang akan tereliminasi dengan sendirinya.
Contoh konkret adalah persoalan KTP elektronik, kalau saja ke depan dirangkai dengan administrasi pemerintahan, dengan mudah pihak yang berwenang bisa tahu kekayaan seseorang dalam hal kepemilikan tanah, rekening bank, dan aset lain. Praktik manipulasi pajak juga otomatis bisa ditangkal karena semua transaksi terekam secara elektronik. Bahkan, polisi lalu lintas ke depan tidak perlu ribut dengan pemakai kendaraan yang nakal karena semua pelanggaran terekam dan sanksi pelanggarannya wajib dibayar saat pembayaran pajak kendaraan bermotor dan atau perpanjangan STNK.
Begitu pula dalam hal tata perekonomian, dengan TI, semangat dan jiwa koperasi yang intinya adalah ekonomi berbagi, kerakyatan, gotong royong, atau apa pun sebutannya otomatis bisa diwujudkan. Dengan aplikasi TI, belakangan ini kita saksikan perusahaan-perusahaan besar taksi harus kalah bersaing dengan yang beraplikasi daring. Tanpa dipaksa pihak mana pun, kini alat produksi dikuasai rakyat banyak dan mengubah status mereka bukan lagi dari muda sampai tua tetap sebagai sopir, tetapi juga majikan bagi dirinya. Dengan TI pula, kini sentra-sentra produksi bisa dijaring dengan pasar dalam negeri dan luar negeri, bahkan langsung dengan konsumen sekaligus terkoneksi ke fasilitas keuangan, sehingga peran rentenir otomatis akan berakhir.
Dalam waktu tidak lama lagi, niscaya bakal terjadi "kudeta" perbankan karena peran uang kertas segera tergeser secara maksimal diganti uang digital. Jenjang transaksi antarnegara ke depan akan terpangkas, tidak lagi di bawah kontrol dan atau jasa bank sentral negara mana pun. Di sana, nanti penzaliman dan atau penjajahan terhadap bangsa mana pun oleh pihak-pihak tertentu, melalui nilai tukar mata uang, akan berakhir.
Begitu juga dalam tata kelola kekuasaan, dengan TI, konsep struktur piramida sosial ataupun ekonomi akan terkoreksi. Siapa pun kelak dipaksa untuk jujur. Pendek kata, kelak akan terwujud trusted society, baik dalam tata hubungan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, maupun dalam tata hubungan internasional.
Jadikan kontrak sosial para capres-cawapres
Memang sangat disayangkan, konsep demokrasi yang dirancang melalui empat kali amandemen UUD 1945 tanpa kejelasan platform dan logika politik sehingga norma-norma dasar demokrasi yang berlaku umum begitu saja diabaikan.
Akal sehat dari mana kalau dalam sistem demokrasi di mana kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat satu orang, tetapi model pemilunya mengenal presidensial dan ambang batas parlemen, layaknya model demokrasi campuran yang memisah antara kepala negara dan kepala pemerintah. Apalagi norma yang digunakan adalah hasil perolehan suara pada pemilu sebelumnya.
Masih banyak lagi kesemrawutan sistem yang ujungnya saling menegasikan peran tiap-tiap lembaga demokrasi yang digelar. Padahal, tanpa kesemrawutan sistem sekalipun, berkat kemajuan TI, otomatis akan begitu banyak tata nilai peradaban, tak terkecuali soal demokrasi, tiba-tiba jadi usang sehingga tidak lagi valid untuk dilanjutkan. Maka, satu pertanyaan yang harus kita jawab: model tata kelola peradaban yang bagaimana yang diperlukan ke depan dan bagaimana cara mewujudkannya?
Karena belum ada padanan yang bisa dijadikan referensi, yang utama adalah bagaimana pola pikir bangsa ini siap memasuki era keterbukaan dengan sistem kenegaraan yang berbasiskan TI. Yang pasti, ke depan tata kelola kekuasaan mutlak harus mampu mengakomodasikan perubahan zaman dan dapat memberi jaminan menghilangkan "disparitas" yang telanjur menganga di banyak hal. Dengan begitu, makna kesatuan dalam NKRI bukan hanya dalam arti pemerintahan semata, melainkan juga kesatuan dalam pelayanan publik bagi tiap anak bangsa dan fasilitas atau infrastruktur bagi setiap wilayah tanpa kecuali sesuai kondisi setempat.
Untuk itu hanya ada satu cara, yaitu manakala kedua calon presiden kita menjadikan perubahan kembali UUD 1945 atau bahkan penyusunan UUD baru dimasukkan sebagai materi kontrak sosial dalam Pemilu 2019. Dengan catatan, ke depan amandemen UUD tak lagi dikerjakan oleh orang atau lembaga partisan, tetapi kita serahkan kepada orang-orang ahli nonpartisan dan ditangani oleh lembaga independen, walau untuk memutuskannya tetap saja melalui lembaga politik yang berwenang.
Hanya dengan sistem kenegaraan yang valid dan sesuai dengan tuntutan zaman kekinian, kelak bangsa ini akan mampu berselancar menuju pantai harapan dengan memanfaatkan arus perubahan zaman. Tak terkecuali terhadap kehadiran revolusi industri 0.4 sebagaimana yang berulang kali diingatkan oleh Presiden Joko Widodo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar