Merujuk pada IMF's External Debt Statistics: Guide for Compilers and Users (2003), utang luar negeri dimaknai sebagai utang penduduk yang berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk.
Dengan demikian, kacamata yang digunakan untuk melihat utang luar negeri setidaknya harus mampu memotret kelompok peminjam, pertumbuhan besaran pinjaman (nominal dan rasio), rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), pembiayaan utang, serta pemanfaatan utang.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mencatat tiga kelompok peminjam, yaitu pemerintah, BI, dan swasta (termasuk BUMN). Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan IV-2018 adalah 376,8 miliar dollar AS, yang terdiri dari utang swasta dan BUMN sebesar 190,6 miliar dollar AS. Adapun utang pemerintah dan BI 186,2 miliar dollar AS.
Posisi utang pemerintah sekitar 183,2 miliar dollar AS atau 48,6 persen dari total utang luar negeri Indonesia. Dan, utang pemerintah ini dikelompokkan dalam pinjaman (luar negeri dan dalam negeri) serta surat berharga negara (SBN) dalam bentuk valas dan rupiah.
Utang pemerintah pada akhir triwulan IV-2018 tercatat mengalami kenaikan 7,1 miliar dollar AS ketimbang akhir triwulan sebelumnya dan tumbuh 3,3 persen daripada tahun sebelumnya. Kondisi ini sebagai dampak dari kenaikan arus masuk dana investor asing di pasar SBN domestik searah dengan membaiknya perekonomian Indonesia dan daya tarik imbal hasil yang ditawarkan, termasuk meredanya ketidakpastian pasar keuangan dunia.
Pengaruh lainnya adalah penerbitan SBN valas dalam rangka pre-funding fiskal 2019.
Struktur utang pemerintah tersebut masih sehat karena keberhasilan memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu defisit anggaran tidak lebih dari 3 persen dari PDB dan rasio utang tidak melampaui 60 persen dari PDB.
Penetapan kedua ambang batas tersebut bukan sesuatu yang ujug-ujug, melainkan merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang dapat dikatakan merujuk pada The Stability and Growth Pact (SGP) Uni Eropa. SGP ini mewajibkan negara-negara anggota Uni Eropa menjaga kedua batas dimaksud untuk memastikan kesinambungan fiskal serta stabilitas perekonomian negara dan kawasan Eropa.
Dalam kurun waktu 2014-2018, pemerintah berhasil menurunkan tingkat defisit anggaran dari 2,25 persen (2014) menjadi 1,75 persen (2018). Penurunan defisit anggaran ini menggambarkan APBN semakin mandiri, di mana belanja negara dibiayai dengan mengandalkan pendapatan negara.
Begitu pula dengan rasio utang terhadap PDB, meski secara nominal utang meningkat tajam dari Rp 2.608,8 triliun (2014) menjadi Rp 4.418,3 triliun (2018), pertumbuhan rasio utang terhadap PDB relatif stabil pada tingkat rata-rata 27,9 persen selama lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan Indonesia membayar utang jauh lebih besar daripada kenaikan jumlah utang itu sendiri.
Sementara itu, pertumbuhan pembiayaan utang menunjukkan kecenderungan menurun dalam lima tahun terakhir. Periode 2015-2019, pembiayaan utang mengalami penurunan dari Rp 380,9 triliun pada 2015 menjadi Rp 359,3 triliun pada 2019. Bahkan, mengalami pertumbuhan negatif 9,7 persen pada 2018 dan 7,3 persen pada 2019. Penurunan pembiayaan utang ini diikuti dengan strategi pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.
Utang dan kesejahteraan
Hal ini sejalan dengan kebijakan belanja negara yang mengalihkan belanja konsumtif pada belanja produktif. Kementerian Keuangan secara
signifikan meningkatkan besaran alokasi anggaran untuk bidang pendidikan dari Rp 375,4 triliun (2014) menjadi Rp 492,5 triliun (2019) dengan pertumbuhan 39,4 persen selama kurun waktu 2014-2019. Dalam periode yang sama, anggaran infrastruktur yang pada 2014 sebesar Rp 154,7 triliun ditingkatkan 168,3 persen menjadi Rp 415 triliun pada 2019.
Hal yang sama dialami anggaran perlindungan sosial yang mengalami peningkatan 354,8 persen dari Rp 84,7 triliun (2014) menjadi Rp 385,2 triliun (2019). Dan, anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp 123,1 triliun (2019) atau naik 106,2 persen dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar Rp 59,7 triliun. Sedangkan anggaran subsidi energi secara signifikan mengalami penurunan 53,2 persen dari Rp 341,8 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp 160 triliun pada 2019.
Strategi pemanfaatan utang dan kebijakan belanja ini efektif meningkatkan kesejahteraan rakyat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan tingkat kemiskinan dari 11,22 persen pada 2015 menjadi 9,66 persen pada 2018. Ketimpangan juga semakin kecil yang ditunjukkan oleh penurunan rasio gini dari 0,402 pada 2015 menjadi 0,384 pada tahun 2018. Tingkat pengangguran turun dari 6,18 persen pada 2015 menjadi 5,34 persen pada 2018.
Jika pengelolaan kebijakan fiskal dan tata kelola APBN yang sehat dapat terus ditingkatkan kemandiriannya, Indonesia yang berkualitas, berkelas, dan berjaya dapat terwujud pada tahun 2045.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar