Semangat pembangunan perdesaan pernah menggebu pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hingga Indonesia mencapai swasembada/surplus beras pada 1984 dan meraih penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Namun, ketika kebijakan pembangunan nasional bergeser ke sektor industri pada akhir 1980-an, berlangsunglah fenomena "devitalisasi" atau "marjinalisasi" desa.

Fenomena ini bertambah parah akibat pelaksanaan perjanjian RI-Dana Moneter Internasional tahun 1998-2003, yang antara lain memangkas peran Bulog sebagai stabilisator pangan nasional dan defungsionalisasi koperasi unit desa (KUD), ditambah dicabutnya subsidi pupuk, serta impor bahan pangan secara masif. Akibatnya, desa-desa basis pangan nasional pun terpuruk ke titik nadir. Banyak warga desa, khususnya keluarga petani, yang eksodus ke kota sebagai pekerja informal, bahkan ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita.

Sejak DD diluncurkan tahun 2015, desa seolah berlomba membangun sarana dan prasarana desa, termasuk jaringan jalan desa dan irigasi. Sayangnya, momen ini datang ketika lahan pertanian rakyat, khususnya tanaman pangan, terus menyusut terancam konversi, termasuk oleh ekspansi pertanian komersial. Nyaris tak ada ruang ekspansi untuk lahan tanaman pangan rakyat, terutama di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.

Skenarionya tentu sangat berlainan, antara menginjeksi desa dengan pembangunan infrastruktur berskala masif pada saat rerata skala usaha tani masih di atas satu hektar dengan ketika para petani hanya berlahan 2.000 meter persegi bahkan kurang. Dalam kondisi seperti ini, tambahan investasi infrastruktur tak lagi sebanding dengan tambahan output bahan pangan dan tak lagi sebanding dengan peningkatan pendapatan petani dari aktivitas pertaniannya.

Maka, yang justru lebih diharapkan adalah berkembangnya kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan dalam rangka diversifikasi ekonomi desa dan diversifikasi pendapatan masyarakat desa. Di sinilah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat berperan strategis.

UU No 6/2014 mengamanatkan BUMDes untuk mengelola SDA (ekowisata, agrowisata, industri berbasis SDA lokal, dan industri kreatif) dan layanan umum (sistem penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan pasar, dan lainnya) pada level desa. Selanjutnya, hasil usaha BUMDes akan digunakan untuk pengembangan usaha BUMDes, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, lewat mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Artinya, UU memang menghendaki BUMDes tampil menjadi institusi wirausaha sosial di tingkat desa. Institusi wirausaha sosial melakukan pendekatan bisnis dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan sosial berkelanjutan, yang meliputi pengentasan rakyat miskin, penyediaan lapangan kerja produktif, peningkatan integrasi sosial, dan perbaikan lingkungan hidup perdesaan.

Sukses sebelum DD

Beberapa BUMDes terbaik tingkat nasional 2018 didirikan jauh sebelum adanya DD. Sebut saja BUMDesa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten, yang pada 2018 omzetnya lebih dari Rp 14 miliar, berdiri 2009. Awalnya BUMDes ini hanya bermodalkan Rp 100 juta dari hibah pemerintah desa (pemdes) setempat tahun 2009. Berikutnya, BUMDesa Sukamanah, Megamendung, Kabupaten Bogor, berdiri 2010, pada 2018 mengelola pasar desa dengan 170 kios. Modal awal BUMDes ini dari hibah Pemprov Jawa Barat sebesar Rp 750 juta.

Ini berarti sebelum adanya DD, sudah ada BUMDes yang sukses berkat bantuan modal dari pemdes atau pemerintah di atasnya. Maka, sesudah DD, seharusnya lebih banyak lagi BUMDes yang sukses, minimal berkat fasilitasi dari pemdes sendiri. Apalagi sejak 2015 dibentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Pasal 90 UU No 6/2014 menyebutkan, pemerintah di semua tingkatan, termasuk (dan terlebih) pemdes perlu mendorong pengembangan BUMDes melalui hibah dan/atau akses permodalan, serta akses pasar. Kepala desa selaku pengawas BUMDes memiliki peran sangat menentukan dalam mengembangkan usaha BUMDes.

Faktanya, hingga akhir 2018 belum "terdengar" BUMDes yang didirikan pasca-DD (tahun 2015 dan sesudahnya) mampu  mendulang sukses dengan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap APBDes, katakanlah minimal 25 persen dari APBDes, yang dialokasikan baik untuk pembangunan infrastruktur desa maupun pembangunan sosial. Lambannya perkembangan jumlah BUMDes sukses yang berdiri pasca- DD menunjukkan bahwa fasilitasi oleh pemdes, terutama kades, secara umum jauh dari memadai. Bahkan pada beberapa kasus di lapangan ditemukan (mis)persepsi bahwa kehadiran BUMDes hanya "mengganggu" pemdes.

Padahal, cukup banyak peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan BUMDes, apalagi jika didukung captive market dari pemdes. Contoh paling sederhana, meningkatnya permintaan bahan-bahan bangunan seperti pasir, batu pecah, semen, besi beton, dan kayu, terkait maraknya pembangunan sarana prasarana desa dapat menjadi satu peluang bisnis BUMDes. Selain itu, penyewaan peralatan/mesin konstruksi ringan, seperti molen dan handstamper. Tim Pengelola Kegiatan DD cukup memesan kebutuhan proyek melalui BUMDes. Kenyataannya, justru toko bahan bangunan milik para pemodal bertumbuh di dalam dan di sekitar daerah perdesaan.

Yang lebih diharapkan tentunya adalah bahwa BUMDes mampu mengolah produk-produk unggulan desanya sendiri, di samping menyelenggarakan fungsi layanan umum. Jika berkembang dan dikembangkan sesuai amanat UU, BUMDes akan memberikan dampak peningkatan kesejahteraan warga desa secara lebih berkelanjutan, sementara proyek-proyek padat karya tunai hanya mampu memberikan peningkatan pendapatan yang sifatnya sangat temporer dan lapangan kerja sangat terbatas, relatif terhadap jumlah warga marjinal yang sedemikian banyak.

Oleh karena itu, "menggeber" pengembangan BUMDes lewat pendekatan kewirausahaan sosial menjadi solusi tepat untuk mengatasi masalah sosial ekonomi desa dengan memanfaatkan momentum DD. Sayang seribu sayang, jika momentum ini berlalu begitu saja. Sebab, BUMDes-lah yang akan menopang kemandirian desa apabila suatu saat DD tak ada lagi.