Lalu kita terenyak mendengar penilaian pimpinan tertinggi negeri baru-baru ini bahwa ada yang sungguh salah dengan kita sehingga ekspor ataupun investasi asing justru semakin terpuruk di tengah upaya tanpa lelah yang dikerahkan kementerian/ lembaga terkait untuk mendorong ekspor dan investasi asing dalam tiga-empat tahun ini. Lalu, munculah diskursus untuk membentuk lembaga setingkat kementerian guna mendorong ekspor ke negara lain dan menarik investasi asing dari negara lain.

Penerimaan ekspor sangat ditentukan oleh produk dan pasar luar negeri. Sayangnya, Indonesia belum cukup memproduksi produk ekspor manufaktur yang diminati pasar. Untuk itu, investor perlu diundang, khususnya investor asing. Namun, investor perlu "lingkungan bisnis" yang memberikan kepastian jangka panjang dan sampai saat ini keluhan pengusaha di dalam serta luar negeri masih terfokus pada kebijakan pemerintah yang tidak kondusif. Tidak kondusif karena antara satu kebijakan dan kebijakan lainnya masih sering kali tidak saling mendukung atau berubah-ubah sehingga sulit membuat perencanaan bisnis jangka panjang.

Mungkin kita perlu melakukan refleksi sebentar sebelum menyimpulkan bahwa untuk mengatasi keterpurukan ekspor dan investasi adalah dengan membentuk lembaga baru. Kemajuan (dan kemunduran) ekspor adalah resultan dari banyak faktor yang melibatkan tidak saja lembaga pemerintah yang menangani perdagangan dan promosi ekspor. Kemampuan industri kita untuk menghasilkan produk yang kompetitif dan dibutuhkan di pasar ekspor; dukungan infrastruktur dan suprastruktur ekonomi; konektivitas domestik dan konektivitas antara Indonesia dan pusat-pusat perdagangan regional serta dunia; dan situasi perdagangan global yang semakin menantang dengan banyaknya negara menerapkan kebijakan protektif, hanyalah beberapa faktor yang memengaruhi kinerja ekspor kita.

Peningkatan kemampuan industri juga tak terlepas dari investasi asing yang harusnya dapat ditarik ke Indonesia. Namun, mengapa pertumbuhan investasi asing tak terdongkrak kuat di tengah narasi gencar bahwa Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja profesional yang kian produktif, pasar kelas menengah yang terus bertambah, dan berbagai insentif finansial serta perizinan yang ditawarkan kepada calon investor? Jawabnya tentu bukan sekadar masalah pembebasan lahan atau berapa hari atau jam persetujuan investasi dapat diterbitkan.

Resultan banyak faktor

Seperti halnya ekspor, tingkat realisasi investasi asing merupakan resultan dari berbagai faktor yang tak dapat diatasi hanya dengan membentuk kementerian ekspor dan investasi. Alih-alih semakin baik, kinerja pemerintah di bidang ekspor dan investasi justru dapat kian terpuruk jika rantai birokrasi menjadi lebih panjang dan unsur-unsur dalam sistem birokrasi tetap saja tak cakap untuk berkoordinasi dan bersinkronisasi, baik dalam merumuskan kebijakan maupun implementasinya.

Satu hal yang sering dikeluhkan oleh pelaku usaha nasional ataupun asing adalah kurangnya kepastian kebijakan yang ditempuh pemerintah dari waktu ke waktu. Hal ini diperparah oleh tidak adanya good regulatory practice dalam birokrasi kita, baik sejak tahapan perumusan kebijakan maupun di tahap implementasinya. Alhasil, satu peraturan bisa diterbitkan oleh suatu kementerian hanya dalam hitungan hari tanpa diketahui oleh kementerian terkait lainnya yang mungkin memiliki kaitan kepentingan. Bahkan, dalam beberapa kasus, muncul disharmoni kebijakan dalam satu kementerian karena unit pembina sektor hulu menempuh kebijakan yang justru cenderung menghambat pertumbuhan di sektor hilir, meskipun keduanya berada dalam lingkup tugas kementerian yang sama.

Sebetulnya untuk mengatasi ketidakpastian kebijakan/peraturan seperti di atas, pemerintah telah menggulirkan serangkaian paket deregulasi sejak 9 September 2015. Setelah guliran paket deregulasi yang ke-16 pada November tahun lalu, kita bisa amati adanya dua tanggapan umum terhadap guliran deregulasi pemerintah ini. Pertama, tanggapan positif dari pelaku usaha yang terbebani oleh biaya-biaya ekstra dan compliance costs dalam menjalankan usahanya. Kedua, adalah mereka yang khawatir bahwa deregulasi ini akan menghapus berbagai perlindungan yang selama ini diberikan oleh pemerintah sehingga kita semakin dikuasai "asing."

Premis dasar "deregulasi" adalah simplifikasi dan sinkronisasi peraturan; semakin sedikit dan semakin sederhana aturan-aturan yang ada, semakin mudah menarik investasi, mendorong produktivitas (termasuk di sektor ekspor), dan meningkatkan efisiensi dengan menurunkan ongkos dan harga. Dengan kata lain, dengan deregulasi kita memangkas aturan-aturan yang tak perlu, termasuk yang saling tumpang-tindih atau bertentangan dan tidak efektif untuk mencapai tujuan dari aturan itu.

Berdasarkan premis ini, deregulasi harus dilakukan secara "menyeluruh" terhadap aturan-aturan yang ada. Ia tidak dapat dilakukan sepotong-sepotong tanpa ada kejelasan tujuan besar yang ingin dicapai. Proses deregulasi untuk mencapai tujuan besar tentunya akan terganggu—dan menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha dan investor—jika muncul kembali aturan-aturan baru yang melawan semangat deregulasi itu. Ini biasanya terjadi bila timbul sentimen keberpihakan yang tidak jelas, dikotomi dalam negeri dan luar negeri, nasional dan asing, kita dan mereka, di dunia yang justru semakin terintegrasi.

Sejatinya, kita sudah menyaksikan gelombang deregulasi sejak awal 1980-an dan dalam perjalanannya kebijakan deregulasi ini selalu ditimpali dengan semangat regulasi ulang yang pada ujungnya mendorong pemerintah untuk menggulirkan lagi kebijakan deregulasi. Semakin sering digulirkan paket deregulasi mungkin justru merupakan pertanda buruk: karena kita telanjur meregulasi ulang apa yang dulu pernah dideregulasi; atau karena kita memang mengelola ekonomi ini sepotong-sepotong.

Apa yang dihasilkan dari perilaku di atas mudah diduga: tujuan deregulasi tidak tercapai sehingga daya saing tidak terdongkrak karena produktivitas dan efisiensi tetap rendah serta ekspor tidak meningkat secara signifikan karena hanya mengandalkan komoditas primer. Ini akan menciptakan ketidakpastian iklim usaha yang membuat calon investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal jangka panjangnya di Indonesia.

Pekerjaan rumah

Jadi, apa yang kurang dari deregulasi dalam konteks daya saing untuk meningkatkan ekspor dan investasi? Amerika Serikat memiliki Regulatory Flexibility Act 1980, sementara di Inggris dapat ditemui Better Regulation Commission yang secara terus-menerus memantau berbagai aturan agar tidak tumpang-tindih dan menimbulkan ongkos yang tidak perlu. Kita akan mudah untuk sependapat bahwa deregulasi itu perlu, tetapi agar semangat dan momentum deregulasi itu dapat dipertahankan untuk mencapai tujuannya, pemerintah juga perlu menggulirkan program regulatory reform secara independen.

Semangat deregulasi dan regulatory reform, seperti dikembangkan di Amerika Serikat atau Inggris, tidak harus diartikan bahwa regulasi tidak diperlukan lagi. Negara mana pun di dunia menerapkan regulasi untuk mengelola perekonomiannya dan semua negara di dunia mengacu pada perjanjian-perjanjian internasional sebagai rujukan dalam merumuskan dan melaksanakan aturan-aturan di tingkat nasionalnya. Di bidang perdagangan, perjanjian internasional yang dijadikan rujukan utama adalah perjanjian-perjanjian di bawah payung Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang kini beranggotakan 164 negara.

Lebih dalam dari perjanjian-perjanjian di WTO adalah berbagai perjanjian preferensi di mana Indonesia sudah menjadi anggotanya atau Indonesia sedang merundingkannya. Perjanjian-perjanjian ini bersifat "WTO plus" dan berlaku hanya di antara para pihak sambil sedapat mungkin meminimalkan free rider.

Perjanjian-perjanjian ini perlu dilihat sebagai platform untuk meningkatkan ekspor barang dan jasa serta menarik investasi, tetapi bersamaan dengan itu diimplementasikan sebagai bagian dari regulatory reform. Bedanya dari reform yang kita lakukan sendiri adalah melalui perjanjian-perjanjian itu, Indonesia menerapkan international best practices serta norma-norma kebijakan yang diakui secara internasional dan mendapatkan bonusnya: tambahan akses pasar dan investasi. Jadi, untuk mendorong ekspor dan mengundang investasi, tidak ada jalan lain selain membenahi perekonomian nasional secara holistik dan mengkaitkannya dengan keterlibatan kita dengan negara lain, khususnya dalam perundingan-perundingan yang sudah, sedang, dan akan diluncurkan. Ini tentu tidak bisa diatasi hanya dengan memperpanjang rantai birokrasi.