Paris dan Perancis dilanda demonstrasi, bermuara kerusuhan sejak beberapa minggu terakhir. Pendemo menyerang lambang-lambang negara: kantor-kantor prefecture, bahkan "Makam Pahlawan Tak Dikenal" di jantung Paris. Mobil-mobil dibakar—suatu kebiasaan Perancis—dan jalan seluruh negeri diblokade.
Bila pun jumlah demonstran relatif kecil, jumlah pendukungnya besar, mencapai 70 persen. Mereka bukan kaum buruh, melainkan kaum menengah bawah berpendidikan tanggung, di bawah sarjana. Maka, apakah Perancis dan Eropa berada di ambang guncangan politik dahsyat? Tidak mustahil.
Apa gerangan yang memicu Perancis bergolak? Adakah soal kemiskinan? Ini tidak mungkin. Perancis termasuk negara dengan pendapatan per kapita sangat tinggi. Teknologinya canggih dan pemikir sosialnya merajai dunia. Lebih-lebih peran negara dalam ekonomi amat tinggi, dengan kebijakan redistribusi kekayaan nasional yang cakupannya terluas di Eropa.
Angka kemiskinan lebih rendah daripada di Amerika dan Britania Raya. Pendidikan gratis, sementara sistem kesehatan termasuk tercanggih, termurah di dunia. Lalu, mengapa Macron, presiden yang dipilih 18 bulan lalu, terancam ditumbangkan segelintir "baju kuning" (gilets jaunes) beraliran politik ngambang? Mengapa situasi kerap dicap pra-revolusioner.
Krisis ini lahir dari suatu paradoks struktural yang gagal diatasi oleh Macron. Di Perancis, beban pajak (46 persen, tertinggi di Eropa) memberatkan pertumbuhan ekonomi. Upah pekerja per hari dan biaya produksi terkait termasuk tertinggi di Eropa. Akibatnya, insentif untuk berinvestasi di dalam negeri relatif rendah. Modal swasta Perancis diinvestasikan di China, Vietnam, dan Eropa Timur, yang menjanjikan keuntungan lebih memadai. Akibatnya pertumbuhan ekonomi anjlok; dengan tingkat pengangguran tinggi (9 persen), ini bermuara pada retaknya kohesi sosial.
Sementara itu, para pengusaha "mengimpor" tenaga kerja murah dari Maghrib, Afrika Barat, dan Eropa Timur demi mengisi posisi kerja "rendahan" dan menekan biaya produksi. Alhasil kaum buruh Perancis yang secara tradisional berhaluan kiri-humanis (sosialis) merasa tersaingi kaum pendatang berbudaya "lain", lalu berbondong-bondong merangkul partai ultra-kanan Front National yang anti-pendatang.
Hasilnya: keseimbangan politik tradisional antara kiri moderat (sosialis) dan kanan-moderat terjungkir-balik. Meski dikucilkan karena sisi fasisnya, Front National ternyata kian populer dan bahkan tampil sebagai oposisi utama pada beberapa pemilihan umum yang lalu.
Sementara itu, dalam keseharian, kaum elite Perancis, yang menikmati hasil investasi luar negerinya—dan tidak tersaingi pendatang yang berbudaya lain—terus berkoar-koar tentang liberté, égalité,dan fraternité tanpa menyadari bahwa kebutaannya terhadap dinamika kapitalis global melahirkan monster yang, bagai Bhatara Kala, kini menuntut ruang napasnya.
Muncullah si maha-cerdas Macron, yang dipilih tahun lalu sebagai Presiden Perancis dengan program reformasi ambisius: dia berjanji akan menggenjot kembali laju ekonomi Perancis dengan meringankan pajak kaum pemilik modal serta memberikan insentif untuk berinvestasi dalam ekonomi digital, robotika, dan lain-lain.
Selaras dengan itu, Macron akan meningkatkan grafik kompetisi Perancis melalui reformasi pendidikan dan ketenagakerjaan serta mengurangi subsidi non-produktif. Dia juga akan melakukan transisi ekologi menuju energi bebas karbon dengan memungut pajak khusus atas fuel (bensin). Dengan kebijakan koheren ini, pikirnya, Perancis cepat tampil di garda terdepan negara maju.
Program Macron seharusnya berhasil bila presiden ini tidak tampil arogan di mata mereka yang diminta berkorban: para pekerja membutuhkan mobil untuk mencapai tempat kerja, puluhan kilometer dari tempat tinggalnya. Ketika pajak atas minyak naik, mereka membentuk grup-grup penentang di Facebook yang segera mencapai ratusan ribu orang. Lalu mereka memblokade jalan, memprovokasi alat negara. Dan, kerusuhan pun meledak.
Singkatnya apa yang terjadi? Kaum menengah bawah Perancis tidak menerima nasibnya di dunia global: disaingi kaum pendatang, terancam pengangguran, dan diperas pajak atas nama ekologi dan keadilan sosial. Merasa dikhianati sistem politik, mereka berontak.
Jadi, pemberontakan para baju hijau di Paris bukanlah tidak terkait dengan apa yang terjadi di Amerika-nya si Trump, di Inggris-nya si May: kaum menengah diperlemah, kohesi sosial retak dan kaum ekstrem memunculkan ujung hidung kotornya.
Sementara itu, di belahan dunia lain, tantangan globalisasi direspons dengan mengibarkan panji agama? Jadi, baik di Paris maupun di Jakarta, rasionalitas dibuang di tong sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar