Dalam situasi bangsa seperti ini, sebetulnya tak terlalu penting memperdebatkan masalah ini karena keduanya sama baiknya, tetapi jika tidak diurus dengan baik dan benar hanya akan jadi jargon belaka, apalagi kalau sengaja dipertentangkan, sementara kondisi rakyat kita saat ini sudah sangat memerlukan peningkatan kualitas karakter (perilaku, sikap, dan cara berpikir) secara nyata.
Jangan sampai isu yang sebetulnya netral ini ditarik ke ranah politis, apalagi ideologis.
Pengertian "mental" dan "moral" sangat cair, apalagi bagi orang awam. Mereka tak peduli perdebatan konseptual apalagi filosofis yang njelimet tentang perbedaan keduanya, yang penting kita mau melakukan apa dengan revolusi mental atau moral itu dan apa manfaatnya.
Apa persamaan, perbedaan, dan persinggungan kedua konsep? Mental berakar dari bahasa Latin, mens, yang menunjuk pada kemampuan berpikir, karena itu kita kenal istilah mental health, mental hospital, dan sebagainya. Konsep moral juga berasal dari bahasa Latin, mores, yaitu adat istiadat atau pedoman perilaku.
Pada perkembangan selanjutnya, kedua konsep bisa sama-sama menunjuk pada pengertian kualitas, standar, atau pedoman baik-buruk dari cara berpikir, bersikap, dan perilaku yang berada di luar ranah hukum formal, di mana perkembangannya ditentukan oleh kondisi sosiologis dan budaya masyarakat bersangkutan.
Meski keduanya mengacu pada hal yang sama, secara sosiologis kedua konsep memiliki sifat agak berbeda. Mental biasanya ditujukan pada karakter atau kualitas cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang bersifat profan dan universal, yaitu bisa berlaku untuk semua orang, semua golongan, misalnya mental kerja (etos kerja): rajin atau malas, mental tertib, kesopanan, mental kejujuran, mental melayani, dan lain-lain.
Adapun moralitas penekanannya bukan sekadar "baik atau buruk", melainkan punya konotasi "dosa atau tidak dosa" (haram atau halal), Jadi, moral sering digunakan dalam ranah sistem kepercayaan (termasuk agama), misalnya bagaimana cara berpakaian yang bermoral, pergaulan muda-mudi yang bermoral, hiburan yang bermoral, dan seterusnya. Maka, konsekuensinya, pelanggaran moral bisa dianggap "dosa", sementara pelanggaran terhadap sikap mental tertentu tidak dianggap sebagai dosa.
Dalam banyak hal tuntutan moral dan mental memang bisa sama, misalnya tentang tindakan kriminalitas, korupsi, pemerkosaan, terorisme, semua itu dianggap melanggar moral sekaligus merupakan perwujudan mental yang buruk.
Adalah tak benar jika dikatakan revolusi mental tak memiliki landasan nilai. Saat ini revolusi mental yang dikampanyekan oleh pemerintah berfokus pada tiga nilai: integritas (kejujuran), etos kerja, dan gotong royong. Nilai ini tak perlu disakralkan atau diabsolutkan, tetapi perlu dikampanyekan, diberi prioritas untuk dikembangkan karena bersifat strategis secara nasional dalam rangka meningkatkan kualitas cara pikir, sikap, dan perilaku masyarakat sehingga bisa bersaing lebih baik di kancah global.
Jangan hanya jargon
Revolusi moral tentu saja baik, tetapi sebaiknya jangan didominasi standar keagamaan yang "partikularistik" (khusus), karena ini bisa memicu kontroversi dengan berbagai agama lain, bahkan dengan adat istiadat yang dianut oleh berbagai suku di masyarakat Indonesia yang majemuk. Memaksakan standar moral tertentu sering kali justru akan menghasilkan konflik budaya yang secara nasional bersifat disintegratif.
Untuk menggalakkan revolusi moral yang bersifat spesifik keagamaan, sebaiknya dilakukan secara internal di setiap agama masing-masing, tak perlu diselenggarakan oleh negara. Semua itu ada bidangnya masing-masing. Perlu juga diwaspadai munculnya sekelompok orang yang mengklaim diri paling bermoral ("moralis") dan boleh menuduh orang lain "tak bermoral" bahkan mengafirkan. Negara juga jangan sampai membentuk "polisi moral".
Saat ini, bangsa Indonesia sebetulnya sudah bisa berbangga dan percaya diri karena bangsa ini sudah menuai kekaguman dunia internasional dalam banyak hal, khususnya ketika menyelenggarakan Asian Games dan Asian Paragames. Kita dikagumi tidak hanya sebagai penyelenggara yang tertib, ramah, dan kreatif, tetapi juga punya atlet yang berprestasi dan tangguh. Lompatan prestasi kita dari peringkat ke-4 di SEA Games (2017) menjadi urutan ke-4 di Asia adalah bukti bangsa ini mampu melakukan revolusi mental. Bangsa ini sedang mengalami the wind of change (angin perubahan).
Kita tak perlu panik dan saling menyalahkan terhadap hasil revolusi mental sampai saat ini. Bangsa-bangsa lain juga perlu waktu berpuluh tahun untuk berubah. Revolusi Perancis sudah terjadi beberapa ratus tahun lalu, hasilnya "masih jauh panggang dari api".
Sebaiknya kita tidak perlu "jorjoran" meneriakkan "Revolusi Mental atau Revolusi Moral", karena itu hanya akan jadi jargon yang ditanggapi sinis oleh masyarakat umum. Marilah kita melakukan secara nyata gerakan sosial untuk mencapai Indonesia yang bersih, tertib, mandiri, melayani, bersatu, dan lain-lain. Untuk mendorong perubahan mentalitas bangsa ini, pemerintah harus benar-benar melakukan pembangunan yang nyata dan merata sehingga mampu mendorong dan memfasilitasi rakyat untuk berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar