Ironisnya, di tengah berbagai upaya itu, terungkap beberapa pejabat Kementerian Agama terlibat jual-beli jabatan bersama ketua umum parpol. Mengapa ada campur tangan pimpinan parpol yang melakukan perbuatan tercela jual-beli jabatan dalam perekrutan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan lembaga di bawah Kementerian Agama?
Menyelewengkan sistem merit merupakan penyakit birokrasi pemerintah. Sistem merit sudah diberlakukan di zaman Dinasti Qin dan Han di China. Dinasti ini yang mengenalkan sistem merit lewat sistem pendidikan dan pelatihan diikuti dengan ujian dan seleksi bagi para calon pejabat pemerintahan. Dari China, konsep sistem merit kemudian meluas, dipergunakan di British India pada abad ke-17 serta menyebar ke daratan Eropa dan Amerika.
Di Indonesia, semenjak pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang, telah pula dikenal dan dilaksanakan sistem merit dalam manajemen pemerintahan. Sayangnya, pelaksanaannya tak seperti yang diharapkan oleh disiplin ilmu yang mengonsepsikannya.
Menurut konsepsi disiplin ilmu, sistem merit merupakan suatu sistem manajemen kepegawaian yang menekankan pada pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosi, dan dipensiun sesuai UU yang berlaku. Kompetensi mengandung arti bahwa calon harus punya keahlian dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangku. Kompetensi, keahlian, dan profesionalisme calon inilah yang jadi pertimbangan utama.
Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan juga merupakan dasar pertimbangan pokok. Prinsip netralitas ini menekankan tak adanya unsur kedekatan kepentingan, baik kedekatan keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, maupun konglomerasi dan sejenisnya. Selain kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlak jadi pertimbangan bagi calon yang akan jadi aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer.
Yang terjadi selama ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja. Proses pengangkatan calon secara diam-diam dilakukan. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Netralitas ditabrak dengan perekrutan yang ditentukan oleh pertimbangan kedekatan calon dengan pemegang kekuasaan.
Cara melaksanakan sistem merit seperti itu berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, lebih-lebih di era pemerintahan Orde Baru yang berlangsung hampir 32 tahun. Bahkan, sisa-sisa pemerintahan Orde Baru itu masih terasa dipraktikkan hingga kini.
Tahun 2014, dengan dipelopori Komisi II DPR, dibentuk UU tentang Aparatur Sipil Negara yang sarat dengan upaya menegakkan sistem merit ini.
UU ini oleh pemerintah pernah ditolak. Termasuk dengan menggelar aksi demonstrasi oleh aparat pemda yang disponsori dan didukung pemerintah pusat. UU ASN juga banyak menghadapi rintangan di kalangan politik di DPR sendiri. DPR sempat berencana merevisi dan menghapus Komisi Aparatur Sipil Negara—suatu lembaga penjaga sistem merit (merit system protecting board)— dalam RUU ASN yang inisiatif pembentukannya berasal dari DPR sendiri.
Pendekatan kekuasaan
Salah satu penyebab tak efektifnya pelaksanaan sistem merit adalah dijalankannya pendekatan kekuasaan oleh pejabat pemerintah. Manajemen pemerintahan yang sentralistik lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan atau otoritas yang dipegang oleh pemegang jabatan, lebih-lebih jika pemegang jabatan adalah pejabat politik dari parpol. Semua bergantung pada persepsi pemegang kekuasaan. Ketegasan dan loyalitas melaksanakan UU yang ada menjadi samar-samar sesuai aspirasi politik yang ada.
Politik kekuasaan inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita.
Pendekatan kekuasaan erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Pejabat politik yang berasal dari kekuatan parpol di dalam sistem pemerintahan, juga sudah lama kita kenal. Di awal kemerdekaan, ketika pemerintah melaksanakan sistem demokrasi liberal, partai-partai politik dibentuk oleh rakyat. Partai adalah kesatuan aspirasi politik dari sekelompok rakyat yang bertujuan mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang ingin dicapai adalah kekuasaan pemerintahan.
Mulai dari zaman liberal, zaman demokrasi terpimpin, hingga era demokrasi reformasi sekarang ini, keinginan parpol untuk kekuasaan ini tak pernah berubah. Maka, manajemen pemerintahan yang sebelumnya ditempati pejabat birokrasi pemerintah mulai dipimpin oleh pejabat politik dari kekuatan partai politik yang berkuasa atau yang memenangi pemilu.
Mulai dari sinilah hadir jabatan politik dari parpol yang memimpin birokrasi pemerintah. Pemegang kekuasaan jabatan yang berkewajiban membuat dan merumuskan kebijakan, ditempati oleh pejabat politik dari parpol. Dan, kebijakan itu harus dilaksanakan oleh manajemen pemerintahan.
Dengan demikian, pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis menjadi subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik. Dari gambaran hubungan kedua jabatan ini, maka sangat sulit bagi pejabat birokrasi untuk lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang menjadi atasannya. Terpengaruhnya aparatur sipil negara dalam proses politik banyak dijumpai di daerah-daerah ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai daerah yang ikut kampanye mendukung calon yang akan memimpin mereka di pemerintah daerah. Mereka yang tidak ikut mendukung bisa tersendat kariernya jika calon tersebut menang pilkada.
Ada gagasan, sebaiknya ASN, seperti anggota TNI dan Polri, tidak ikut memilih dan dipilih dalam pemilu dan pilkada. Jika mereka ikut memilih dan dipilih, harus pensiun dari ASN.
Upaya lain untuk menghindari intervensi politik dari pejabat politik, seperti dalam kasus di Amerika dalam sistem merit adalah mengenalkan dan melaksanakan merit system protecting board begitu pejabat politik dari partai tertentu menjadi atau memimpin birokrasi pemerintahan. Pejabat politik tersebut harus melepaskan ikatan dan identitas partai politiknya. Mereka harus menjadi pejabat negara (official government). Sejalan dengan itu, semua pejabat politik yang diusulkan oleh parpol yang sudah menjadi pejabat negara, seperti presiden, menteri, dan kepala daerah tak boleh lagi menonjolkan identitas simbol warna asal partai politiknya.
Jual-beli jabatan, seperti terjadi di Kementerian Agama yang melibatkan pimpinan parpol, harus segera diakhiri. Untuk mendukung kebijakan Menteri PAN dan RB dalam memperkuat pelaksanaan UU No 5/2014 tentang ASN atau menjalankan sistem merit secara konsekuen, harus dilakukan pembenahan terhadap pendekatan kekuasaan serta tata hubungan pejabat politik dan pejabat birokrat. Tanpa dilakukannya pembenahan itu, syarat sistem merit, seperti kompetensi calon dan netralitas pejabat, amat sulit diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar