Bumi kini dihuni lebih dari 7,53 miliar kepala. Setiap malam ada 219.000 perut baru minta diisi makanan. Dunia terasa semakin sesak. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup bisa lebih dari 80 tahun. Di sisi lain, lahan pertanian kian sempit, degradasi lingkungan meluas, ketersediaan air kian terbatas, dan emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat iklim dan cuaca sulit diramal.

Perang terhadap kelaparan dikobarkan sepanjang hayat. Namun, kelaparan kian sulit dienyahkan dari muka bumi. Tiap malam 1 dari 8 penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Jumlah warga dunia yang lapar lebih dari 815 juta jiwa. Satu di antara tiga anak di negara berkembang menderita kurang gizi. Selain itu, 25.000 orang per hari mati karena gizi buruk dan penyakit karena makanan, 18.000 di antaranya anak balita.

Mereka lapar bukan karena tak ada makanan. Produksi pangan saat ini sebetulnya cukup buat menyuapi 1,5 kali warga bumi. Praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa (Food first, 2011), jumlah populasi bumi pada 2050. Pelbagai inovasi pertanian telah menepis pesimisme kaum Malthusian.

Sepertinya dugaan Malthus dua abad lalu itu meleset sehingga pendeta-matematikawan itu jadi olok-olok.

Masalahnya, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, tetapi (hanya) menuju yang berduit. Postulat peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, berlaku: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan. Pertumbuhan ekonomi tinggi bukan obat ajaib menghapus kelaparan. Target Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) menekan kemiskinan 50 persen pada 2015 gagal dan kini target itu diteruskan lewat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun pada 2030.

Tuhan telah merahmati dunia dengan pangan beraneka ragam berikut sumber daya pendukungya. Namun, lewat globalisasi yang dipromosikan negara-negara maju—lewat beleid led-export production dan Structural Adjustment Programs—pangan dunia kian seragam. Dari 3.000 spesies tumbuhan pangan, hanya 16 yang dibudidayakan, yang patennya dikuasai segelintir korporasi multinasional (MNC).

Budidaya pertanian dunia hanya bertumpu pada sedikit biji-bijian, terutama gandum, beras, dan jagung. Kacang pun hanya kedelai dan kacang tanah, bukan kecipir yang unggul dan aset negara berkembang.

Dominasi korporasi global

Globalisasi mengubah model pertanian, terutama di negara berkembang, secara radikal: dari terdiversifikasi dalam skala kecil jadi model ekspor-industrial yang dihela korporasi global, seperti Monsanto, Cargill, Syngenta, dan ADM. Dengan sistem rantai pangan (agrifood chain), kini MNC mengontrol rantai pangan, dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005).

Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga. Kini, setelah mengadopsi sistem monokultur, mereka tergantung asupan kimiawi dan paket teknologi korporasi global yang memonopoli dua pertiga pasar global pestisida, dan seperempat penjualan bibit global berikut patennya.

Sektor pangan dari produksi hingga pasar ritel kian terkonsentrasi. Menurut South Center (2005), 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol hanya oleh 5 MNC; 75 persen perdagangan serealia dikuasai oleh 2 MNC; 2 MNC menguasai 50 persen perdagangan dan produksi pisang; 3 MNC menguasai 83 persen perdagangan kakao; 3 MNC menguasai 85 persen perdagangan teh; 5 MNC menguasai 70 persen produksi tembakau; 7 MNC menguasai 83 persen produksi dan perdagangan gula; 4 MNC menguasai dua pertiga pasar pestisida, seperempat bibit (termasuk paten) dan menguasai 100 persen pasar global bibit transgenik.

MNC mengontrol harga input pertanian, mempraktikkan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk pasar kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli hasil petani dengan harga murah.

Konsekuensi arsitektur pangan seperti ini, pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis pangan 2008 dan 2011 jadi bukti: harga bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang. Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik. Krisis pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang tewas dalam huru-hara di Kamerun dan Pemerintah Haiti jatuh.

Krisis pangan 2011 menciptakan revolusi politik di jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Moammar Khadafy di Libya jatuh karena negara-negara ini menggantungkan 90 persen pangannya dari impor.

Krisis pangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi dan krisis BBM, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi oleh pangan. Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan menjadi penentu gerak bandul geopolitik global.

Kondisi ini memaksa setiap negara merancang politik pangan, pertama-tama, untuk kepentingan domestik. Saat krisis kampiun pangan, seperti Rusia, Argentina, Thailand, dan Vietnam beramai-ramai menutup ekspor yang biasanya diikuti panic buying. Sebagai importir pangan yang besar, pada 2018 mencapai 16,8 miliar dollar AS, nasib Indonesia sejatinya tak lebih baik daripada negara-negara jazirah Arab.

Kini negara-negara importir pangan dan yang terbatas sumber daya lahan dan air, tetapi berlimpah dana menciptakan instrumen pengambilalihan lahan pertanian bernama land grabbing. Tak hanya negara Teluk, Timur Tengah, Jepang, dan China, Uni Eropa dan Amerika Utara juga melakukannya. Sasarannya tidak hanya negara berlahan subur, seperti Brasil, Rusia, dan Indonesia, tetapi juga negara pertanian miskin, seperti Kamerun dan Etiopia.

China mengalihdayakan produksi pangan jauh sebelum krisis pangan lewat 30 kesepakatan. Semua memberikan akses eksklusif kepada China untuk memproduksi aneka pangan. Menurut Rabobank, saat ini lebih dari 90 lembaga investasi baru dibentuk khusus untuk berinvestasi langsung di lahan-lahan negara berkembang lewat land grabbing.

Tantangan Indonesia

Bagi Indonesia, dengan jumlah populasi 268 juta jiwa, keberlanjutan ketersediaan pangan menjadi krusial. Saat ini beban pertanian Indonesia makin berat. Lahan yang gurem membuat petani sulit sejahtera. Konversi lahan makin meruyak. Degradasi lahan berulang tanpa jeda, membuat produktivitas sulit digenjot. Kemewahan perluasan lahan tak lagi bersisa. Pertanian akhirnya identik dengan gurem dan kemiskinan, yang digerakkan oleh kaum tua dan sama sekali tidak menarik bagi generasi milenial. Lemahnya akses membuat gizi buruk dan stunting masih tinggi. Di tengah klaim surplus, impor pangan terus meninggi.

Sayangnya, dua pasangan yang berlaga di Pilpres 2019 belum menjadikan geopolitik pangan dunia sebagai batu pijak untuk menyusun politik pangan guna menyelesaikan aneka masalah pertanian-pangan domestik. Prabowo-Sandiaga menempuh inovasi digital farming guna mendongkrak produktivitas pertanian dan menarik minat generasi muda.

Juga mendirikan Bank Tani dan Nelayan, membangun pabrik pupuk urea dan NPK milik petani, membangun infrastruktur pertanian-perdesaan, serta melakukan industrialisasi pertanian di perdesaan, meningkatkan alokasi anggaran, menjalankan reforma agraria, dan mengembangkan sekolah keahlian, seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.

Sebaliknya, pasangan Jokowi-Amin memilih jalan melanjutkan program empat tahun yang sudah berjalan: menumpukan peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi. Caranya, memfasilitasi percepatan adopsi inovasi teknologi budidaya dan pascapanen serta mengembangkan agrobisnis. Lalu, mendorong konsolidasi kelompok tani agar berdaya saing kuat. Juga merevitalisasi industri pengolahan pascapanen, khususnya subsektor pangan, hortikultura dan perkebunan. Terakhir, mempercepat redistribusi aset (reforma agraria) dan perhutanan sosial yang tepat sasaran seperti saat ini.

Ke depan, untuk menjamin kesanggupan memberikan makanan secara lestari, politik yang menihilkan petani dan pertanian mesti diakhiri. Petani dan pertanian mesti ditaruh di tempat terhormat: sebagai persoalan bangsa. Caranya, petani dan pertanian diperkuat dengan anggaran dan aneka perundangan. Anggaran dipakai untuk aneka investasi publik (jalan, irigasi, riset, mitigasi, dan adaptasi iklim), aset produktif petani (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) diperkuat, dan merakit beleid perdagangan pro-petani. Pangan lokal berbasis tropis harus jadi tujuan utama untuk mandiri dan berdaulat. Hanya dengan kebijakan simultan Indonesia punya basis kuat menghadapi bandul geopolitik pangan.