Arus modal masuk yang juga dipicu imbal hasil investasi lebih menarik di negara berkembang, termasuk Indonesia, membuat nilai tukar mata uang dan indeks saham menguat tajam. Rupiah yang pada Oktober 2018 sempat menyentuh Rp 15.400 menguat ke level di bawah Rp 14.000 per dollar AS, Kamis. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia kembali tembus level psikologis 6.500.
Selain langkah The Fed yang memberi sinyal kenaikan suku bunga tak seagresif sebelumnya, faktor lain yang ikut memicu sentimen positif global adalah penurunan harga minyak di tengah peningkatan suplai global. Meredanya tensi perang dagang AS-China juga ikut berdampak. Kebijakan AS mempertahankan suku bunga sendiri dilandasi pertimbangan proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri AS yang kurang baik dan juga pelambatan ekonomi global.
Penguatan rupiah yang saat ini masih undervalued dan juga IHSG diperkirakan masih bisa berlanjut dengan tingginya kepercayaan investor terhadap fundamental ekonomi domestik. Dengan imbal surat utang negara 7,27 persen untuk tenor 10 tahun, Indonesia juga salah satu tujuan investasi paling menarik di antara emerging markets.
Tantangan kita adalah bagaimana memanfaatkan sentimen positif global dan menjaga sentimen dalam negeri tetap positif guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik. Mengelola arus dana masuk, terutama portofolio jangka pendek yang volatile, dengan mendorong ke investasi yang berjangka panjang, dengan cara mempercepat pendalaman pasar finansial dan memperbaiki iklim investasi, menjadi mendesak.
Investasi portofolio yang deras masuk sejak awal tahun belum dibarengi dengan peningkatan di investasi langsung, tecermin dari realisasi investasi asing langsung (FDI) yang menurun daripada periode sebelumnya. Dalam jangka panjang, kesinambungan pertumbuhan akan tergantung pada tiga motor ekonomi: investasi, ekspor, dan konsumsi domestik.
Beberapa kritik melihat, penguatan sentimen positif saat ini lebih karena faktor eksternal dan bukan karena perbaikan di dalam negeri. Salah satu yang masih menjadi problem adalah defisit transaksi berjalan yang angkanya meningkat menjadi 3,37 persen atau 8,8 miliar dollar AS pada kuartal III-2018. Melebarnya defisit neraca berjalan memunculkan kerawanan terhadap risiko pelarian modal dan tekanan pada nilai tukar.
Langkah lebih desisif untuk memperbaiki neraca berjalan, termasuk serius membenahi industri berorientasi ekspor yang selama ini sangat tergantung komponen impor, diperlukan. Selain itu, melanjutkan reformasi struktural, termasuk membenahi iklim dan indeks kemudahan berusaha yang sempat sedikit tergelincir setelah membaik tajam selama rezim ini.
Kita tak tahu sampai kapan sentimen positif global bertahan sehingga akselerasi perbaikan struktur dan fundamen ekonomi domestik akan menjadi bantalan paling efektif. Melambatnya pertumbuhan global akan jadi tantangan karena berpengaruh pada permintaan ekspor Indonesia. Kita juga harus bisa memanfaatkan situasi "gencatan senjata" AS-China dalam perang dagang untuk memperluas pasar.
Kompas, 2 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar