Hubungan dekat keduanya terbaca dari kesediaan Soekarno menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, bahkan terlibat di Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Pada 1 Juni 1943, Soekarno menikahi putri Hasan, Fatmawati. Dari rahim putri tokoh Muhammadiyah inilah lahir Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.

Pada acara mengenang hari lahir ke-96 Ibu Negara Fatmawati Soekarno, di Jakarta, Selasa (5/2/2019), Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, menyebut Fatmawati sebagai Ibu Negara dan Ibu Bangsa yang lahir dari keluarga Muhammadiyah-Aisyiyah yang lekat warna keislaman dan keindonesiaannya yang berkemajuan.

Ia telah banyak berjasa kepada umat Islam dan juga bagi semua golongan dengan latar belakang agama, etnis, dan budaya yang berbeda-beda. Pada kesempatan yang juga dihadiri Megawati, organisasi perempuan tertua di Indonesia ini mempersembahkan buku berjudul Muslimah Berkemajuan: Sepenggal Riwayat Fatmawati dan 'Aisyiyah-Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 6/2/2019).

Ikatan kesejarahan itulah yang melatarbelakangi pemilihan Kota Bengkulu sebagai tuan rumah perhelatan Sidang Tanwir Ke-51 Muhammadiyah pada 15-17 Februari 2019. "Kami merasa berada di rumah sendiri. Tentu kami bangga Bengkulu menjadi bagian, selain Bengkulu juga memiliki hubungan kesejarahan dengan Muhammadiyah. Selain aspek itu, melihat perkembangan Muhammadiyah di Bengkulu di bidang pendidikan yang saat ini sudah menjadi rujukan," ucap Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, akhir November lalu, dalam rapat koordinasi dengan jajaran Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Sidang tanwir yang diselenggarakan menjelang pemilu serentak April nanti ini mengusung tema "Beragama yang Mencerahkan". Tampaknya pemilihan topik ini dilandasi kepedulian Muhammadiyah untuk menghadirkan sikap keberagamaan yang optimistis, humanis, dan berorientasi pada kemajuan di tengah gelombang politik populisme dan keterbelahan umat menuju pilpres. Menurut Haedar, forum tanwir diharapkan menjadi titik temu seluruh energi positif semua pimpinan Muhammadiyah untuk mencerahkan kehidupan umat dan bangsa.

Meritokrasi

Di antara pikiran-pikiran strategis yang dirumuskan pada Muktamar Muhammadiyah 2015 di Makassar adalah komitmen Muhammadiyah mengampanyekan keberagamaan wasthatiyah (tengahan), mengedepankan dialog dalam menyikapi perbedaan, menjauhi sikap takfiri (menuduh kafir pihak yang berbeda), dan membangun budaya meritokrasi. Organisasi ini juga berdakwah dalam rangka menularkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan serta menyerukan perbaikan tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi.

"Jika ingin membangun negara modern, ya, jangan berdasarkan kriteria golongan, apalagi menjadi milik golongan tertentu," ujar Haedar baru-baru
ini.

Prinsip meritokrasi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap individu yang memungkinkannya dapat mengembangkan semua potensinya sehingga berkontribusi pada kemajuan masyarakat (Mahbubani, 2008). Semangat meritokrasi menjunjung tinggi kerja keras, prestasi, dan kesetaraan. Tak berkompromi dengan politik dinasti dan dominasi golongan tertentu. Kegemilangan sepak bola Brasil cermin dari keberhasilan meritokrasi di bidang olahraga. Komitmen Muhammadiyah membangun budaya meritokasi di ranah publik ini merefleksikan persistensi sistem kepemimpinan meritokratik di internal Muhammadiyah sendiri.

Namun, arus pasang populisme global yang berbaur dengan gelombang Islamisasi di ranah domestik dan seiring dengan pengerasan sentimen politik identitas telah mengancam nilai-nilai meritokratik yang disuarakan Muhammadiyah pada ranah kenegaraan. "Masalah dengan politik kita adalah bahwa kita telah bergeser dari berdebat tentang kebijakan ekonomi ke berdebat tentang identitas," kata Fukuyama (2018) di satu wawancara.

Menjadi muskil menegakkan sistem meritokrasi jika arus politik identitas kian mengokohkan tembok parokialisme dan mengukuhkan superioritas kelompok. Inilah fenomena kebangkitan tribalisme baru—dalam istilah Fukuyama—yang menantang sistem meritokrasi. Pengerasan politik identitas akan mematikan prinsip-prinsip egalitarian dan menggugurkan sistem meritokrasi.

