Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 31 Desember 2018

Jurnalisme Rasa//Sampah, Sumpah Membusuk (Surat Pembaca Kompas)


Jurnalisme Rasa

Banyak pandangan filosofis mengenai hakikat manusia. Salah satu pandangan umum menjelaskan manusia terdiri atas badan, jiwa, dan roh. Berbagai ilmu pengetahuan dikembangkan untuk mendalami dan mempelajari setiap komponen manusia itu.

Ilmu kedokteran dengan bantuan teknologi digital yang sudah begitu maju dapat mengungkapkan lebih rinci begitu banyak subkomponen organ fisik dan nonfisik manusia. Psikologi menguraikan bahwa jiwa terdiri atas akal (rasio), perasaan (emosi), dan kemauan (konasi).

Fisafat humanisme mengutamakan nilai dan kedudukan manusia di atas segalanya. Manusia dipandang dalam satu kesatuan menyeluruh. Filsafat ini jadi landasan berpikir dan bertindak Kompas selama 53 tahun lebih, sebagaimana diteliti Wijayanto untuk disertasinya.

Di balik "Amanat Hati Nurani Rakyat" terkandung filsafat humanisme yang senantiasa diterapkan dalam segala kegiatannya. Namun, humanisme ditambahkan dengan kata sifat transendental yang mengasumsikan pengakuan akan hal-hal yang melampaui batas-batas pengalaman dan pengetahuan ilmiah.

Jelaslah cakupan prinsip jurnalisme humanisme transendental sangat luas, tak terbatas. Dari segi penalaran, agak mengherankan ketika Wija menjawab Rahmat Yananda dengan mengatakan Kompas tidak hanya menerapkan prinsip jurnalisme humanisme transendental, tetapi lebih luas: jurnalisme rasa (Kompas, 17/12/2018).

Bukankah rasa hanya salah satu komponen dari kemanusiaan? Dalam arti apa rasa dianggap lebih luas daripada humanisme transendental?

Wim K Liyono Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Sampah, Sumpah Membusuk

Kematian penyu di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo, DIY, harus membuat kita sadar memperlakukan sampah secara bijaksana dan berkesinambungan. Di darat, samudra, dan angkasa raya prevalensi sampah sudah sangat mengkhawatirkan.

Darat sudah tercemari sampah plastik, timbel, dan sejenisnya yang sangat sulit mengalami degradasi atau pembusukan. Udara dicemari asap, karbondioksida, dan kebisingan suara. Sungai dan laut tercemari limbah dan sampah dari industri; juga dari rumah tangga. Ke mana manusia akan tinggal? Bumi hanya satu.

Sudah waktunya negeri ini menyadari bahaya yang ditimbulkan sampah dan limbah. Kita harus segera menginventarisasi masalah sampah, penyebab utama, cara mengatasi, dan pendanaannya. Tak boleh hanya jadi slogan dan sampah semata.

Diperlukan perencanaan menyeluruh dan perundang-undangan sebagai payung hukum dan gerakan/tindakan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Evaluasi terus-menerus harus dilakukan.

Rakyat lelah dan bosan mendengar sumpah yang diulang ulang, bahkan didaur ulang. Mendingan mendaur ulang sampah. Prinsip sanksi dan imbalan perlu dilaksanakan secara bijaksana dan konsisten. Dulu kita bisa tertib, mengapa sekarang tak?

Dengar yang satu ini: sampah berasal dari sumpah yang membusuk. Sumpah yang diperam dan tak dilaksanakan pasti akan mengalami pembusukan dan akibatnya menjadi sampah. Maka, sumpah harus segera dilak- sanakan. Ketika mengucap sumpah, mungkin seorang pejabat masih baik dan bersih.

Namun, kalau tak konsisten dipelihara, ia tentu akan jadi kotor dan membusuk karena kejenuhan dan pengaruh lingkungan kotor dan tak baik.

Saya terkesan dengan binatang pintar di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta, beberapa tahun lalu. Semoga sampai saat ini masih ditampilkan sebagai tontonan dan tuntunan. Berang-berang dilatih membuang sampah pada tempatnya. Setelah itu pawang memberi hadiah berupa makanan. Masa kita kalah oleh berang-berang!

Kebun binatang lain juga perlu belajar di Kebun Binatang Gembiraloka untuk edukasi ini. Ayo melaksanakan sumpah kita agar tak menjadi sampah!

A Astanta Taman Mula Sakti, Bekasi Utara, Jawa Barat

Kompas, 31 Desember 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger