Di suatu siang, di sebuah ruang rapat sebuah perusahaan besar, saya duduk menunggu kehadiran klien saya. Selang beberapa menit, dua orang memasuki ruangan itu. Saya kaget karena seperti melihat bapak saya. Jadi, judul yang saya gunakan di atas bukanlah yang saya maksud dengan ayah dan ibu, tetapi orang yang sudah tua.

Membuka diri

Melihat sosok yang sudah "sepuh" itu, saya dengan cepat menghakimi. Tentu di dalam hati. Saya berpikir, presentasi saya pagi itu bakalan membawa masalah besar. Sudah beberapa kali saya berhadapan dengan orang yang sudah tua dan selalu saja berakhir dengan susahnya mereka menerima hal-hal baru yang tak biasa. Dan, yang paling menyebalkan karena biasanya mereka merasa paling benar.

Tak lama setelah itu, tiga orang muda memasuki ruangan bergabung dengan klien saya yang mirip bapak saya itu. Setelah semua hadir, saya memulai presentasi. Singkat cerita, untuk kedua kalinya saya terkaget. Penghakiman saya di dalam hati itu, berdasarkan pengalaman yang sudah beberapa kali saya alami itu, sama sekali tidak terjadi. Saya keliru besar.

Klien saya yang sudah tua itu ternyata sangat rendah hati dan terbuka. Bahkan, mengakui bahwa presentasi saya memberikan wawasan baru dan mereka siap untuk berubah dengan mengubah cara pandang yang selama ini tak pernah mereka pikirkan untuk dilakukan.

Setelah presentasi itu selesai, salah satu dari dua orang yang sudah tua itu menghampiri saya dan meminta nomor telepon saya. "Gak papa ya, Mas. Nanti kalau ada yang ingin saya tanyakan saya hubungi Mas lagi."

Tentu dengan senang hati saya memberikannya. Dari tiga anak muda yang hadir, hanya satu yang sangat aktif bertanya dan menyimak. Sementara dua orang lainnya diam dengan bahasa tubuh yang seperti ogah mendengar presentasi itu.

Tak lama setelah saya berpikir demikian, satu dari dua anak muda itu minta izin meninggalkan ruangan karena harus rapat di tempat lain. Saya mulai menghakimi lagi. Saya berpikir bahwa ia mencari alasan saja untuk dapat keluar dari ruangan tersebut.

Anda keliru besar kalau tulisan ini akan membedakan perilaku dua generasi yang berbeda seperti siang dan malam itu. Sama sekali tidak. Saya tak tertarik menulis perbedaan karena berbeda itu sudah sejatinya diterima. Perbedaan itu seyogianya diterima bukan dipermasalahkan. Kalau dipermasalahkan tak akan ada akhirnya.

Awet muda

Tujuan saya menulis ini adalah untuk menceritakan bahwa saya mendapat pencerahan dari dua orang yang sudah tua itu. Saya ingin belajar menjadi tenang menghadapi perubahan dan bersedia membuka diri pada sesuatu yang baru.

Sebab, sejujurnya saya ini juga sudah tua dan sering sekali susah untuk menerima bahwa kehidupan ini berubah. Kesusahan menerima cara-cara baru yang acap kali tak sesuai dengan aturan dan cara-cara yang bertahun lamanya saya pelajari, baik dari keluarga, sekolah, maupun kehidupan sosial.

Ketuaan cara berpikir itu membuat saya selalu merasa bahwa nilai-nilai yang dahulu saya dapatkan adalah paling benar. Itu yang membuat saya susah terbuka menerima hal-hal baru. Saya tak bisa setenang kedua bapak yang sudah tua tersebut.

Saya tak bisa seperti mereka menyimak presentasi saya dengan serius dan mengakui bahwa mereka mendapat masukan yang baru. Mereka tidak menantang saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjatuhkan, yang lahir dari cara pandang mereka yang berbeda sangat dengan apa yang saya presentasikan.

Mereka mengatakan siap untuk berubah, siap untuk belajar lagi dengan perubahan yang saya beberkan dalam presentasi di pagi itu.

Mendengar mereka siap berubah, saya jadi malu setengah mati. Saya ini mengajarkan hal-hal baru kepada orang lain, tetapi sesungguhnya untuk terbuka saja, saya susahnya setengah mati. Bagaimana mungkin saya akan seperti mereka, siap untuk berubah.

Saya terlalu bergengsi sebagai orang yang sudah tua untuk meminta nomor telepon kepada mereka yang muda, apalagi untuk bertanya. Saya gengsi
karena selalu mengartikan bahwa orang yang sudah tua itu sama dengan orang yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan sudah makan garam kehidupan.

Jadi, bagaimana ada orang yang jam terbangnya sudah mirip burung, dapat merendahkan diri dengan bertanya kepada mereka yang muda, yang mungkin terbang saja belum bisa? Bagaimana mungkin yang belum tentu bisa terbang itu mengajari yang sudah terbang?

Setelah presentasi itu saya makan siang. Sambil mengunyah nasi uduk, saya masih terus berpikir bagaimana caranya mempunyai dada yang legawa seperti dua bapak tua itu. Mungkin saya harus dengan berani memulai mengosongkan diri.

Berhenti memiliki pikiran bahwa saya lebih tahu dari
mereka hanya karena saya lebih dahulu tahu bahwa garam
kehidupan itu tak hanya asin, tapi juga pahit banget. Berhenti
untuk merasa bahwa pengetahuan saya lebih benar dari mereka.