Pasangan Khamami-Saply memenangi Pilkada Mesuji pada Maret 2017 dengan perolehan suara 77 persen. Khamami diduga menerima fee Rp 1,8 miliar dari pembangunan infrastruktur. Dia adalah bupati ketiga di Provinsi Lampung yang ditangkap KPK. Dukungan untuk KPK harus diberikan untuk menyelidiki korupsi di Mesuji.
Pada tahun 2018, KPK melakukan 30 kali penangkapan. Dalam operasi itu, 21 kepala daerah ditangkap KPK dan diadili di pengadilan korupsi. Penangkapan Khamami terjadi di tengah kekecewaan publik terhadap tiadanya program terobosan untuk pemberantasan korupsi.
Debat pertama calon presiden tidak menghadirkan terobosan baru untuk pemberantasan korupsi di negeri ini. Joko Widodo-Ma'ruf Amin menawarkan sistem pencegahan korupsi serta penguatan KPK. Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menawarkan peningkatan gaji penegak hukum dan membentuk KPK daerah.
Program antikorupsi kedua pasangan calon masih terlalu minimal untuk mengatasi korupsi di Indonesia. Tidak tampak visi besar dari kedua pasangan calon untuk memberantas korupsi di negeri ini. Yang justru muncul adalah visi kedua pasangan calon bagaimana memenangi kontestasi politik untuk meraih kekuasaan pada 17 April 2019.
Kita berharap presiden terpilih segera menerbitkan executive order untuk menghentikan korupsi. Substansi executive order bisa berupa perintah pembuktian terbalik untuk semua kekayaan penyelenggara negara, perampasan aset dari hasil korupsi, mendorong pencabutan hak politik bagi penyelenggara negara yang terbukti korupsi serta memerintahkan semua transfer uang dalam besaran tertentu menggunakan jalur perbankan, dan menyesuaikan UU Antikorupsi dengan Konvensi Antikorupsi PBB.
Data menunjukkan, tahun 2018 sebanyak 174 anggota DPR/DPRD ditangkap KPK, 68 bupati/wali kota dan 10 gubernur ditangkap KPK. Mereka yang terkena korupsi mayoritas terkait dengan partai politik. Untuk menjadi kepala daerah dan menjadi anggota DPR/DPRD tentunya membutuhkan kendaraan partai politik.
Kita mendorong partai politik berkontribusi membereskan korupsi. Partai politik secara moral harus ikut bertanggung jawab membereskan kader "nakalnya" yang berbuat tercela dengan memperkaya diri sendiri. Pernyataannya, partai tidak memberikan bantuan hukum atau segera memecat kader korupsi tidaklah cukup. Apalagi jika penjabat publik atau penegak hukum dijadikan alat memperkaya partai politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar