Seleksi pengganti dua hakim konstitusi sepi dari publikasi, tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilihan presiden pada 17 April 2019. Tak banyak wacana di media soal seleksi ini.
Guru Besar (Emeritus) Prof Dr Satjipto Rahardjo SH dalam artikelnya di Kompas, 5 Januari 2009, mengonstruksikan, ludah sembilan hakim konstitusi itu ibarat mengeluarkan api atau dalam bahasa Jawa disebut "idu geni". Kekuasaan sembilan hakim itu luar biasa. Saat mereka memutus: 260 juta rakyat Indonesia harus tunduk. Patuh. Tidak ada jalan untuk melawan. Putusannya final dan mengikat!
Kekuasaan MK luar biasa! MK diberi wewenang menguji konstitusionalitas undang-undang, membubarkan parpol, menangani sengketa antar-lembaga negara, mengadili sengketa pemilu, dan terakhir (yang belum pernah dipakai), mengadili impeachment presiden. Dengan kewenangan itu, bisa dipahami hakim MK itu "manusia setengah dewa." Secara teoritis, hakim MK harus di atas segalanya. Hakim konstitusi satu-satunya penyelenggara negara yang dikonstruksikan sebagai "negarawan yang menguasai konstitusi".
Dalam konstruksi seperti itu, masuk akal ketika seleksi hakim konstitusi yang sunyi dari keterlibatan publik menjadi soal. DPR sedang menyeleksi dua hakim konstitusi, Aswanto dan Wahiduddin Adams, yang habis masa jabatannya pada 21 Maret 2019. Mereka masih mencalonkan diri lagi. Kandidat lain yang ikut seleksi adalah Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Aidul Fitriacida, Bahrul Ilmu Yakup, Galang Asmara, Refly Harun, Ichsan Anwary, Askari Razak, Umbu Rauta, dan Sugianto.
Para kandidat hakim konstitusi harus orang yang sudah selesai dengan dirinya. Orang yang tanpa cela karena mereka adalah "negarawan yang menguasai konstitusi". Uji kelayakan yang melibatkan para ahli mantan hakim MK Harjono, Maria Farida, Maruarar Siahaan, dan Eddy OS Hiariej sudah selesai dilakukan. Awalnya, DPR berjanji mengumumkan calon hakim konstitusi pilihannya pada 12 Februari 2019. Namun, dalam beritaKompas, 8 Februari 2019, Komisi III DPR memutuskan menunda pengambilan keputusan hingga 12 Maret 2019. Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menjelaskan, "Ini lembaga politik. Para anggota (Komisi III DPR) butuh bertanya kepada pimpinan (partainya) masing-masing harus mengambil keputusan seperti apa. Pada intinya, kami tidak siap (diputuskan) hari ini, dan tidak siap juga pekan depan."
Sebelumnya, DPR menolak tekanan kelompok masyarakat sipil agar lebih hati-hati memilih "peludah api" karena proses pendaftaran yang singkat, yakni lima hari. Kelompok masyarakat sipil khawatir, dalam waktu pendek sulit mendapatkan calon yang kredibel. Namun, setelah seleksi rampung, Komisi III DPR justru menunda mengambil keputusan karena ingin berkonsultasi dengan pimpinan partai.
Penundaan itu berpotensi memunculkan banyak tafsir, termasuk tafsir politik. Hakim konstitusi bukan wakil atau pekerja parpol.
DPR harus berhati-hati memilih hakim konstitusi. Seleksi hakim konstitusi lewat DPR telah menghasilkan Akil Mochtar, ketua MK, yang masuk penjara. Seleksi melalui jalur pemerintah telah menghasilkan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang juga masuk penjara. Sejarah itu harus jadi pelajaran DPR.
MK yang awalnya berwibawa dan jadi lembaga penyelesai masalah kini mulai tereduksi otoritasnya. Putusan MK soal persyaratan calon anggota DPD dari parpol, misalnya, yang sudah diputuskan dan sifatnya final dan mengikat, ternyata tidak final dan tidak mengikat. Kasus itu ternyata masih bisa dipersoalkan.
Seleksi hakim konstitusi harus bisa menjawab tren meredupnya—dan semoga tidak benar—keampuhan MK sebagai the guardian of constitution dan the guardian of ideology.
Konstitusi atau UUD 1945 bukan undang-undang biasa. Ronald Dworkin menyebut, membaca UUD tak sama dengan membaca undang-undang biasa. UUD perlu dibaca lebih serius. Membaca UUD sebagai pesan moral.
Jadi, seleksi hakim konstitusi bukan semata menyeleksi seorang ahli hukum atau malah hanya seorang lawyer atau birokrat hukum. Kalau itu yang terjadi, dikhawatirkan terjadi pengerdilan dari masalah kehidupan bangsa hanya menjadi masalah hukum semata. Masalah kehidupan bangsa begitu luas.
Ketika kita menyepakati Indonesia negara hukum dan menjadikan konstitusi sebagai pijakan, dibutuhkan kearifan berbangsa yang lebih luas daripada sekadar "akal hukum".
Satjipto Rahardjo menulis, dari 20 anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hanya empat yang ahli hukum. Adapun dalam "Panitia Sembilan" yang dipasrahi tugas menyusun draf terakhir, hanya ada tiga ahli hukum. Yang menjadi ketua pun bukan Mr Yamin, Mr Maramis, Mr Ahmad Soebardjo, ataupun Prof Dr Mr Soepomo.
Catatan sejarah itu perlu jadi pemikiran untuk mendesain MK ke depan. DPR pun harus ingat, keputusan menunda pemilihan MK bermasalah secara etis dan politis serta menimbulkan spekulasi politik beragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar