Entah siapa yang pertama kali memopulerkan istilah itu, tiba-tiba semua orang kini latah menyebut tahun 2019 ini sebagai "tahun politik".

Padahal, jika ditelisik lebih teliti, istilah itu bisa menjebak dalam dua hal penting. Pertama, dengan menyebut tahun ini sebagai "tahun politik", di situ "politik" direduksikan hanya menjadi sekadar persaingan elektoral dalam bentuk pemilihan umum (pemilu), entah itu di daerah ataupun pusat. Maka, kesibukan orang dalam tahun politik hanyalah bagaimana meraup suara sebanyak-banyaknya sebagai tiket untuk menduduki kursi kekuasaan.

Padahal, kita tahu, politik jauh lebih luas ketimbang sekadar bagaimana meraup suara dan merebut kursi kekuasaan. Politik, dalam artian yang hakiki, merupakan proses ketika berbagai kelompok mengupayakan tatanan dan mekanisme yang mengatur hidup bersama demi kesejahteraan kota (polis, asal dari kata "politik"). Oleh karena itu, setiap hari sesungguhnya merupakan proses-proses politik, sejauh kelompok-kelompok yang berbeda saling menegosiasikan tatanan dan mekanisme hidup bersama serta tidak terbatas hanya pada saat pemilihan umum.

Akan tetapi, persis pengertian politik yang substansial ini yang direduksi oleh politik elektoral. Ini sedikit banyak menyumbang pada jebakan kedua: dalam tahun politik, setiap isu atau kegiatan apa pun, entah dikaitkan dengan pertimbangan politik elektoral atau sebaliknya, harus ditunda sampai politik elektoral selesai. Gejala pertama dapat secara gamblang kita lihat sekarang. Segala urusan, mulai dari bagaimana mengacungkan jari sampai kehadiran seorang cucu, dipahami dan diributkan karena ada pertimbangan dampak elektoralnya.

Gejala kedua lebih subtil. Banyak agenda politik yang substansial—entah itu pemenuhan hak-hak kelompok yang dimarjinalkan (para penghayat kepercayaan yang selama ini dinafikan hak-hak konstitusionalnya, misalnya, atau keberadaan LGBT) ataupun pembatalan kebijakan yang kontroversial—harus ditunda sampai politik elektoral selesai. Bahkan, hal kedua ini diam-diam melatari keputusan para elite politik yang tidak berani mengambil sikap tegas karena bisa berdampak pada perolehan suaranya!

Oleh karena itu, paradoksnya, percuma saja membicarakan agenda politik yang substansial di tahun politik. Seluruh perbincangan hanya akan direduksi pada soal sejauh mana pengaruhnya terhadap berapa banyak suara yang dapat diraup sang kandidat. Kalau dianggap merugikan, lebih baik tidak usah bersikap.

Tahun penentuan

Esai ini ingin mengusulkan cara lain untuk memahami "tahun politik". Menurut saya, dalam konteks eksperimen demokratisasi yang kita jalani pasca-Reformasi  1998, apa yang akan kita songsong pada 17 April nanti memang sungguh-sungguh suatu tahun penentuan arah politik kita sebagai bangsa dan, karena itu, menjadi pertaruhan ultim.

Ini bisa dilihat setidaknya dari tiga dimensi. Pertama, baik bagi Joko Widodo sebagai petahana maupun Prabowo Subianto yang menantangnya, pertarungan (ulang) ini merupakan kesempatan terakhir bagi mereka untuk berlaga di pentas nasional. Sebagai petahana, Jokowi tidak akan mungkin maju lagi pada 2024, sementara Prabowo juga harus menyerah pada kendala usia.

Namun, persoalannya, menurut saya, jauh lebih substansial ketimbang kendala itu. Ini mengantar kita pada dimensi kedua: pertarungan akbar keduanya merupakan cermin dari pertarungan dua roh zaman (zeitgeist) yang berbeda. Jokowi, kita tahu, berasal dari rakyat jelata yang tidak memiliki "darah biru", atau kaitan dengan rezim lalu dan dukungan militer. Ia datang justru dari latar belakang sosial mereka yang selama ini tersingkirkan—seorang "girli", memakai istilah kaum muda, yakni orang dari "pinggir kali"—yang merangkak perlahan-lahan sampai mencapai puncak kekuasaan.

Sementara figur Prabowo justru sebaliknya. Mantan pemimpin Kopassus, pasukan elite di negara ini, dan pernah memiliki hubungan keluarga dengan keluarga Soeharto, tokoh sentral rezim lama, Prabowo adalah representasi par excellence rezim lama. Apalagi, dalam pertarungan sekarang, seluruh kekuatan rezim lama menyokongnya.

Oleh karena itu, menurut saya, apa yang sedang dipertaruhkan pada April mendatang adalah arah yang menentukan dalam evolusi demokrasi kita. Apakah kita akan mampu memutus beban masa lampau dan melangkah ke depan untuk membangun tatanan hidup bersama yang sama sekali baru atau justru akan kembali pada masa lampau yang disimbolkan oleh semboyan yang sempat terkenal, "Piye, enak zamanku, to?"

Akhirnya, dimensi ketiga, pertarungan politik ini juga merupakan pertaruhan ultim bagi para elite politik lain ataupun partai-partai pendukungnya. Tahun ini akan merupakan penentuan apakah para elite itu dan partai-partai pendukung mereka akan mampu tetap berkiprah di tahun 2024 atau harus tenggelam.

Sebab, jika benar analisis di atas bahwa tahun ini merupakan tahun penentuan ke mana arah politik kita, bisa dibilang ruang terbuka bagi generasi baru perpolitikan di Indonesia akan dimulai sejak 2024. Di situ kita menggantungkan harapan pada munculnya generasi yang sama sekali baru dan tanpa beban-beban historis masa lampau.

Namun, semua itu dimulai dari sekarang saat konfigurasi politik sedang ditata ulang dan arah serta masa depan Indonesia dipertaruhkan. Dalam artian ini, tahun 2019 sungguh-sungguh suatu tahun politik. Keputusannya ada di tangan kita, Anda dan saya, sebagai pemilik suara yang akan menentukan arah masa depan. Karena itu, gunakan suara Anda!