Pada masa (tempus-tempora) itu, kekerasan senjata, kekasaran politis, kekejian ekonomis, tekanan kultural dan kasak-kusuk parlemen terjalin ruwet dan membuat rakyat tak mampu lagi melihat masih ada atau tidakkah moralitas di kalangan pemuka mereka. Sekarang ini, kerusuhan lahir-batin menimpa juga Argentina, Brasil, Venezuela, dan beberapa negara di bagian lain dunia. Ricuh.
Di kalangan Romawi waktu itu, titik rawannya mencuat pada beberapa gerakan yang dilakukan oleh Catilina, seorang politikus dari kelompok yang memiliki latar belakang yang "lebih terpandang", tidak dari "lapisan rakyat jelata" seperti Cicero. Bau kongkalikong perebutan pengaruh sangat menyengat, tanpa memedulikan pegangan etika politik: yang terpenting kekuasaan publik.
Sesungguhnya, masyarakat Romawi waktu itu punya pelbagai tradisi dan aturan yang tidak terlalu buruk, dari segi rumusan hukum. Banyak aturan dikalimatkan dengan jelas. Bahasa politis yang dipergunakan didukung oleh formalisme budaya yang tertata.
Namun, dalam lapisan di bawah permukaan, politik dirusuhkan oleh perebutan kekuasaan, yang bukannya mengupayakan bonum commune, melainkan rebutan posisi politis. Pemimpin-pemimpin masyarakat bersekongkol untuk memperoleh posisi paling menguntungkan demi kemenangan publik bagi dirinya sendiri, golongannya, keluarganya atau partainya.
Atas dasar itulah Cicero menulis kalimat di atas: "Zaman macam apa ini? Moralitas macam apa pula ini?" Mereka yang telah mengangkat sumpah untuk mengabdi kepada rakyat, ternyata berhati, berbicara, dan bertindak busuk (dalam bahasa Latin disebut corruptus—asal kata dari istilah 'korupsi').
Orang-orang yang minta dipilih rakyat untuk menjadi wakil rakyat dalam menata negeri, ternyata menggerogoti negara dengan merusak etika dan moral bernegara. Para pemimpin daerah atau pemuka aparat pemerintahan, yang seharusnya menjaga kepentingan rakyat umum, justru merusak tatanan serta menyebabkan "pelayanan publik" tinggal istilah dan tidak terwujud dalam kejadian sehari-hari.
Banyak slogan pemerintahan dibungkus dengan istilah-istilah dari dunia dewa-dewi, yang aromanya suci tetapi pada kenyataannya memakai topeng religiositas untuk membantai lawan-lawan politik melalui manipulasi perumusan maupun topeng religi.
Etika politik
Etika politik yang dikehendaki Cicero dan kawan-kawannya adalah satunya kata dan perbuatan dengan niat hati nurani sejati: bukan sekadar nama atau slogan atau lambang kepartaian. Sebab, pegangan etis mereka menghendaki bahwa suara hati benar-benar dipakai dalam mengabdi rakyat dan mempersatukan rakyat; bukannya malah merangsang perpecahan dan saling memamerkan iri hati dan menyeret rakyat dalam perpecahan atau konflik.
Pemimpin rakyat yang sungguh demokratis (sesuai demi kedaulatan rakyat) melayani dengan hikmat kebijaksanaan karena sudah sesuai dengan apa yang dimusyawarahkan demi asas kesejahteraan sosial. Hukum memberi kerangka yang tegas demi kebahagiaan bersama, dan bukan justru menyiapkan celah-celah kecil, untuk mengupayakan keuntungan curang egoisme kelompok, dengan dalih religius apa pun; apalagi diam-diam mendukung kekerasan di kalangan rakyat jelata. Keadilan seharusnya dilakukan seturut simbolnya, dipegang oleh wanita yang halus rasa dan ditutup matanya agar menguntungkan orang benar secara sungguh seimbang; bukannya pilih kasih.
Pewartanya, seperti Cicero, berani mengambil posisi jujur di tengah, bukannya ikut memalsukan atau menyuramkan kebenaran dengan menyindirkan arah, demi kepentingan diri sendiri, keluarga atau kelompok sendiri. Bila tidak, tergodalah orang untuk juga berseru selantang mungkin "O tempora! O mores!"—Zaman macam apa ini? Etika macam apa ini?
Kebanyakan dari kita sekarang membayangkan Indonesia yang bersatu padu dalam zaman yang nyata, tetapi menyatu dengan adat yang mulia: penuh hikmat dan kebijaksanaan. Pemuka yang kita nantikan adalah yang taat asas, sebagaimana Pembukaan UUD 1945 yang membela kemerdekaan dan membangun kecerdasan rakyat; bukan memperbodoh rakyat dengan banyak pembohongan.
Kita mengundang hadirnya Ratu Adil sejati. Secara nyata dan bukan sekadar dalam nada retorika hebat, tetapi memaparkan rangkaian prinsip politis ataupun kebudayaan yang tak konsisten satu sama lain. Kalau demikian akan menjadi berdaya guna pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar