Bahasa yang digunakan di negara yang sering dilanda bencana tentu saja memerlukan sejumlah kata dan istilah yang berkaitan dengan bencana-bencana tersebut. Setelah tahun 2004, katatsunami, yang berasal dari bahasa Jepang, mendunia dan juga jadi bagian dari bahasa Indonesia. Meski begitu, bahasa Aceh telah kenal kata smong sebagai penggantinya. Sampai sekarang, kata yang mencerminkan kearifan lokal ini belum masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata tsunami, di lain pihak, telah terekam dengan arti "gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut (biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya)". Rujukan ke Jepang terasa agak janggal, mengingat dekatnya Indonesia dengan gempa bumi dan tsunami yang dapat diakibatkannya.
Tahun 2018 merupakan tahun yang berat bagi Indonesia, bila dilihat dari sisi bencana alam. Sebut saja gempa bumi yang terjadi di luar Lombok dan gempa bumi dan tsunami yang diakibatkannya yang memorakporandakan Palu dan sekitarnya. Awal 2019 pun terasa berat dengan ulah Anak Krakatau yang tetap berlanjut dan meningkatnya aktivitas beberapa gunung api yang lain. Hampir bisa dipastikan bahwa sejumlah bencana alam yang lain menanti.
Ilmuwan dan wartawan pun terlihat semakin aktif memberi peringatan terhadap apa yang bisa terjadi di masa depan, terutama di Pulau Jawa yang amat padat penduduk. Koran Kompas juga menurunkan artikel dengan judul "Ancaman Bencana Katastropik di Jawa" di halaman pertama beberapa saat yang lalu untuk ambil bagian dari gerakan ini. Sebagai pembaca kita tentu mengerti maksudnya, tapi dari segi bahasa saya kira judul ini tetap menarik dicermati sedikit lebih lanjut. Bencana, menurut KBBI, adalah kata benda yang merupakan "sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya". Rasanya, bencana ini tidak jauh dari bahasa Inggrisnya catastrophe, dan Kamus Inggris-Indonesia (Echols dan Shadily) memang menerjemahkancatastrophe sebagai "malapetaka, bencana alam". Entah mengapa alam mesti dicantumkan, padahal tidak semua bencana atau malapetaka yang merupakan bencana alam. Bagaimanapun juga,bencana mesti dikatakan dekat dengancatastrophe yang diserap dari bahasa Yunani (katastrophe) pada abad ke-16. Awalnya hanya dipakai untuk menggambarkan bagian akhir dari sebuah drama, tapi dua ratus tahun kemudian kata ini sudah dipakai seperti pada zaman ini.
Nah, bagaimana dengan kata katastropikyang digunakan oleh Kompas ini? Pencarian di KBBI, Tesamoko, atau kamus-kamus lain yang ada di dekat saya, hanyalah usaha yang sia-sia belaka.Katastrop, katastrof, katastropik ataukatastrofik tidak ditemukan di mana-mana. Meski begitu, kami dapat menduga bahwa katastropik hendak dipahami sebagai kata sifat, dan menyerupai bahasa Inggrisnya catastrophic. Oxford Living Dictionaries memberi contoh "a catastrophic earthquake", yaitu gempa bumi 'katastropik', dan "catastophic damage", atau kehancuran 'katastropik'. Maka, katastropik mesti dimaklumi sebagai kata sifat dengan arti kira-kira bersifat 'bencana'. Dengan kata lain,bencana katastropik itu sama denganbencana yang bersifat bencana, atau dengan kata lain lagi sebuah komposisi kata yang agak canggung. Sebagai perbandingan, kita tidak bakal mengatakan manisan manis, karena dalam kata pertama sudah jelaslah bahwa barangnya manis. Dengan analogi yang sama, bencana katastropik jadi bentuk yang melewah.
Meski demikian, barangkali tidak salah kalau katastropik ini benar-benar diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam arti "bersifat bencana" atau "yang merupakan bencana", karena rupanya belum ada kata yang baik untuk Inggrisnya catastrophicdalam bahasa Indonesia. Usaha untuk menciptakan kata sifat dari kata bencana juga terasa agak aneh: kebencanaan tidak jelas artinya, dan bisa disalahartikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar