Walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyusunan topik dan soal untuk materi antikorupsi, pada saat debat calon presiden- calon wakil presiden, hal-hal yang menjadi perhatian KPK tidak terelaborasi dengan baik. Format debat cenderung kaku dan tak mengeksplorasi visi-misi, strategi, dan ide asli (genuine idea) pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang sedang bertarung memperebutkan hati rakyat.
Saya sengaja menulis artikel ini setelah debat capres-cawapres pertama agar "tidak mengganggu" agenda debat yang telah disepakati oleh pasangan calon dan KPU.
Satu-satunya yang patut disyukuri oleh rakyat Indonesia dari debat yang telah berlangsung, bahwa kedua pasangan berjanji dengan sepenuh hati (semoga bukan janji kampanye saja) bahwa mereka akan mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia dan akan memperkuat KPK. Sayangnya, ketika debat berlangsung, strategi pencegahan/pemberantasan korupsi dan tata cara memperkuat KPK tidak terjabarkan dengan gamblang dan terukur.
Untuk membantu masyarakat dan kedua pasangan yang sedang berebut hati rakyat yang telah muak dengan korupsi, berikut ini saya kemukakan beberapa hal yang KPK anggap penting untuk dipikirkan dalam penyusunan strategi, program, dan aksi dalam pencegahan/pemberantasan korupsi, yakni (i) regulasi, (ii) kelembagaan, dan (iii) program/aksi. Ketiga hal penting itu tidak tersampaikan dengan tuntas dalam debat yang telah berlangsung.
Landasan regulasi
Hal yang paling utama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah "kemauan/kesepakatan politik" yang terwujud dalam regulasi yang jelas, terukur, dan tidak ambivalen agar gampang untuk dijadikan landasan dalam pencegahan/pemberantasan korupsi yang telah menggurita dan menyandera negeri.
Seperti sering kita kemukakan dalam setiap kesempatan rapat di Komisi III DPR, bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menjadi landasan pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini masih sangat tertinggal dan cenderung "kampungan" karena definisi korupsi masih mensyaratkan adanya "kerugian negara". Padahal, di banyak negara di dunia, korupsi didefinisikan secara luas sebagai fraud dan tidak perlu ada unsur kerugian negaranya.
UU Tipikor juga masih belum semuanya sinkron dengan Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convection Against Corruption/UNCAC) walaupun Indonesia telah meratifikasinya dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Ketidaksinkronan ini telah dilaporkan dengan gamblang oleh negara-negara yang menilai (review) Indonesia, yakni Inggris, Uzbekistan, Yaman, dan Ghana.
Dalam dua putaran penilaian, mereka menemukan bahwa UU Tipikor Indonesia belum patuh (comply) dengan UNCAC karena UU Tipikor Indonesia sampai saat ini belum memiliki pasal yang mengatur secara khusus hal-hal berikut: (i) memperkaya diri dengan secara tidak sah (illicit enrichment), (ii) perampasan aset (asset recovery), (iii) penyuapan pejabat publik asing (bribery of foreign public official), (iv) penyuapan sesama swasta (private sector bribery), dan (v) memperdagangkan pengaruh (trading in influence). Di samping itu, rezim pelaporan harta kekayaan (asset declaration) penyelenggara negara (LHKPN) yang ada masih cenderung "kampungan" karena sanksinya tak jelas sehingga banyak penyelenggara negara yang tak patuh.
Oleh karena itu, jika kedua pasangan calon peduli dan serius untuk memberantas korupsi, mereka harus berjanji bahwa pada seratus hari pertama pemerintahan mereka akan mengusulkan revisi UU Tipikor sesuai dengan rekomendasi KPK dan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC). Janji seperti ini yang dibutuhkan rakyat karena konkret dan terukur ketimbang hanya sekadar jargon untuk serius memberantas korupsi.
Kelembagaan
Rakyat Indonesia patut bersyukur karena kedua pasangan berjanji akan memperkuat KPK, tetapi strategi dan cara untuk memperkuat KPK tidak dijelaskan secara komprehensif. Janji-janji yang seperti ini perlu dielaborasi dengan detail agar masyarakat dapat menilai pasangan mana yang lebih serius.
Untuk memberikan gambaran pada publik, mungkin ada baiknya saya membandingkan "kekuatan" KPK dengan lembaga antikorupsi yang lain. Sekadar informasi, sampai dengan saat ini KPK memiliki sekitar 1.500 pegawai, termasuk pegawai negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidak tetap.
Dari jumlah tersebut, yang bekerja untuk bidang intelijen, penerima pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekitar 500 orang. Selebihnya bekerja untuk pencegahan dan bidang-bidang lain. Intinya, hanya 30 persen yang bekerja untuk penindakan, padahal KPK bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia, dan sampai saat ini belum memiliki kantor regional di daerah.
Sebagai perbandingan, Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) memiliki sekitar 3.000 pegawai dan memiliki kantor cabang pada setiap negara bagian, padahal penduduk Malaysia hanya sekitar 32 juta orang. Perbandingan berikutnya dapat dilihat pada kekuatan Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong yang memiliki 1.400 pegawai dan 1.000 orang didedikasikan untuk penindakan, padahal jumlah penduduk Hong Kong hanya 7,5 juta. Dari kedua perbandingan itu, KPK jelas sangat kecil dibandingkan Malaysia dan Hong Kong.
Hal lain yang perlu pula diperhatikan oleh kedua pasangan adalah bahwa berdasarkan best practices yang direkomendasikan UNODC, sebagaimana diterapkan oleh Hong Kong, Malaysia, Singapura, Inggris, Selandia Baru, dan negara-negara lain, kewenangan investigasi korupsi hanya diserahkan kepada satu lembaga, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Sayangnya, kedua pasangan tidak menjelaskan secara gamblang strategi penguatan KPK, baik dari segi penguatan kelembagaan maupun dalam kewenangan.
Pasangan calon nomor urut 02 memang berjanji untuk membuat cabang-cabang KPK di daerah, tetapi pada saat yang sama juga berjanji untuk menjadi chief of law enforcement agencies di mana di mata KPK agak problematik karena kekuatan paling utama lembaga penegak hukum (termasuk KPK) adalah independensi dari intervensi politik dan kekuasaan.
Oleh karena itu, jika kedua pasangan serius untuk memperkuat KPK, mereka harus mampu berjanji untuk memperkuat KPK, baik dari segi peningkatan sumber daya manusia maupun dari segi kelembagaan, kewenangan, independensi, dan perlindungan pada semua pegawai KPK dari intimidasi/retaliasi yang berasal dari aparat negara lain dan dari pemilik modal yang mampu melawan dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki.
Program antikorupsi
Mengingat korupsi masih merajalela dan masih membelenggu negeri dari pusat sampai desa, kedua pasangan calon harus mampu menunjukkan program kerja dan program aksi prioritas baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Dari segi pencegahan, sebagaimana telah dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, presiden terpilih harus fokus pada sumber dan akar korupsi di Indonesia, yakni (i) sistem perizinan dan tata niaga, (ii) penyelamatan keuangan negara, dan (iii) sistem penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Harus diakui bahwa sistem perizinan pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota masih diselimuti oleh praktik suap-menyuap sehingga perlu ada sistem perizinan yang transparan dan akuntabel agar mampu mencegah praktik suap-menyuap antara pemohon dan pemberi izin. Diharapkan dengan terciptanya perbaikan sistem perizinan yang telah diawali sekarang, tata niaga dan investasi serta impor dan ekspor dapat terbebas dari praktik korupsi dan biaya tinggi.
Dari segi penyelamatan keuangan negara, perlu diakui bahwa sebenarnya Indonesia bukan negara miskin karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya serta sumber-sumber ekonomi yang lain, tetapi sayangnya semua penerimaan (revenue) yang disumbangkan oleh sumber daya alam (migas, tambang, hutan, kebun, perikanan) tidak terkumpul dengan baik dan hanya memperkaya pemburu rente dan pejabat korup. Di samping itu, manajemen perpajakan dan bea cukai serta pengelolaan BUMN juga masih sangat rentan dari korupsi sehingga perlu direformasi agar lebih transparan dan akuntabel.
Akhirnya, sistem penegakan hukum dan reformasi birokrasi harus dibenahi secara menyeluruh karena kualitas penegak hukum kita (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) menurut temuan World Justice Project 2017-2018 masih sangat jelek dan bahkan masih menjadi beban dalam meningkatkan nilai Indeks Persepsi Korupsi nasional. Realitas ini harus disikapi sebagai ironi nasional dan tidak dapat diabaikan oleh kedua pasangan calon karena aparat penegak hukum seharusnya menjadi lembaga tepercaya di negeri ini, tetapi sayangnya sampai hari ini masih dianggap sebagai lembaga yang korup.
Oleh karena itu, kedua pasangan harus mampu mencari jurus jitu dalam memberantas korupsi di lembaga penegak hukum. Debat yang telah berlangsung sayangnya tidak mengelaborasi dengan baik ketiga poin prioritas strategi nasional tersebut.
Perlu saya ingatkan bahwa di samping ketiga prioritas utama itu, kedua pasangan calon harus berjanji dengan sungguh-sungguh untuk mencegah korupsi, di sektor politik karena salah satu akar korupsi negeri ini adalah biaya politik yang sangat mahal dan sistem penggajian yang tidak rasional. Kedua pasangan juga harus mampu membatasi transaksi uang kartal (cash transaction) dan penunjukan langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa karena terbukti menyuburkan suap-menyuap.
Masyarakat dan pegiat antikorupsi juga berharap bahwa kedua pasangan calon diharapkan mampu mencegah tidak terulangnya state captured corruption seperti kasus KTP-el yang sering digoreng oleh elite legislatif dan eksekutif yang berkedok pembangunan sistem dan infrastruktur, tetapi ujung-ujungnya berharap mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.
Akhirnya, saya mengingatkan bahwa rakyat Indonesia tidak gampang lagi dibuai dengan janji dan rayuan karena mereka mengetahui "mana emas mana suasa". Saya memercayakan pemberantasan korupsi dan masa depan KPK kepada pasangan calon yang sedang berjuang, dan berharap yang paling baik komitmen antikorupsinya yang terpilih memimpin negeri. Semoga Allah, Tuhan semesta alam, melindungi negeri ini dari keserakahan manusia yang tidak berujung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar