ARSIP PRIBADI

Kristi Poerwandari

 

Bagaimana kita dapat menumbuhkan kecintaan anak dan remaja kepada negara serta mengajarkan kewarganegaraan dan demokrasi?

Barangkali kita dapat mengambil pembelajaran dari penelitian yang dilakukan Joel Westheimer dan Joseph Kahne (2004). Menulis What kind of citizen? The politics of educating for democracy, mereka berbagi hasil penelitiannya terhadap program-program pendidikan kewarganegaraan dan demokrasi kepada siswa kelas 12 di Amerika Serikat.

Ada tiga konsep pendidikan kewarganegaraan dan demokrasi, yakni (1) yang berfokus pada tanggung jawab pribadi; (2) berfokus pada partisipasi masyarakat; dan (3) berorientasi keadilan dalam masyarakat.
Yang manakah yang kita anggap paling penting?

Tanggung jawab pribadi

Yang masuk dalam kelompok ini adalah mereka yang menunjukkan perilaku bertanggung jawab dalam komunitasnya. Misalnya, membuang sampah di tempatnya, tidak mengganggu lingkungan, menaati peraturan, bersedia menyumbang, tidak melakukan kecurangan, atau mencari keuntungan pribadi.

Warga negara seperti ini bersedia menjadi sukarelawan apabila ada program dapur umum atau kegiatan lain untuk kelompok-kelompok yang kurang beruntung.

Jadi, yang ditekankan adalah karakteristik pribadi yang bertanggung jawab. Misalnya kejujuran, integritas, disiplin diri, bersikap baik dan hormat kepada orang lain, kesediaan bekerja keras, dan kesediaan menolong.

Aktif berpartisipasi

Dari perspektif ini, yang dianggap sebagai warga negara yang baik adalah mereka yang aktif berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan di tingkat lokal hingga tingkat lebih tinggi. Yang ditekankan adalah aksi kolektif, upaya-upaya bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Program pendidikan didesain untuk dapat mendukung warga negara memahami bagaimana pemerintah dan organisasi-organisasi kemasyarakatan bekerja, serta pentingnya mengorganisasi partisipasi masyarakat untuk memengaruhi kebijakan.

Keterampilan untuk dapat menjalankan aksi bersama jadi penting untuk dilatihkan, misalnya bagaimana dapat memimpin pertemuan atau organisasi.

Apa bedanya dengan kelompok sebelumnya? Warga negara yang memiliki tanggung jawab pribadi akan menyumbang waktu, tenaga, dan uang, misalnya, untuk kegiatan makan siang bagi anak jalanan.

Sementara itu, warga negara yang dikuatkan kesadarannya mengenai pentingnya berpartisipasi aktif secara kolektif akan menggalang teman- temannya dan mengorganisasi kegiatan itu menjadi kegiatan yang berdampak lebih luas daripada sebelumnya.

Kelebihan pendekatan ini adalah bahwa masyarakat ikut aktif secara kolektif menyelesaikan masalah ataupun menemukan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Pendekatan ini menghadirkan hubungan- hubungan atau koneksi baru, pemahaman bersama di antara kelompok yang berbeda-beda, saling percaya, serta komitmen bersama.

Berorientasi keadilan

Pandangan ini memiliki irisan dengan pendekatan sebelumnya yang berfokus pada kerja kolektif dan partisipasi aktif masyarakat. Perbedaannya adalah pandangan ini lebih kuat menekankan perlunya masyarakat memiliki kesempatan dan kemampuan untuk menganalisis dan memahami saling hubungan yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik.

Asumsinya, berbagai persoalan sosial sering bersumber atau terkait dengan ketidakadilan. Oleh karena itu, kesempatan dan kemampuan untuk melakukan analisis secara kritis akan dapat membantu terciptanya perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih baik.

Agar dapat melakukan perubahan sosial secara sistemik, siswa dibekali kemampuan mengidentifikasi berbagai isu sosial dan ketidakadilan serta melakukan analisis kritis.

Perspektif integrasi

Westheimer dan Kahne (2004) menemukan bahwa perspektif yang berbeda akan menelurkan hasil berbeda. Misalnya, yang fokus pada tanggung jawab pribadi mungkin membentuk siswa menjadi lebih jujur, pekerja keras, mudah dimintai pertolongan atau menjadi relawan.

Namun, mereka kurang menyadari pentingnya berorganisasi, apalagi membahas soal ketidakadilan sosial. Mereka mungkin tidak tertarik, bahkan merasa tak nyaman dan menghindar untuk berdiskusi tentang politik.

Sementara itu, yang menekankan aksi kolektif dan sikap kritis untuk menganalisis ketidakadilan sosial mungkin pandai berorganisasi dan kuat dalam analisis, tetapi belum tentu terkuatkan sisi-sisi tanggung jawab pribadinya.

Mereka kurang belajar untuk berefleksi agar paham apa saja karakter positif yang harus dibangun dari diri sendiri. Misalnya, untuk bersikap jujur, terbuka, berempati, bertenggang rasa, dan berhati-hati dalam pengambilan kesimpulan.

Bukankah kita menemukan dalam masyarakat, orang yang pandai berwacana atau sibuk mengkritik, tetapi kurang berkaca mengenai perilaku dirinya sendiri?

Kita mengamati bahwa partisipasi masyarakat—apalagi kelompok muda— dalam pemilu di berbagai negara menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu.

Sementara itu, peran media sosial makin masif dalam memobilisasi kelompok dan memengaruhi pandangan masyarakat dengan informasi yang sering hoaks.

Oleh karena itu, diperlukan perspektif yang mampu mengintegrasikan tiga pendekatan itu. Kita sangat memerlukan orang-orang muda yang memiliki karakter pribadi positif, mampu menghormati diri sendiri dan kelompok-kelompok berbeda dalam masyarakat, serta memiliki keterbukaan, kejujuran, disiplin, inisiatif dan integritas.

Selain hal itu, orang-orang muda juga perlu menyadari pentingnya kerja kolektif berorganisasi, bukan hanya membawa kepentingan kelompoknya sendiri, melainkan membawa kepentingan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat.

Kita memerlukan orang- orang muda yang kritis menganalisis ketidakadilan sosial, sekaligus terbuka terhadap kemungkinan bahwa bisa jadi kelompoknya sendiri juga terlibat dalam menguatkan ketidakadilan tersebut.