Saya baru saja membaca sebuah artikel hasil wawancara sebuah majalah dengan salah satu bintang tenar di negeri ini. Selesai membaca saya tersenyum. Tersenyum sinis, maksudnya. Sebab, hasil wawancaranya agak jauh berbeda dengan sikapnya saat majalah saya melakukan pemotretan dengannya.
Ganda
Saya sangat mengerti tentang hal itu. Setelah bekerja belasan tahun di dunia media, saya telah melihat banyak kepribadian "ganda" semacam itu, termasuk saya tentunya. Terlihat baik, bijaksana, dan dewasa di majalah, tetapi jauh berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya di dalam majalah, di dalam ranah media sosial pun, hal itu tak dapat dihindari. Kalau Anda membaca akun media sosial saya, saya cukup sering menggunakan kalimat atau menuliskan pesan yang bijaksana, dengan nasihat yang sangat spiritual dan memberi kesan positif. Meski pada kenyataannya saya ini jauh dari apa yang saya tuliskan itu.
Tetapi, mengapa manusia memilih memiliki pribadi sampai lebih dari satu itu? Saya tak tahu. Tetapi, kalau saya, alasannya bisa macam-macam. Bisa jadi kesan positif itu diciptakan bukan untuk menutup kebobrokan atau jaim, melainkan sebuah ungkapan dari rasa bersalah atas kebobrokan yang saya buat, tetapi susah untuk tidak dilakukan.
Misalnya, saya berselingkuh. Maka, kalimat yang digunakan itu justru berlawanan dengan apa yang dilakukan. "Liburan bersama pasanganku dan anak-anak yang tercinta", misalnya. Saya dikenal sebagai sosok pribadi yang apa adanya, kalau bicara ceplas-ceplos. Beberapa klien saya yang menjadikan saya sebagai pembicara selalu mewanti-wanti saya sebelum acara dimulai untuk berhati-hati dalam menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat.
Mereka sangat takut kalau saya membuat mereka yang mendengarkan kaget atau tersinggung. Maka, kalau sekarang saya ini punya pribadi ganda, itu karena sudah terlatih bertahun lamanya. Saya bisa membuat diri saya bijak dan saya bisa membuat diri saya jauh dari bijak. Jadi, saya tak bisa menjadi diri saya yang sesungguhnya karena saya diminta untuk tidak menjadi yang sesungguhnya.
Karena mungkin saja yang sesungguhnya itu begitu menakutkan, maka menjadi tak sesungguhnya akan menjadi jalan yang jauh lebih mulia. Dengan terlatih demikian, kesan akan diri saya lumayan tertolong.
Kalau dulu dikenal sebagai sosok penjahat, sekarang jauh dari kesan yang negatif itu. Tetapi, hal itu malah membuat saya jadi keder. Takut kalau suatu saat saya ketahuan menjadi sesungguhnya.
Horor
Jadi punya kesan positif itu sangat diagungkan agar semua selamat. Padahal, manusia sejujurnya tak selalu memiliki sisi yang positif itu. Tetapi, sisi yang negatif sebaiknya disimpan di rumah saja atau dapat dikeluarkan kalau sedang berada dengan sanak saudara atau teman-teman yang sangat dekat dan yang sudah benar-benar mengenal saya.
Sebab, kalau sampai ketahuan banyak orang, terutama publik, maka yang tak selamat selain saya, bisa jadi juga orang-orang di sekitar saya. Maka, saya suka salut dengan mereka yang tak membutuhkan topeng dalam menjalani kehidupan ini, tak perlu sampai membuat akun bodong untuk mencela orang.
Tetapi, benarkah kejujuran itu seseram film horor atau seperti belati? Ataukah berkesan seperti belati karena saya lebih sering pakai topeng? Karena sering kali pakai topeng, ketika melihat manusia yang berani tanpa topeng, maka kejujuran akan berkesan seperti belati dan atau film horor yang mampu membuat penontonnya menjerit.
Apakah mungkin kalau yang sesungguhnya atau menjadi jujur itu sering dilatih, maka bisa jadi tak lagi terasa seperti belati. Bukankah katanya practice makes perfect? Seperti orang yang melakukan kebohongan atau korupsi, misalnya. Pertama-tama takut, tetapi lama-lama terbiasa dan menjadi enak-enak saja. Enak korupsinya dan enak berbicara saat diwawancarai bahwa korupsi itu tidak baik.
Bahkan, saking terbiasanya, membuat sesuatu hal yang tidak benar menjadi terasa sangat benar. Itu mengapa memberi nasihat pada saat seseorang sedang asyik-asyiknya berselingkuh atau berbohong akan segera ditampik oleh pelakunya.
Dalam kehidupan profesional, saya bertemu banyak manusia berkepribadian ganda yang menggunakan topeng beraneka rupa. Ada yang bermulut manis, ada yang judesnya setengah mati meski kemudian menjadi baik begitu mereka mendapat keuntungan.
Ada yang dengan manis dan santun membalas e-mail untuk memberi tahu kelanjutan proposal yang saya berikan, tetapi kemudian raib entah ke mana dan sampai tulisan ini Anda baca, tak ada jawabannya sama sekali atas proposal tersebut.
Saya percaya bahwa Anda pernah mendengar bahwa kalau kita meninggal dunia, kita tak membawa apa-apa. Benarkah demikian? Mungkin benar, kalau saya tak membawa rumah, tak membawa surat deposito, tak membawa koleksi mobil yang banyak dan tanah yang berhektar-hektar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar