Memasuki awal 2019, BPS merilis data kinerja perdagangan internasio- nal Indonesia dan cukup mengejutkan: pada 2018 neraca perdagangan defisit cukup dalam, 8,57 miliar dollar AS.

Penyebabnya terutama akibat defisit migas 12,4 miliar dollar AS. Untuk nonmigas masih surplus 3,84 miliar dollar AS. Meskipun nonmigas nilai defisit absolutnya lebih rendah, kita jangan sampai mengabaikan karena surplus nonmigas turun cukup tajam dari 20,4 miliar dollar AS (2017) ke 3,84 miliar dollar AS (2018).

Perlambatan kinerja nonmigas juga sangat vital untuk ditangani secara serius, terutama karena aspek strategis sektor tersebut, khususnya industri manufaktur, dalam konteks pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan menentukan daya saing suatu negara.

Perlambatan surplus ekspor nonmigas 2018 yang tercatat 5,49 miliar dollar AS terutama dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan efek perang dagang AS-China. Namun, di tengah isu perlambatan ini, impor nonmigas kita justru naik drastis 26,15 miliar dollar AS (2017-2018). Jika dilihat sumber negaranya, ternyata sumber defisit terbesar kita berasal dari China, yang meningkat 6,67 miliar dollar AS atau naik sekitar 47 persen (2017-2018).

Hal ini relevan dengan tulisan Anwar Nasution (Kompas, 9/1/2018) bahwa di Pasar Tanah Abang banyak dijual pakaian muslim dan jilbab dari China. Di Pasar Senen juga banyak dijumpai bermacam-macam produk impor asal China, khususnya barang kebutuhan rumah tangga. Maraknya produk impor dari Negeri Tirai Bambu terutama karena harga yang lebih murah. Hal ini dimungkinkan karena faktor skala ekonomi dalam jaringan pemasaran global sehingga dapat menurunkan fixed cost dan juga didukung oleh logistik yang efisien serta dukungan kebijakan yang sangat terkoordinasi dan terencana.

Oleh karena itu, defisit historikal ini seharusnya jadi alarm kencang bagi kita, apalagi mengingat serbuan produk impor ke depan masih berpotensi tinggi.

Beberapa hasil studi Bank Dunia (2015) dan penulis dkk (2016) menyimpulkan beberapa catatan utama terkait struktur industri manufaktur domestik. Pertama, dilihat dari komposisi ekspor nonmigas nasional paling tidak selama 10-20 tahun terakhir cenderung tak banyak berubah dan mayoritas masih didominasi bahan mentah dan barang setengah jadi, seperti minyak sawit/lemak nabati, hasil tambang, barang setengah jadi, dan barang manufaktur yang low-tech. Sebaliknya, impor nonmigas kita juga masih didominasi bahan baku, bahan penolong dan barang modal, yang nilai tambahnya lebih tinggi daripada produk ekspor kita.

Selain itu, industri manufaktur nasional yang merupakan jaringan produksi global (global production network/GPN) atau global value chain (GVC) meski berorientasi ekspor, bahan baku dan bahan penolongnya masih bergantung impor, khususnya dari perusahaan induk. Kedua, selama 30 tahun terakhir produk ekspor Indonesia tak banyak berubah (stuck). Jenis produk yang dihasilkan relatif tertinggal ketimbang Thailand dan Malaysia. Ketiga, terdapat indikasi product space Indonesia kian menjauh dari core–nya, artinya kita mengalami penurunan jumlah produk yang berkeunggulan komparatif di dense forest (mesin, elektronik, garmen, tekstil, dan furnitur) sehingga pemasoknya di pasar domestik juga kian berkurang. Keunggulan ini ternyata banyak "diambil alih" China (Ridhwan dkk, 2017).

Tantangan utama

Berangkat dari defisit 2018, potensi serbuan impor pada 2019 ini mungkin akan terulang, sementara tantangan bagi industri nasional untuk masuk ke pasar ekspor akan kian kompleks. Namun, kita tak boleh menyerah dan bahkan harus bisa strategik dan kreatif membuat terobosan memajukan industri ini. Menyimak laporan Kementerian Perdagangan (2018), terdapat sejumlah perusahaan domestik besar, menengah, dan kecil yang ternyata mampu melakukan penetrasi dagang ke luar negeri di tengah turbulensi ekonomi dunia saat ini.

Belajar dari perusahaan "jawara ekspor" versi Kemendag itu, ada satu faktor vital yang mendasari sebagai faktor determinan menentukan kesuksesan bersaing merebut pasar internasional, yaitu inovasi. Di level perusahaan, aplikasi inovasi terlihat dari produk yang dihasilkan dan proses atau kombinasi keduanya. Inovasi produk adalah pembaruan atau perbaikan produk yang signifikan, sedangkan inovasi proses mencakup perbaikan pada proses manufaktur, model logistik-distribusi, manajemen pemasaran, dan manajemen organisasi. Eksportir yang inovatif itu memiliki beberapa tingkatan teknologi, baik yang sederhana maupun tingkat tinggi, seperti eksportir bulu mata palsu, olahan produk pangan dan herbal organik, produk furnitur berkelas dari olahan kayu bekas, hingga produsen suku cadang dan ban kelas dunia.

Meski demikian, menurut Bank Dunia (2018), profil perusahaan domestik yang inovatif jumlahnya hanya sekitar 8 persen dari total populasi industri; atau lebih sedikit daripada Filipina 21 persen dan Vietnam 19 persen. Padahal, bukti empirik menunjukkan perusahaan Indonesia yang inovatif cenderung punya tingkat produktivitas tenaga kerja relatif lebih tinggi, sekitar 2,15 kali lipat dibandingkan dengan yang tak inovatif. Lebih lanjut, secara teoretis dan empiris, perusahaan dengan produktivitas tinggi juga cenderung berhasil di pasar ekspor (Wagner, 2007; Ridhwan, 2018). Secara relatif, produktivitas (value added) tenaga kerja manufaktur di Vietnam sekitar 3,5 kali lebih tinggi dari Indonesia (WBES, 2015) relatif sejalan dengan pangsa ekspor manufaktur terhadap PDB Vietnam yang lebih tinggi sekitar lima kali (BPS, 2015).

Mengapa inovasi, khususnya industri dalam negeri, sulit berkembang atau relatif tertinggal dibandingkan dengan negara jiran kompetitor? Selain industri, produk penelitian dari universitas dan lembaga riset yang dipublikasi di jurnal internasional peer-review (juga sebagai proksi inovasi) selama ini masih relatif tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia khususnya (Permenristekdikti No 20/2017 dirilis untuk mengatasi ketertinggalan ini).

Upaya pemerintah mendorong pengembangan inovasi sebetulnya sudah dimulai relatif lama, terutama terlihat melalui peluncuran program kebijakan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dan Daerah (Sida). Namun, banyak ahli yang berpendapat pelaksanaannya belum memuaskan. Lakitan (2013) menguraikan sejumlah tantangan/permasalahan kunci terkait sistem inovasi nasional.

Pertama, adopsi teknologi indigenous masih relatif rendah karena masih berorientasi pada sisi suplai atau lebih didasarkan preferensi pengembang teknologi daripada kebutuhan perusahaan pengguna (user). Kedua, permintaan terhadap teknologi oleh perusahaan relatif terbatas karena sebagian besar perusahaan manufaktur domestik bergantung pada teknologi dari induk perusahaan di luar negeri atau bisa juga karena di dalam negeri belum tersedia. Mayoritas perusahaan domestik juga masih memandang inovasi teknologi berbasis riset butuh biaya besar dan berisiko tinggi, sehingga mereka merasa nyaman dengan cukup menjalankan bisnis secara trading atau hanya jadi pabrik perakitan.

Ketiga, belum terciptanya kesamaan paradigma yang "saling membutuhkan" antara pengembang teknologi (lembaga riset dan universitas) dan pengguna teknologi (perusahaan). Keempat, akademisi universitas dan lembaga riset publik masih hanya fokus pada interes riset sendiri yang dikerjakan (sindrom "menara gading") daripada masalah aktual yang dihadapi oleh perusahaan.

Selanjutnya, juga terdapat sejumlah tantangan dari sisi faktor prakondisi (enablers) bagi tumbuh kembangnya inovasi teknologi berbasis riset di dalam negeri, seperti kualitas pendidikan dan kebijakan pengembangan modal manusia, insentif bagi peneliti dan akademisi, alokasi budget, faktor sosial-budaya, serta kemauan politik kuat pemerintah pusat dan daerah. Terkait pendidikan, hasil asesmen kemampuan siswa terhadap mata pelajaran Matematika, Sains, dan membaca (verbal) yang ditunjukkan oleh peringkat Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia pada 2015 berada di peringkat ke-62 dari 65 negara; Thailand ke-55 dan Vietnam secara fantastis di posisi ke-21.

Banyak studi mengindikasikan ini terutama karena sistem pendidikan kita relatif terbatas dalam subyek STEM (science, technology, engineering, and math) dan cenderung lebih berorientasi ke ilmu-ilmu sosial meski dapat dipahami juga karena suplai lapangan kerja umumnya berasal dari industri jasa (perdagangan dan keuangan) serta sektor ekonomi ekstraktif daripada manufaktur. Ditambah lagi, dari segi budaya, ada opini publik bekerja di riset atau "litbang" itu adalah posisi yang minor atau dianggap sulit berkembang kariernya.

Inovasi, strategi kunci

Mengurai benang kusut atau kompleksnya masalah inovasi teknologi tentu tak mudah, terlebih lagi untuk mencari solusi ideal atas sejumlah tantangan/ permasalahan khususnya di industri berskala besar seperti di atas karena pasti akan butuh dukungan sumber daya besar pula. Berikut beberapa catatan terkait strategi inovasi yang fokus dan dapat segera dilakukan (quick-wins).

Pertama, mengingat jumlah dan strategisnya peranan industri kecil menengah (IKM) dalam perekonomian, selain skala usahanya yang lebih fleksibel untuk penyesuaian terhadap perubahan, maka strategi kebijakan untuk mendukung kapasitas inovasi (teknologi) sangat prioritas bagi IKM untuk segera dilakukan. Dukungan kebijakan yang terintegrasi khususnya dalam hal pendampingan technical know how (berkolaborasi dengan universitas/lembaga riset) dan alokasi budget pemerintah tentu sangat diharapkan. Insentif bagi peneliti dan lembaga riset perlu ditingkatkan. Kontribusi riset peneliti dalam pengembangan IKM atau sektor ekonomi strategis lain juga dapat diwajibkan, selain publikasi jurnal dengan standar Scopus dan bentuk insentif lain yang menarik. Namun, tentu dengan perbaikan insentif pula bagi peneliti. Perusahaan swasta atau investor yang melakukan riset inovatif dapat diberikan insentif seperti pengurangan pajak atau tax holiday.

Kedua, industri manufaktur asing, seperti otomotif, yang merelokasi pabriknya ke dalam negeri khususnya melalui investasi langsung (greenfield) dapat dipersyaratkan untuk berkolaborasi dengan IKM sebagai pemasok suku cadang. Permasalahan standardisasi dan kualitas produk yang selama ini dikeluhkan investor besar dapat diatasi terutama dengan pemberian pendampingan teknis, baik oleh pemerintah maupun investor asing. Hal ini agar industri lokal juga dapat tumbuh dari eksternalitas positif (knowledge spill overs) investasi asing itu dan mendorong kemajuan ekonomi daerah/negara. Selain itu, kesempatan magang bagi insinyur dan manajer menengah ke perusahaan prinsipal, bukan hanya kepada tenaga kerja teknis.

Ketiga, meski sejumlah studi seperti Blalock dan Veloso (2007) menyimpulkan impor dalam konteks integrasi vertikal sebagai sumber utama alih teknologi, faktanya di negara kita kemungkinan alih teknologi itu baru pada produk low- tech dan ini terbukti dari jenis produk yang diekspor satu dekade terakhir tak banyak perubahan. Berdasarkan pengalaman sejumlah negara, pengembangan teknologi oleh suatu negara cenderung lamban jika tak dibarengi inovasi tambahan, antara lain dengan mereplikasi produk parent company dan dipasarkan dengan merek sendiri yang lebih kompetitif. Contoh pengalaman China yang sukses dalam membangun industri telekomunikasi berbasis digital tak jauh dari strategi ini, yaitu kombinasi investasi prinsipal, transfer teknologi dan teknik ATM (amati-tiru-modifikasi).

Selain itu, dengan ditemukannya teknik replikasi yang computerized, dikenal dengan nama Model-Based Definition dan Additive Manufacturing seperti: 3-D printing baru-baru ini tentu akan sangat membantu jika diintroduksi ke IKM untuk berinovasi dalam pembuatan model/prototipe produk kerajinan IKM atau produk industri rumah lain, seperti mainan anak. Strategi Intel (produsen memory chips) dengan copy-exactly telah membuatnya bertahan dari kompetisi ketat dari produk sejenis dari Jepang dan Korea (WEF, 2012). Namun, strategi copycat hanya bersifat jangka pendek, budaya inovasi tentu lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Semua strategi quick-wins di atas tentu perlu ekosistem yang saling mendukung satu sama lain sehingga reformasi struktural perlu dilakukan secara komprehensif, khususnya kebijakan pengembangan modal manusia, kebijakan di bidang industri, perdagangan dan investasi, ketersediaan infrastruktur, serta dukungan terhadap akses pembiayaan. Di atas semua itu adalah komitmen politik atau visi bersama ke depan guna memajukan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi sebagai mesin utama pembangunan ekonomi bangsa.