Putusan Mahkamah Konstitusi 6 Juli 2009 telah menegaskan kekuatan hak pilih warga negara sebagai hak asasi manusia. Dalam putusannya MK menegaskan, warga negara yang belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dapat menggunakan hak pilihnya dengan menggunakan KTP yang masih berlaku dan memilih di tempat mereka tinggal.
Putusan MK itu kita kutip kembali untuk memberikan peneguhan bahwa hak pilih warga negara harus terus dijamin. Kekhawatiran soal hak pilih mengemuka sehubungan dengan banyaknya pemilih yang berpindah tempat memilih pada tempat tertentu. Berdasarkan data yang dikutip Kompas per 17 Februari 2019, terdapat 275.923 pemilih yang berpindah tempat memilih dalam daftar pemilih tambahan.
Daftar pemilih tambahan itu menumpuk di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sejumlah tempat lain. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengkhawatirkan terjadinya kekurangan surat suara di sejumlah tempat pemungutan suara. Undang-undang hanya membolehkan surat suara cadangan sebanyak 2 persen dari pemilih terdaftar.
Problem legal konstitusional itulah yang harus diselesaikan. Semua pihak, pemerintah, DPR, dan KPU, harus punya pemahaman bahwa hak memilih adalah hak asasi manusia yang tak boleh dihilangkan karena alasan teknis administratif. Pemilih yang pindah lokasi memilih juga tak bisa dipastikan akan menguntungkan partai atau kandidat tertentu.
Presiden sebagai kepala negara, DPR, KPU, dan Bawaslu sebenarnya bisa duduk bersama membahas masalah itu. Solusinya pun bisa dibuat bersama. Apakah perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terbatas khusus soal pasal itu dan tidak melebar ke pasal lain? Atau melalui mekanisme uji materi ke MK soal penafsiran pasal tersebut. Atau menyerahkan sepenuhnya kepada KPU untuk mengatur bagaimana alokasi penyebaran surat suara sesuai dengan daftar pemilih tambahan.
Secara teoretis, penambahan daftar pemilih tambahan di sejumlah tempat sudah bisa diperkirakan berapa jumlah surat suara yang dibutuhkan. Yang pasti, pemilih tambahan akan menambah surat suara untuk pemilihan presiden.
Duduk bersama antara presiden sebagai kepala negara, KPU, dan DPR yang merupakan representasi partai politik itu diperlukan agar semua pihak punya pemahaman yang sama, mengetahui masalah, dan mencari solusi bersama. Jika KPU bisa mengelola secara transparan soal penambahan daftar pemilih dan menjamin ketersediaan surat suara, rasanya alternatif itu yang paling kecil risiko politiknya. Atau secara bersamaan ada uji materi pasal soal surat suara di UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. MK juga harus responsif dan menjadikan uji materi ini prioritas. Langkah itu harus diambil cepat karena butuh persiapan teknis.
Kompas, 27 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar