KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Peringatan Hari Lahir Pancasila – Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) menggelar Upacara peringatan Hari Lahir Pancasila yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo di depan Gedung Pancasila, Kompleks Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (1/6/2018). Di gedung itu, rumusan Pancasila disampaikan oleh Presiden Pertama Soekarno dalam pidatonya di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Moment tersebut menjadi tonggak sejarah lahirnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.

Seiring dengan rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir—walau tampaknya gagal karena Ba'asyir menolak tanda tangan kesetiaan kepada Pancasila—terjadi perdebatan pro dan kontra baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Salah satu alur perdebatannya adalah masalah relasi Islam dengan Pancasila, dan akhirnya merembet ke masalah khilafah (negara Islam).

Bernegara: Islam saja minus Pancasila?

Saya biasa menguji mahasiswa saat di kelas dengan melontarkan logika jebakan, "Saat Anda ditawari untuk memilih antara Islam dan Pancasila, pilih mana?" Jawaban mereka rata-rata adalah memilih Islam. Jawaban normatif yang sangat mungkin akan dianggap benar.

Namun, sebenarnya bagi kelompok radikal, pertanyaan seperti ini adalah pintu masuk untuk mencuci otak generasi muda terkait politik kebangsaan. Apabila ditemui generasi muda seperti itu, ini bisa jadi semacam sistem deteksi dini ideologi berkebangsaan yang harus segera dibereskan sebelum generasi muda kita terjebak cara pandang dikotomis antara Islam dan Pancasila.

Harus disadari, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya atau bahkan menolak relasi kompatibel antara Islam dan Pancasila. Bahkan masih ada yang ingin mengganti Pancasila dengan Islam. Padahal, jika mereka mau membaca kilas balik sejarah perjalanan bangsa Indonesia, masalah Islam sebagai dasar negara sudah pernah diwacanakan sebelum merdeka, seperti dijelaskan KH Saifuddin Zuhri dalam karya masterpieceBerangkat dari Pesantren.

Pascakemerdekaan, masalah ini diulangi lagi. Menurut KH Salahuddin Wahid dalam buku Nasionalisme dan Islam Nusantara, akhirnya muncul tiga tokoh Islam bermusyawarah dan tanpa ragu menghapus tujuh kata dari Piagam Jakarta.

Puncaknya, saat rapat-rapat konstituante (1956-1959), wacana Islam sebagai dasar negara tetap disuarakan oleh partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, dan lain-lain), dan pada akhirnya terjadi Dekrit Presiden 1959. Dekrit ini disetujui para tokoh bangsa, termasuk dari kalangan umat Islam. Abdul Mun'im DZ dalam buku Fragmen Sejarah NU menjelaskan tentang KH Wahab Chasbullah, pahlawan nasional yang menyetujui dekrit,  asalkan nilai-nilai dalam Piagam Jakarta menjiwai dekrit tersebut. Bung Karno pun sepakat dengan usul KH Wahab.

Sejarah di atas sebenarnya amat cukup bagi yang mau mengambil pelajaran. Namun, faktanya tak demikian. Terdapat sebagian kecil masyarakat yang masih mempertanyakan relasi Pancasila dengan Islam dengan melontarkan pernyataan kenapa tak langsung menerima Islam saja. Muncul ujaran, jika muatan Pancasila sejalan atau malah bagian dari ajaran Islam, kenapa tak langsung memilih Islam saja? Pendapat seperti ini tak menyadari atau malah tak membaca konteks historis proses panjang perjalanan bangsa Indonesia yang melalui banyak liku dan berakhir dengan kesepakatan yang begitu rumit, melelahkan, "berdarah-darah".

Kesepakatan agung yang menghasilkan Pancasila, UUD 1945, inilah yang seharusnya disadari semua pihak. Melepas konteks sejarah sama saja memutar kembali jarum sejarah dan gambaran debat panjang dan melelahkan, akan menghambat cita-cita besar bangsa Indonesia. Seandainya slogan kembali ke Islam itu diterima, jangan dikira selesai masalah kenegaraan bangsa Indonesia.

Pertanyaan lanjutan, Islam ala mazhab atau aliran mana yang akan dijadikan landasan konstitusi? Islam ala puritan atau Islam ala mayoritas yang dipegang rakyat Indonesia, atau kalau mengacu di dunia Islam, mau meniru Islam ala Arab Saudi atau ala Republik Islam Iran? Ini satu masalah lagi yang bisa menimbulkan friksi sesama umat Islam.

Belum lagi ketika mereka yang getol menyuarakan kembali ke Islam diminta menjelaskan nalar argumentasinya. Apakah kembali kepada Islam artinya kembali ke apa yang tertulis di Al Quran dan hadis saja? Kalau ini yang dimaksud, akan banyak hal yang tak tercatat di Al Quran dan hadis. Inovasi dan perkembangan teknologi dan budaya begitu masif, tak semua tertulis di teks suci.

Namun, kalau yang dimaksud adalah Islam dengan berbekal ijtihad dengan mengakomodasi penalaran, para ulama yang ikut mendirikan NKRI dan membangun fondasinya juga telah melakukan hal yang sama dalam menerima Pancasila. Maka, tepat yang diurai Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya.

Untuk itu, dalam memahami Islam tentu perlu nalar. Kalau nalar digunakan, Anda tak akan sulit menerima kesepakatan bangsa yang nanti disebut dengan Pancasila. Ilmu menalar ajaran agama ini terakomodasi dan terkompilasi dalam nomenklatur yang disebut ushul fiqh. Ternyata masih ada juga pertanyaan, lebih tinggi mana Pancasila dengan Islam? Tentu sang penanya tak paham fungsi hierarki dalam konteks pertanyaan ini. Hierarki dalam hal ini adalah jika ada pertentangan. Padahal, sudah dijelaskan di atas tentang kompatibel antara Islam dan Pancasila. Artinya,  pertanyaan ini sia-sia.

Terkadang juga muncul pernyataan, jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa negara Muslim lain tak memakai Pancasila? Pernyataan sederhana ini jangan dianggap main-main. Bagi generasi milenial yang sedang dalam tahap pencarian identitas, ini dianggap problem yang perlu diselesaikan.

Intinya, perlu penjelasan konteks keindonesiaan, kenusantaraan, dan pendedahan masalah budaya dan tradisi sehingga bisa memahami posisi Pancasila yang hanya digunakan bangsa Indonesia. Atas itu semua, kalau mereka menuntut keseragaman, realitas dunia Muslim juga tak seragam dalam memaknai ajaran Islam, terbukti dari banyaknya aliran dan mazhab.

Pancasila dan khilafah

Problem lain yang ditarik-tarik akibat pembahasan relasi Islam dan Pancasila adalah soal khilafah. Mereka melontarkan pernyataan, kalau ada yang berani mengonstruksi bahwa Pancasila muatannya adalah bagian dari ajaran Islam, maka seharusnya juga menerima khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Bukan malah menolak/menentang ide khilafah.

Hal yang tak mereka sadari adalah, konsep khilafah itu beragam, bukan tunggal. Terbukti ada khilafah ala Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), khilafah ala HTI, khilafah ala Ahmadiyah, dan lain-lain. Pertanyaan lanjutan adalah, apakah semua yang disebut ajaran Islam wajib dilaksanakan? Tentu tidak demikian.

Masalah poligami, urusan makan-minum, dan-lain-lain tercantum dalam teks suci Islam. Namun, tak ada yang mengatakan bahwa itu suatu yang wajib dilaksanakan. Masalah itu dikaitkan dengan kajian dalam ushul fiqh yang masuk dalam wacana perintah (amr). Perintah dalam teks suci Islam bisa merupakan hal wajib, haram, makruh, sunah, dan mubah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sekalipun masalah khilafah jadi bahasan para ulama dalam fikih politik, itu bukan hal yang wajib diterapkan. Terlebih lagi khilafah bukan merupakan satu-satunya sistem politik Islam, baik dalam sejarah Islam maupun dalam kajian turats Islam.

Buku yang berjudul The New Islamic Dynasties karya Clifford Edmund Bosworth cukup jelas menyajikan ragam nama dinasti (bukan khilafah saja) yang muncul sepanjang sejarah di dunia Muslim. Maka, wajar apabila dalam kajian fikih siyasah banyak nomenklatur sistem politik yang telah dan sedang diaplikasikan oleh negara-negara Muslim, semisal khilafah, kerajaan, kesultanan, wilayatul faqih, dan tentu NKRI.