Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 Maret 2019

Tarif Jalan Tol (Surat Pembaca Kompas)


Tarif Jalan Tol

Sepanjang akhir tahun 2017 sampai 2018, pantura Jawa dipenuhi oleh truk-truk superbesar dan bus-bus yang galak mencari penumpang. Jalan pantura itu masuk ke dalam kota, seperti Tegal dan Pekalongan, membuat lalu lintas menjadi semrawut dan macet.

Mereka yang ingin menghabiskan masa tua di kampung halaman, menunggu-nunggu dibukanya Jalan Tol Trans-Jawa. Begitu jalan tol dibuka, sekitar Natal 2018, Pekalongan kembali menjadi kampung yang tenang, bebas untuk belanja dan melahap tauto.

Sebulan kemudian tiba-tiba pantura kembali padat; ternyata masa jalan tol gratis sudah lewat. Melihat tarif jalan tol, tidak ada penyebab lain selain tingginya tarif, Rp 75.000 untuk Batang-Semarang yang berjarak 90 km.

Saya semula gembira membaca berita bahwa "Tarif Tol Trans-Jawa Masih Dikaji" di Kompas (27/2/2019), tetapi bingung membaca isinya.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan bahwa evaluasi penentuan tarif jalan tol bukan semata-mata untuk menurunkan tarif, melainkan, antara lain, juga mempertimbangkan para pelaku ekonomi di jalan pantura.

Dikhawatirkan, tarif jalan tol yang terlalu rendah akan membuat orang tidak lagi lewat jalan pantura dan bisnis mereka jadi tidak laku.

Sebagai itikad prorakyat hal ini memang patut dipuji. Akan tetapi, bukankah semua pembangunan jalan tol selalu mengakibatkan kerugian bagi pelaku ekonomi di jalan raya yang ditinggalkan? Bukankah hal ini mestinya sudah dipertimbangkan sebelumnya?

Apakah lebih baik jalan pantura tetap padat dilalui truk-truk ukuran super agar jalannya lekas rusak dan direhab setiap menjelang Lebaran?

Yang lebih canggih lagi, pemerintah bermaksud meniadakan lalu lintas kendaraan superdimensi itu di jalan raya ataupun di jalan tol dan beralih ke kereta api dan kapal.

Bukankah untuk saat ini itu baru cita-cita? Rel ganda kereta baru saja dipasang setelah 70 tahun merdeka, kapal-kapal yang tenggelam karena kelebihan muatan sudah jadi berita biasa. Belum lagi nanti dipertanyakan: bagaimana nasib para pelaku ekonomi di jalan raya dan di jalan tol?

SUMANTORO M
Orang Pekalongan, Tinggal di Jl Daksa,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Kompas, 27 Maret 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger