Setelah sepanjang 2018 mengalami pelemahan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa hari terakhir mengalami penguatan yang sangat signifikan.

Setelah menyentuh angka Rp 15.200 per dollar AS, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali ke angka Rp 14.500-an. Para pelaku ekonomi berharap penguatan ini dapat menjadi momentum titik balik dari pelemahan yang selama ini terjadi.

Namun, jika dilihat dari berbagai variabel yang disinyalir menjadi faktor pendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, rasanya harapan menjaga momentum tersebut akan sangat sulit. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS beberapa hari terakhir ini diyakini bukan disebabkan oleh membaiknya kinerja perekonomian dalam negeri. Penguatan nilai tukar rupiah diyakini disebabkan oleh sentimen negatif para pelaku ekonomi global terhadap hasil pemilu sela AS.

Hasil pemilu sela AS yang diluar ekspektasi mengakibatkan arus keluar modal (capital outflow) dari negara adidaya tersebut. Modal yang keluar tersebut masuk ke negara-negara berkembang dalam bentuk investasi jangka pendek (hot money) yang membentuk gelembung ekonomi (bubble economy) sesaat. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah diyakini masih akan tetap sensitif terhadap berbagai gejolak ekonomi politik, baik yang berasal dari sisi eksternal maupun internal.

Salah satu masalah utama yang mengakibatkan tingginya sensitivitas nilai tukar rupiah terha- dap dollar AS adalah defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Selama ini, masalah CAD ini masih jarang dapat perhatian publik. Padahal, masalah CAD ini merupakan inti dari permasalahan volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selama ini.

Masalah klasik

Masalah CAD dalam perekonomian Indonesia adalah masalah klasik yang terjadi sejak 2011. Namun, sampai saat ini, masalah CAD ini belum terselesaikan dengan baik. Bahkan, pada triwulan III-2018, nilai CAD Indonesia mengalami peningkatan dari 8 miliar dollar AS pada triwulan II-2018 menjadi 8,8 miliar dollar AS atau setara dengan -3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional.

Terdapat dua faktor utama yang selama ini jadi penyebab terciptanya CAD dalam perekonomian Indonesia. Pertama adalah selalu negatifnya neraca jasa. Sepanjang sejarah perekonomian Indonesia, neraca jasa Indonesia tidak pernah mengalami surplus. Padahal, dalam neraca jasa Indonesia terdapat sektor pariwisata yang sangat prospektif untuk menghasilkan devisa dalam jumlah besar. Sampai saat ini, jumlah devisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata dalam negeri masih kalah dibandingkan perjalanan dan transportasi penduduk Indonesia yang ke luar negeri. Sektor pariwisata belum bisa menjadi faktor penggerak untuk neraca jasa sehingga mengakibatkan neraca jasa selalu menjadi beban dalam neraca pembayaran Indonesia.

Penyebab kedua adalah menurunnya kinerja neraca perdagangan barang. Pada triwulan II-2018, neraca perdagangan barang masih positif 0,3 miliar dollar AS, tetapi pada triwulan III-2018 neraca perdagangan barang menjadi negatif 0,4 miliar dollar AS.

Sepanjang 2018, neraca perdagangan Indonesia berada dalam zona merah. Sampai Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia hampir selalu mengalami defisit. Hanya pada September, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dan jumlahnya pun tidak begitu besar. Sepanjang 2018, pertumbuhan impor jauh melebihi pertumbuhan ekspor. Kinerja ekspor Indonesia masih jauh dari harapan, bahkan cenderung jalan di tempat.

Nilai ekspor Indonesia pada Oktober 2018 mencapai 15,80 miliar dollar AS atau hanya meningkat 5,87 persen dibandingkan ekspor September 2018. Demikian juga dibandingkan Oktober 2017, ekspor Indonesia hanya meningkat 3,59 persen. Di sisi lain, nilai impor Indonesia pada Oktober 2018 mencapai 17,62 miliar dollar AS atau naik 20,60 persen dibandingkan September 2018. Bahkan, jika dibandingkan Oktober 2017, nilai impor Indonesia naik signifikan, yaitu 23,66 persen. Pertumbuhan impor yang besar pada Oktober ini menjadikan Indonesia kembali mengalami defisit neraca perdagangan. Pada Oktober 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia 1,82 miliar dollar AS.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2018 mencapai 150,88 miliar dollar AS atau meningkat 8,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Sementara ekspor nonmigas mencapai 136,65 miliar dollar AS atau meningkat 8,73 persen. Adapun nilai impor secara kumulatif Januari-Oktober 2018 adalah 156,40 miliar dollar AS atau meningkat 23,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan demikian, secara kumulatif defisit neraca perdagangan Indonesia Januari-Oktober 2018 mencapai 5,52 miliar dollar AS.

Masalah fundamental

Meningkatnya impor bahan bakar minyak (BBM) disinyalir menjadi salah satu penyebab utama dari merosotnya kinerja neraca perdagangan Indonesia. Setiap tahun, gap antara produksi dengan konsumsi terus meningkat tajam. Kemampuan produksi minyak Indonesia hanya mencapai sekitar 750.000 barel per hari, padahal konsumsi BBM per hari mencapai 1,4 juta barel. Dengan kondisi seperti ini, kinerja neraca perdagangan Indonesia akan semakin berat.

Beban neraca perdagangan Indonesia akan makin berat seiring dengan kinerja sektor industri yang tidak kunjung membaik. Gejala deindustrialisasi dalam sektor industri terus terjadi. Hal ini terlihat dari terus menurunnya kontribusi sektor industri terhadap PDB. Pada triwulan III-2018, kontribusi sektor industri terhadap PDB hanya tinggal 19,66 persen atau turun 0,14 persen dibandingkan triwulan II-2018. Padahal, pada triwulan II-2018, andil sektor industri ini telah mengalami penurunan 0,5 persen dibandingkan triwulan I-2018. Dengan demikian, sepanjang 2018, kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional turun 0,64 persen.

Menurunnya kinerja neraca perdagangan Indonesia ini menjadi permasalahan fundamental yang menyebabkan CAD dalam neraca pembayaran Indonesia. Jika masalah CAD ini tetap ada dan nilainya meningkat, masalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan selalu terulang dan tidak akan pernah terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, menjaga CAD menjadi masalah urgen wajib diselesaikan dengan baik oleh pemerintah dan otoritas kebijakan moneter, dalam hal ini Bank Indonesia.