AFP/JOE FREEMAN

Pengunjuk rasa menunjukkan seruan untuk pemilu yang dipadukan dengan miniatur tank saat rapat umum di Bangkok, Thailand, Sabtu (19/1/2019). Komisi Pemilihan Umum Thailand, Rabu (23/1), mengumumkan, pemilu akan digelar pada 24 Maret mendatang. Jika benar dilakukan, itu akan menjadi pemilu pertama setelah kudeta militer pada 2014.

Thailand mengumumkan pemilu akan digelar Maret. Jika pemilu sungguh terwujud, pertarungan diperkirakan tetap terjadi antara militer dan kubu Shinawatra.

Setelah pada 2014 mengambil kekuasaan dari pemerintahan sipil hasil pemilu yang bebas dan demokratis, pemerintahan militer yang dipimpin Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha beberapa kali menjanjikan pelaksanaan pemilu. Pada Rabu (23/1/2019), Pemerintah Thailand kembali menjanjikan pelaksanaan pemilu yang bertujuan memilih anggota majelis rendah. Pengumuman diperkuat dengan dekrit dukungan dari Raja Thailand Maha Vajiralongkorn. Kali ini pemilu dijadwalkan digelar pada 24 Maret 2019.

Dalam pemilu mendatang, dua kekuatan utama yang diprediksi akan muncul ialah kelompok politisi yang dikenal prowarga miskin serta proprovinsi, dan kubu yang meliputi unsur pemimpin bisnis dan pegawai negeri di Bangkok, termasuk militer. Keduanya sesungguhnya sudah bermusuhan sejak lama.

Kelompok prowarga miskin dikenal sebagai pendukung Thaksin dan Yingluck Shinawatra. Adapun Thaksin, setelah menjadi perdana menteri pada 2001, mendapati kekuasaannya dikudeta oleh kekuatan militer tahun 2006. Krisis politik pun berlangsung setelah kudeta itu.

Pada pemilu 2011, keluarga Shinawatra ternyata masih populer. Yingluck, saudara perempuan Thaksin, berhasil naik menjadi perdana menteri lewat pemilihan tersebut. Konflik tetap terjadi, hingga akhirnya kudeta berlangsung pada 2014 di tengah tuduhan korupsi terhadap Yingluck. Menyusul Thaksin yang sudah lebih dahulu meninggalkan Thailand, Yingluck akhirnya juga pergi ke luar negeri.

Sejak kudeta pada 2014, sejumlah kalangan, terutama dari luar negeri, meminta Prayuth segera menggelar pemilu yang adil dan terbuka. Hanya dengan cara ini, Thailand dinilai bisa kembali menjadi negara yang demokratis. Patut dicatat, penerapan pasal penghinaan terhadap keluarga kerajaan oleh pemerintahan Prayuth juga terjadi beberapa kali.

Selama beberapa tahun terakhir, menurut The Wall Street Journal, ekonomi Thailand juga jadi tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Investasi asing beralih ke negara lain di Asia tenggara, seperti Vietnam atau Indonesia. Padahal, Thailand pernah menjadi salah satu tujuan investasi yang diminati dunia dan merupakan bagian penting dalam investasi Amerika Serikat serta China di Asia Tenggara.

Dalam situasi ekonomi itulah, rakyat Thailand dan kelompok prodemokrasi menanti perwujudan janji penyelenggaraan pemilu pada Maret mendatang. Prayuth—sosok yang selama beberapa waktu terakhir dilaporkan banyak berkunjung ke sejumlah provinsi—kemungkinan besar akan ikut pemilu.