KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pelari Indonesia, Lalu Muhammad Zohri (tengah) bertarung pada final lari 100 m putra Asian Games di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (26/8/2018). Zohri mencatat waktu 10,20 detik dan finish diurutan ke-7. Emas diraih oleh perlari China, Su Bingtian (kanan).

 

Suasana optimisme muncul kembali dari dunia atletik Indonesia ketika dua medali emas diraih pada Grand Prix Atletik Asia di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dua medali emas itu buah perjuangan pelari cepat Lalu Muhammad Zohri dan Sapwaturrahman. Zohri, bintang muda atletik Indonesia yang merebut medali emas di nomor 100 meter putra, dengan catatan waktu 10,20 detik. Adapun Sapwaturrahman, dalam kejuaraan yang berakhir Sabtu (30/3/2019), meraih emas dengan lompatan 7,97 meter.

Dua emas ini menjadi modal positif sebelum tampil di Kejuaraan Asia di Doha, Qatar, April nanti. Pencapaian Zohri dan Sapwaturrahman ini lagi-lagi membuahkan optimisme bahwa atlet atletik Indonesia mampu bersaing di level Asia. Tak cuma di Asia Tenggara.

Selain di Malaysia, hasil positif juga diraih tim Indonesia yang berlaga di Kejuaraan Singapura Terbuka, 28-29 Maret 2019. Di Singapura, tim "Merah Putih" meraih 2 emas, 2 perak, dan 3 perunggu. Pencapaian itu lebih baik ketimbang tahun lalu, dengan 2 emas, 2 perak, dan 2 perunggu.

Belum lama berselang, pada Asian Games Jakarta-Palembang 2018, atletik Indonesia meraih salah satu prestasi terbaiknya dengan merebut perak nomor lari 4 x 100 meter putra. Kuartet Merah Putih, yang diperkuat Zohri, M Ahmad Fadlin, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara, menjadi yang kedua tercepat menembus finis setelah tim Jepang.

Zohri dan kawan-kawan membukukan catatan waktu 38,77 detik. Prestasi ini ibarat oase bagi tim estafet 4 x 100 meter putra, yang terakhir kali meraih perak pada Asian Games Bangkok 1966.

Berbeda dengan bulu tangkis dan angkat besi yang relatif sering berbicara di level dunia, atletik Indonesia tergolong sulit bersaing di tingkat Asia, apalagi dunia. Pada Kejuaraan Atletik Asia 2018, di Bhubaneswar, India, misalnya, lima besar klasemen akhir perolehan medali ditempati tuan rumah India di posisi puncak, diikuti China, lalu Kazakhstan, Iran, dan Vietnam.

Di tingkat dunia, pencapaian terbaik atletik Indonesia tak lain pada Olimpiade Los Angeles 1984, atau 35 tahun lalu. Saat itu, sprinter Purnomo, yang belum lama meninggal, mencapai babak semifinal lari 100 meter. Setelah itu, belum ada sprinter lain yang menyamai prestasi itu.

Di kancah olahraga tiada prestasi yang instan. Tidak ada juara yang lahir tiba-tiba. Karena itu, lahirnya Zohri sebagai juara di Asia pun perlu proses dan itu tak sebentar. Tahun lalu, Zohri melesat 10,18 detik, saat menjuarai nomor 100 meter putra Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Finlandia.

Catatan waktu Zohri di Kuala Lumpur, yang lebih lambat 0,02 detik dari penampilan di Finlandia, masih memperlihatkan sisi kelemahan Zohri yang belum punya feeling tepat pada aba-aba start.

Begitu pula Sapwaturrahman, yang terpancing emosi untuk berlari lebih kencang menjelang batas lompatan. Kelemahan-kelemahan itu harus serius dibenahi.