Pemilihan presiden

Momentum pemilihan presiden-wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota perwakilan daerah memiliki basis legitimasi untuk menguji tingkat kesadaran politik kewargaan dalam membangun budaya egalitarian dan meritokrasi. Beberapa survei memperlihatkan adanya peningkatan sentimen agama dalam pemilihan pejabat-pejabat publik. Lembaga Survei Indonesia merekam tren kenaikan intoleransi politik sejak 2010 hingga 2017. Belakangan, isunya tak lagi sebatas memperhadapkan pemimpin "Muslim vs non-Muslim", tetapi sudah menjurus ke politik eksklusi seperti "Islam vs lebih Islam" dan "agamis vs lebih agamis".

Ruang percakapan publik di tahun politik ini terus disesaki semburan narasi agitasi, provokasi, bahkan kebohongan. Kita pun menyaksikan betapa media sosial begitu mudah memfabrikasi isu-isu kebencian dan permusuhan politik yang sebagian besar bersumbu pada pengerasan politik identitas dan isu ketidakadilan vis a vis pemerintah. Keberadaan kekuatan kritis dan penyeimbang, baik di parlemen maupun di luar parlemen (media, individu, dan kelompok sipil), merupakan suatu keharusan dalam sistem demokrasi.

Namun, sikap politik checks and balances itu akan menjadi destruktif jika menyeret-nyeret sentimen politik identitas dan menabalkannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman yang menimpa "umat Islam". Meringkus kompleksitas dan perbedaan aspirasi politik umat Islam menjadi aspirasi politik yang tunggal jelas menyesatkan. Membenturkan opini bahwa calon presiden A lebih mewakili Islam ketimbang calon presiden B sangat membahayakan.

Faktanya, setiap calon presiden menikmati dukungan dari pengikut ormas-ormas Islam. Survei Populi Center (periode 20-29 Januari 2019) mengungkap tingginya dukungan warga Muhammadiyah terhadap Jokowi-Ma'ruf Amin sebesar 72,1 persen. Yang mendukung Prabowo-Sandi sejumlah 20,9 persen. Adapun dukungan warga NU terhadap Jokowi sebesar 56,1 persen. Sisanya 27,8 persen memilih Prabowo. Adapun mayoritas Persatuan Islam (Persis) menambatkan pilihan politiknya ke paslon 02 sebesar 64,3 persen. Paslon 01 mendapat dukungan 35,7 persen. Yang menarik tetapi ini tidak mengejutkan, 100 persen anggota FPI memilih Prabowo.

Netralitas Muhammadiyah menghadapi pemilu mendatang memang tidak bisa ditawar dan warga persyarikatan ini mempunyai independensi politik mutlak. Besarnya dukungan warga Muhammadiyah kepada Jokowi-Ma'ruf, mengacu pada survei sementara di atas, bukan berarti organisasi ini berpihak. Justru yang menjadi menarik adalah keberadaan sosok cawapres Ma'ruf Amin yang merupakan tokoh senior Nahdlatul Ulama relatif tidak "mengganggu" kenyamanan pilihan politik warga Muhammadiyah.

Ada banyak faktor yang berkontribusi. Salah satunya adalah kedewasaan politik warga Muhammadiyah dalam memilih pemimpin nasional dengan mengutamakan prinsip inklusivitas dan meritokrasi yang melekat pada sosok Jokowi.

Sikap politik organisasi sudah seharusnya memayungi keragaman aspirasi politik warganya tanpa mengorbankan khitah. Perbedaan pilihan politik antaranggota tak sepatutnya merusak soliditas organisasi dan persaudaraan. Yang pasti, Muhammadiyah sangat berkepentingan agar hasil pemilu melahirkan kepemimpinan yang mampu membangun instrumen-instrumen kebijakan yang memungkinkan masyarakat melakukan mobilitas sosial berdasarkan sistem meritokrasi dan budaya egalitarian dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan (Berita Resmi Muhammadiyah, 2015:120).

Semoga sidang tanwir kali ini melahirkan pikiran-pikiran bernas dan program strategis sehingga menjadi oase dan perekat bagi kehidupan kebangsaan kita. Muhammadiyah merupakan penjaga bangsa. Selamat bertanwir! Wallahualam.