KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO (RON)

Sawitri Supardi Sadarjoen

Ketahuilah, yang terpenting dalam relasi intim adalah keyakinan diri kita sendiri. Kita membutuhkan keyakinan diri kita sendiri dalam mengamati proses informasi penting yang terjadi antara kita dan calon pasangan kita.

Kita membutuhkan suara yang jelas dan kuat untuk membuat makna relasi antar-manusia agar menjadi lebih fokus dan lebih nyata terkait dengan kemungkinan terjadinya perubahan sikap pada pasangan kita di kemudian hari. Kita harus mengungkap suara hati secara jelas dan tegas agar sejak awal relasi yang terbina bersifat fair dan penuh respek.

Apabila kita tidak mampu mengawali relasi dengan cara tersebut, kita akan menghadapi kesulitan dalam memercayai bahwa tidak ada nada perubahan yang drastis apabila kemudian kita berikrar menjalin relasi dalam masa "pacaran" berlanjut ke jenjang perkawinan kelak.

Apabila kita berangkat dari rasa percaya diri pada awal perkenalan dan pendekatan yang dilakukan untuk kemudian mengikatkan diri dalam relasi pacaran, kita akan segera mengetahui perlakuan dan kelakuan mana yang masih dapat kita terima dari pasangan kita.

Kasus

M (25 tahun), perempuan, suatu saat didekati seorang laki-laki K (29 tahun). M segera menanggapi pendekatan yang dilakukan K karena K adalah laki-laki tampan, tampak seolah penuh percaya diri dan sangat simpatik dalam upaya pendekatan terhadap M.

Karena kondisi penampilan yang baik tersebut, mulailah K dan M menjalani masa pacaran. Terkecoh oleh kesan pertama terhadap K, M akhirnya mulai merasa bahwa K adalah seorang yang posesif. Pada awalnya, M selalu berusaha menunda atau mengganti waktu perjanjian dengan teman atau anggota keluarga manakala K memintanya menemani dirinya pada waktu-waktu tertentu. Lama-kelamaan M semakin merasa adanya perbedaan yang tajam antara dirinya dan K tentang relasi lain dalam lingkup sosial mereka.

K melarang M berlatih senam, bahkan ia juga melarang M menonton bioskop dengan sepupunya, dan memaksa M menemaninya makan malam di restoran. Bahkan, K melarang M tetap menjadi anggota perkumpulan pencinta alam. Saat M mengungkapkan kekesalannya akan sikap posesif K terhadap dirinya, K menanggapi dengan penuh pengertian dan simpatik.

Namun, M tetap menghubungi saya sebagai konselor dan menyatakan kekhawatirannya akan sikap posesif K yang dirasa M semakin terasa berlebihan. M mengatakan: "Sebenarnya saya tidak ingin putus hubungan dengan K, tetapi saya sangat jengkel dengan sikap posesifnya."

Sebagai konselor, saya menyatakan kepada M bahwa M tidak perlu memutuskan hubungan dengan K dan juga tidak perlu jengkel terhadap perilaku posesif K, tetapi M hendaknya meyakinkan K bahwa M mencintai K walaupun M tidak menginginkan seluruh kehidupan K dimilikinya. Pada sisi lain, M juga tidak mau menyerahkan seluruh kehidupannya kepada K.

Ketahuilah bahwa apabila M terus-menerus mengikuti keinginan K, kadar posesif K justru akan semakin meningkat. Yang seharusnya dilakukan M adalah bersikap tetap menghargai K, tetapi tidak berarti bahwa M harus menjauhkan diri dari pergaulan dengan sepupu dan dengan teman-teman pencinta alam.

Jadi, apabila dilarang K untuk pergi menonton dengan sepupu atau naik gunung, M harus mencari dalih lain dan berupaya lain untuk membuat K tetap merasa penting dan spesial bagi M.

M harus menciptakan relasi terbuka kepada K, tetapi juga harus mampu mendengarkan suara batinnya untuk tetap bisa menjalani berbagai aktivitas mandiri yang pernah dilakukannya sebelum berhubungan dengan K. M dapat membuka jalur komunikasi dengan tetap mempunyai ruang untuk juga mendengar perasaan dan keterpakuan dari K terhadap diri M.

Dalam hal ini, M perlu tetap menjaga kemandiriannya, sebagai hal yang berarti penting bagi M. Hal itu tidak berarti bahwa M harus bersikap kaku dan tidak bersikap kompromistis serta gagal dalam mempertimbangkan keinginan-keinginan K karena setiap relasi yang terjalin antardua orang memerlukan kompromi dan give and take. Namun, tetap harus memiliki suara untuk mengambil keputusan tentang nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan prioritas-prioritas dari M yang tidak bisa diabaikan.

Apabila M menempatkan diri secara tepat dalam relasinya dengan K, maka akan terjadi tiga kemungkinan sebagai berikut: (1) Apakah pacarnya bersedia tetap menjaga relasi serta menjadikan dirinya lebih dewasa, atau (2) Apakah K mungkin akan memutuskan hubungan dengan M dan pergi mencari pasangan lain yang bersedia bergabung sepenuhnya pada diri K, atau (3) M justru akan lebih memperoleh kejelasan dari apa yang dibutuhkan, yang bisa membuka peluang bagi berakhirnya hubungan dengan K.

Tantangan di dalam setiap relasi intim menuntut kita memahami "aku" dan "kami" tanpa keduanya kehilangan kemandirian. Apabila kita menghadapi pilihan, terkadang kita butuh untuk menentukan pilihan dengan cara bersikap diam, atau tetap bertahan berperilaku dalam jalinan relasi yang menyertakan aspek nilai dan keyakinan yang paling aman dan tenteram untuk diri kita sendiri.

Sebagai konselor, saya dapat menambahkan bahwa kita belajar banyak tentang pasangan kita melalui observasi yang kita lakukan terhadap teman-temannya dan keluarganya.