Tanda tanya besar bagi kita: "Setelah Liliyana, lalu siapa?" Pertanyaan ini layak digaungkan karena begitu besar peran Butet, panggilan Liliyana, di kancah bulu tangkis Indonesia, terutama di ganda campuran.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pebulutangkis ganda campuran Indonesia Liliyana Natsir berpamitan saat acara perpisahan menjelang laga Daihatsu Indonesia Masters 2019 di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Liliyana atau yang akrab disapa Butet ini mengakhiri karirnya di dunia bulutangkis dengan meninggalkan berbagai prestasi bagi sejarah bulutangkis Indonesia.

Butet awalnya dipasangkan dengan Nova Widianto. Bersama Nova, Butet merebut dua gelar juara dunia dan medali perak Olimpiade Beijing. Bersama pasangan barunya, Tontowi Ahmad (Owi), Butet merebut dua gelar juara dunia dan medali emas Olimpiade Brasil 2016.

Dunia bulu tangkis tak akan pernah lupa ketika pasangan Tontowi/Liliyana di tahun 2012 menjuarai ganda campuran All England, memecah kebuntuan 33 tahun. Gelar All England direbut Christian Hadinata/Imelda Wiguna.

Prestasi Butet itu tentu bukan tanpa perjuangan. Banyak yang mengakui, termasuk pelatih ganda campuran pelatnas bulu tangkis Indonesia, Richard Mainaky, bahwa Butet termasuk atlet yang menyadari pentingnya mempertahankan dan meningkatkan performa pribadi. Tak heran, dalam berbagai kesempatan, ia sering berinisiatif menambah porsi latihan sendiri setelah sesi resmi bersama pelatih berakhir.

Itu pula yang menjadi sebab, peringkat dan prestasi Tontowi/Liliyana berselisih cukup jauh dengan ganda campuran "Merah Putih" lainnya. Owi/Butet kini di posisi ke-4 dunia, sesuai daftar peringkat Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), sementara Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja di urutan ke-14. Di bawahnya lagi ada Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti di tangga ke-15.

Tak mudah meniti peringkat 10 besar dunia. Di atas Hafiz/Gloria masih bertengger sejumlah ganda campuran tangguh dari Denmark, Malaysia, Hong Kong, Inggris, Thailand, Jepang, dan, tentu, China. Ganda-ganda tangguh China di nomor ini, antara lain Zheng Siwei/Huang Yaqiong, kini di tangga teratas dunia.

Pebulu tangkis Indonesia, di nomor apa pun mereka berlaga, patut mencontoh teladan Butet. Bertahan sejak 2004 di level elite dunia, perlu mental tak cepat puas. Walau gelar juara super series premier bisa diraih, masih ada gelar juara dunia. Jika itu sudah tercapai, masih ada medali emas Asian Games dan Olimpiade. Demikian seterusnya.

Regenerasi pebulu tangkis kita, baik di ganda campuran maupun nomor lain, sepatutnya dipercepat karena negara lain melaju demikian cepat. Sebagai perumpamaan, negara yang tak punya budaya bulu tangkis, seperti Spanyol, pun bisa melahirkan tunggal putri Carolina Marin yang kini di peringkat ke-6 dunia. Sementara Indonesia baru menempatkan Gregoria Mariska di tangga ke-15.

Kekuatan yang lebih merata diperlukan karena sekian lama Indonesia bergantung pada nomor ganda putra dan ganda campuran. Saatnya bintang di tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putri segera diorbitkan, tak hanya ganda campuran, demi prestasi "Merah Putih" di puncak dunia.


Kompas, 29 Januari 2019