Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Januari 2019

Manusia Modern Indonesia// ”Kompas” Tipis// Jalan Layang di Pulogebang (Surat Pembaca Kompas)


Manusia Modern Indonesia

Usia alam semesta, menurut ilmu pengetahuan, dihitung sejak awal terjadinya Ledakan Dahsyat, sudah mencapai 13,75 ± 0,11 miliar tahun.

Manusia pertama, Homo habilis, muncul sekitar 2,4 juta tahun lalu. Kemudian sekitar 200.000 tahun lalu manusia modern pertama, Homo sapiens, lahir di Gurun Sahara, Afrika. Menurut Prof Harry Widianto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, manusia modern awal Indonesia dimulai pada 70.000 tahun silam.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ras dan etnis dewasa ini berasal dari dua arus migrasi, dari timur ras Australomelanesid dan dari barat ras Mongoloid. Kedua ras induk ini bercampur ribuan tahun sehingga generasi penerusnya mengandung unsur genetika campuran. Hal ini diuraikan lebih lengkap dalam "Kebinekaan Itu Sebuah Keniscayaan", Kompas (7/1/2019).

Sekalipun manusia pertama di Gurun Sahara dan di Nusantara hidup 200.000 dan 70.000 tahun lalu, mereka juga disebut manusia modern. Modernitas sudah diakui sejak ratusan ribu tahun lalu. Terkesan ahistoris.

Walaupun istilah modern muncul pada abad XV, kata tersebut diterapkan oleh arkeolog terhadap manusia yang hidup ratusan ribu tahun lalu. Penerapan itu mengandaikan modernitas pada hakikatnya berlaku pada setiap masa. Modernitas dibenarkan karena kondisi kekinian pada ratusan ribu tahun lalu dibandingkan dengan kondisi sebelumnya pada jutaan tahun sebelumnya.

Hal ini dapat dipahami karena modern berasal dari kata Latin modo yang berarti 'just now'. Modern dalam arti umum berlaku kapan saja, tetapi kandungannya tergantung pada periode yang dimaksud.

Generasi Presiden Soekarno modern terhadap generasi Pangeran Diponegoro, tetapi generasi milenial lebih modern dibandingkan generasi Soekarno. Generasi Soekarno sudah kuno dari segi teknologi dibandingkan milenial.

Setiap zaman mengalami dan mengembangkan modernitasnya. Apakah generasi Indonesia masa kini mampu meningkatkan kualitas kesadaran modernitas manusia modern Indonesia 70.000 tahun lalu, yang pada hakikatnya sudah berbineka?

Wim K Liyono
Kebon Jeruk, Jakarta Barat

"Kompas" Tipis

Tiga tahun belakangan ini, Kompas terbit 32 halaman sehingga banyak rubrik hilang. Sejak awal tahun ini menjadi 24 halaman.

Saya jadi ingat zaman Orde Baru ketika koran terbit 12 halaman, meningkat 16, dan 24 halaman. Di era Reformasi, koran bisa terbit 80 bahkan 100 halaman, termasuk Kompas. Mungkinkah pembatasan jumlah halaman terkait ongkos produksi? Namun, bukankah penambahan halaman diikuti penambahan iklan?

Apabila ingat itu, saya sedih, akankah koran cetak ditinggal pembacanya lalu mati. Semoga ini tak terjadi. Koran versi digital tetap tak bisa menggantikan koran cetak.

Dengan koran cetak, kalau lelah membaca bisa disimpan, tidur untuk bantal, kepanasan untuk tutup kepala, kedaluwarsa untuk bungkus, selebihnya dikliping seperti yang saya lakukan.

Kompas harus mempertimbangkan: tidak semua pembaca melek teknologi, masih banyak yang kesulitan mengakses versi digital.

Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung


Jalan Layang 
di Pulogebang

Sudah saatnya jalan layang di Pulogebang, Jakarta Timur, diperlebar. Saat ini, pada jam pergi dan pulang kantor, kemacetan berkepanjangan dan berjam-jam terjadi di sekitarnya sebab terjadi efek leher botol. Apakah Wali Kota Jakarta Timur yang kantornya tak jauh dari sana tidak memantau keadaan ini?

Lusi

Pulogebang, Jakarta Timur

Kompas, 25 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger