Salah satu persoalan ekonomi krusial yang dihadapi negara berpenduduk besar seperti Indonesia adalah pengangguran. Tidak mengherankan jika isu ini juga menjadi salah satu isu yang mengemuka dan bernuansa politis selama kontestasi Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2019. Semua kandidat berjanji dan meyakinkan masyarakat untuk menyelesaikan pengangguran, persoalan dasar ini.
Walaupun angka pengangguran terbuka setiap tahun turun dan sekarang tinggal 5,34 persen, pengangguran terselubung masih sekitar 14 persen. Belum lagi tenaga kerja di sektor informal masih berkisar 58 persen.
Dengan demikian, kunci utama penyelesaian masalah pengangguran sangat jelas, terutama terkait ketersediaan lapangan kerja. Sektor yang berkontribusi menyerap tenaga kerja secara masif dan berkelanjutan tentu sektor industri, terutama industri pengolahan. Apalagi, sektor industri pengolahan juga berkontribusi menciptakan nilai tambah perekonomian.
Pemangku kepentingan sepakat, industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan sebagai penggerak utama dan akselerator perekonomian. Sayangnya, membangun kesamaan visi, koordinasi, dan integrasi kebijakan untuk membangun industri yang berdaya saing masih menjadi tantangan berat. Komitmen dan dukungan yang marak untuk membangun Industri 4.0 belum tentu mampu menjawab tujuan reindustrialisasi ini.
Selama puluhan tahun, tujuan ekspor Indonesia hanya terpaku pada pasar tradisional, yaitu ke negara-negara yang notabene negara industri. Pasalnya, Indonesia hanya mampu mengekspor komoditas sebagai bahan baku industri.
Sebaliknya, Indonesia tak hanya memiliki ketergantungan impor produk industri, tetapi juga memiliki ketergantungan bahan baku dan bahan penolong industrinya. Anomali itu membuktikan, ada yang salah dengan kebijakan, arah, dan orientasi industrialisasi di Indonesia.
Sebenarnya, deindustrialisasi dini yang kian masif sudah lebih dari cukup untuk mengevaluasi "kegagalan" kebijakan dan fokus industri di dalam negeri. Ketika industri tak mampu berkembang, artinya ketahanan dan daya saing industri lemah dan rapuh. Apalagi, investasi baru semakin tak ada yang tertarik masuk ke sektor manufaktur.
Investor yang masuk hanya di sektor portofolio atau sektor jasa. Padahal, secara kalkulasi, ekonomi investasi di sektor industri justru berpotensi memberikan imbal hasil jangka panjang dan berkelanjutan. Itu terutama di negara dengan sumber bahan baku melimpah dan pasar yang besar seperti Indonesia. Sekali lagi, ketidaktertarikan investor itu lebih disebabkan berbagai kendala investasi dan tekanan ekonomi biaya tinggi di sektor manufaktur.
Menjawab tantangan
Karena itu, arah kebijakan industri harus mampu menjawab tantangan tersebut. Setidaknya reindustrialisasi harus segera fokus pada beberapa industri andalan yang benar-benar memiliki daya saing. Pertama, memperkuat industri hulu.
Indonesia harus berani menghentikan ekspor komoditas tambang, seperti mineral logam, kemudian membangun industri logam dasar dan baja, termasuk industri petrokimia.
Kedua, mempercepat hilirisasi industri. Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia mestinya memiliki keunggulan absolut untuk hilirisasi industri berbasis sawit.
Tidak hanya terpaku pada pengembangan B-20, tetapi juga dikembangkan untuk produk pangan, kimia, farmasi, dan sebagainya. Dengan demikian, ekspor Indonesia tidak akan terganggu meski ada kampanye negatif dan hambatan terhadap ekspor sawit Indonesia.
Ketiga, insentif terhadap industri padat karya. Industri padat karya merupakan solusi konkret terhadap angka pengangguran di Indonesia. Tidak ada salahnya berbagai kemudahan, fasilitas, dan insentif investasi diberikan asal berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang besar untuk tenaga kerja Indonesia.
Keempat, industri substitusi impor. Tekanan defisit neraca perdagangan merupakan alarm dan lampu kuning terhadap perekonomian. Apalagi, industri manufaktur yang berkembang di dalam negeri banyak yang bergantung pada bahan baku impor. Jika struktur ini tidak berubah, pertumbuhan sektor industri akan selalu didorong peningkatan impor, yang akan menciptakan tekanan yang semakin dalam bagi transaksi berjalan.
Untuk itu, dibutuhkan kesamaan visi dari seluruh pemangku kepentingan industri, terutama dalam menciptakan daya tarik investasi. Infrastruktur kawasan industri yang efisien dan logistik nasional yang terpadu mesti dipenuhi.
Ide membangun poros maritim jangan sekadar untuk mengurangi disparitas harga antardaerah. Pelabuhan juga harus dapat menjadi sarana untuk mengembangkan potensi daerah melalui industrialisasi.
Pembangunan konektivitas daerah pinggiran, daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan dapat pula dilakukan melalui koordinasi dan memanfaatkan pelabuhan BUMN. Pelabuhan-pelabuhan khusus di daerah dapat dimaksimalkan untuk mendukung kebijakan tol laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar