Biasanya, ketika saya "tenggelam" begitu saja dalam suasana dan pergaulan spontan dengan sekelompok orang di satu kota yang saya kunjungi, saya mendapatkan pengetahuan tentang apa yang terjadi dalam diri mereka. Entah itu kelompok pedagang daging, tukang becak, penjual makanan kaki lima, hingga pemulung, preman, atau para pengemudi ojek online (ojol).
Isi obrolan memang berbeda jika kota atau provinsi yang saya kunjungi berbeda. Begitupun dalam waktu, ada gradasi atau perbedaan antara obrolan pagi, sore hari, dan menjelang tengah malam. Semua bercerita tentang hidup dan kehidupan yang mereka hidupi. Begitu nyata, hampir tak ada yang menyedihkan atau melodramatis, tetapi umumnya malah menggembirakan atau setidaknya "menggelikan". Artinya, situasi apa pun yang dialami pribadi atau kelompok, ketika dibicarakan bersama secara rileks, ia menjadi komedia, setragis apa pun situasi itu.
Betapa banyak pengetahuan dan pemahaman mendalam bisa saya dapatkan. Lebih dari yang saya dapatkan dari ruang kuliah, mimbar seminar, atau diskusi para pengamat/ahli, terlebih di media massa. Situasi atau pengalaman ini sungguh membahagiakan. Kecuali belakangan tahun ini. Semua hal yang membahagiakan itu sirap dan sirna secara perlahan.
Topik berganti secara silir, keseriusan datang bergilir, sekonyong semua menjadi kritikus, bahkan mengumpat sehingga perbedaan (yang semula begitu mudah dicairkan) mengental, bahkan membeku menjadi jurang yang memisahkan. Humor dan komedi hilang, tragik jadi melodrama, hidup dihidupi kewaspadaan karena dunia seperti menjadi semacam kumpulan ancaman. Tidak hanya pada orang asing, tetapi juga sahabat, kerabat, atau anggota keluarga dekat.
Topik yang silir dan menjadi sihir itu tidak lain adalah politik. Tentu saja politik di tingkat permukaan, mulai dari soal tokoh, gosip, perilaku, hingga berita palsu yang diterima sebagai kebenaran, bahkan final. Mereka tidak lagi bicara tentang hidup mereka, keluarga mereka, pekerjaan, rezeki, atau dunia pergaulan sehari-hari. Semua kalah menarik dengan tema baru ini, trending topic bernama politik.
Saya jadi merasa asing karena melihat mereka juga saling mengasingkan dengan tema, istilah, persoalan, hingga bentuk analisis yang asing. Politik seperti sukses mengalienasi publik dari realitas hidupnya sendiri. Politik bukan hanya panglima, melainkan ia sudah menjadi need, bahkan basic need, menjadi hidup itu sendiri.
Mungkin ungkapan itu hiperbolis. Tak apa, gaya bahasa semacam ini diperlukan untuk memperkuat pemahaman di kalangan orang yang kurang mengenali masalah bersangkutan atau sudah kebal dengan ungkapan formal-sederhana sekalipun ia logis. Maka, dalam situasi di atas, segala hal akan menjadi sah ketika ia mendapat semacam legitimasi "benar" dalam dimensi/kepentingan politisnya. Terserah apa pun muasal dari legitimasi itu.
Tak perlu diperiksa, diuji, atau diverifikasi karena dalam politik Indonesia hari ini, tujuan politik—notabene untuk akses kekuasaan—adalah legitimator paling otoritatif dari kebenaran apa pun yang tercipta dalam pencapaian tujuan tersebut. Jadi, bukan hanya logika—katakanlah—teori Machiavellian dapat dipelintir untuk kepentingan itu, melainkan juga rasionalitas dalam agama, budaya, adat, bahkan akademik juga bisa diperdaya demi tujuan yang sama.
Saya meringis dan getir saat menyaksikan, mendengar, dan merasakan bagaimana pengemudi ojek atau petugas kebersihan yang sedang istirahat makan gorengan dan kopi juga meniru "permainan logika" dan seolah juga retorika dengan diksi dan semantika dari para pekerja politik. Walau tentu saja, saat mereka menyebut satu istilah, yang secara etimologis apalagi terminologis keliru, tetap dengan gagah mereka menggunakannya. Segagah ilmuwan, para pakar, atau pengamat di pelbagai media. Walaupun mungkin tingkat kekeliruannya tidak berbeda jauh.
Saya kehilangan teman, rakyat kecil yang menjadi saudara selama ini. Mereka yang sudah kehilangan fokus dari kesejatian hidup sebenarnya. Saya mulai kehilangan kegembiraan, juga kebahagiaan karena hidup rileks, humoris, dan penuh makna juga terkikis dan lebih cepat habis daripada kopi yang tak lagi manis.
Tong setan politik
Saya tidak tahu, apakah realitas di atas ada di dalam hati dan pikiran para politikus, terutama elitenya saat mereka begitu sibuk dengan gladiasi kata, diksi, dan semantika atau pelintiran logika dalam kontestasi—yang seolah perang merebut kuasa—politik belakangan ini. Adakah relasi makna dan signifikansi di antara "perang politik" dengan rakyat yang teralienasi tersebut. Bukankah dalam relasi dan signifikansi itu, makna dan tujuan politik tersimpan, bahkan—konon—demokrasi mengidealisasinya?
Memang, kegetiran itu sesungguhnya bermula dari pergaulan "warung diskursif" kaum elite politik kita. Dari perbuatan atau tingkah laku hingga ujaran (parole) yang mereka mainkan, tidak ditemukan hidup atau dunia (langue) yang substantif, dalam arti penuh nilai yang meluhurkan manusia, publik, atau rakyat kecil khususnya. Mereka berputar, memainkan sirkus tong setan di dalam diri dan kelompoknya sendiri. Menciptakan kebiasaan akhirnya semacam "tradisi" politik yang kerap menafikan, bahkan menghina subyek utamanya: konstituen. Mungkin sebagian sudah membunuh eksistensi konstituen itu sebagai subyek, menggantinya dengan subyek baru yang dianggap representannya: diri sendiri.
Tradisi ini bukan kebudayaan, melainkan sosiofak juga mentifak, bagian dari apa yang saya sebut produk budaya. Bagaimana tingkat kebudayaan bangsa kita saat ini, dalam dimensi politik misalnya, bisa diukur dari produk-produknya itu. Sebuah ukuran yang bisa Anda nilai sendiri untuk membuktikan bahwa apa yang sering kali kita agungkan, banggakan, bahkan dianggap sebagai arsenal bangsa utama, ternyata tidaklah seindah jargon atau propagandanya.
Tidaklah, sama sekali tak sama dengan contoh-contoh produk kebudayaan yang selama ini kita anggap milik kita hari ini, seperti: Borobudur, tari kecak, sastra adiluhung La Galigo, wayang kulit, bahkan sebuah kerajinan kursi ukir atau gerabah. Semua itu diproduksi oleh kebudayaan "lain", kebudayaan nenek moyang, bukan kita.
Kebudayaan kita saat ini, seperti contoh politik di atas, memiliki produk yang mengenaskan, bahkan di tingkat tertentu memalukan dan destruktif, alih-alih konstruktif sebagaimana galib dan mestinya. Hampir semua karya budaya kita belakangan ini, baik yang disebut modern, high tech (berbasis Industri 3.0, 4.0, apa pun), maupun yang berbasis tradisi tidak lebih merupakan tetiron jika bukan plagiasi dari karya orang lain (asing) atau karya leluhur.
Kita tidak mengkreasi apa pun, kita hanya merekreasi. Itu andalan utama kita hari ini: rekreasi. Di segala bidang, segala tingkat, dan dimensi.
Plagiarisme pada dasarnya memiliki nilai yang rendah, di beberapa hal ia hina, bahkan dalam dunia akademik, ia bisa tergolong kriminal. Jika aktivitas itu rutin atau jadi kebiasaan, destruksi yang akan dihasilkannya. Sebagian orang yang memplagiasi atau merutinkan kebiasaan perilaku modern sebagai turunan dari budaya global, katakanlah seperti persaingan atau kompetisi merebutkan posisi atau rezeki, dapat menciptakan tindakan destruktif, yang bukan hanya mengingkari sistem, mengkhianati hukum, dan merusak tatanan hidup normatif/etis.
Remaja atau anak-anak yang hidup menunduk, bisa 4-10 jam sehari, karena sibuk memelototi layar LCD pada gawainya akan kehilangan fokus pada kehidupan, pada disiplin yang harus dijalankan, pada dunia teman, keluarga, dan seterusnya menjadi akultural, asosial, bahkan sebagian asusila.
Beberapa peristiwa yang hampir tak ada presedennya dalam sejarah kebudayaan bangsa ini sekarang kerap mengisi berita media massa, membuat kita berfantasi apakah kita hidup di ruang dan waktu yang berbeda. Ketika seorang suami membunuh istrinya hanya karena tidak mau melayaninya, seorang ibu memedofilia, bahkan membunuh anak kandungnya sendiri, gadis-gadis yang hamil berkali-kali akibat incest yang dilakukan ayah biologisnya sendiri, begitupun anak membunuh orangtuanya sendiri hanya soal sepele atau salah paham.
Ratusan ribu pelanggaran lalu lintas terjadi setiap hari hingga ia menjadi norma, bahkan menantang dan menganggap dirinya benar saat ditegur. Korupsi kolektif di banyak lembaga negara/pemerintah yang menganggap atasan yang jujur sebagai "tidak setia kawan" dan pantas tak diikuti perintahnya.
Kebudayaan apa yang telah kita kembangkan dan hidupi selama ini? Siapa yang memperhatikan saksama, mengurus, dan mencari jalan keluarnya? Siapa yang berpikir bahwa proyek pembangunan untuk mencipta negara yang kuat sesungguhnya membangun bangsa yang kuat, manusia yang berkarakter dan integritas yang kuat; membangun dasar dari semua itu: kebudayaan bangsa yang kuat.
Namun, ternyata fokus dari penyelenggara negara, pemerintah di semua bentuk dan tingkatannya, bukan pada persoalan dasar itu. Hal mendasar itu, kebudayaan, disalahartikan hanya dalam pengertian paling sederhana, yang kerap artifisial, bahkan eksploitatif alih-alih eksploratif dan kreatif: menciptakan semacam etalase untuk memamerkan produk budaya para leluhur sebagai hijab dari kekerdilan budayanya sendiri. Itulah yang terjadi, misalnya, saat para calon wakil presiden memaparkan program kebudayaan dalam debat ketiga yang diselenggarakan KPU beberapa waktu lalu.
Kebudayaan dipahami sebagai selebrasi atau kemegahan ekshibisionis lewat program membangun sebuah gedung opera semegah apa yang ada di Sydney, Australia. Atau menjadi sumber industri kreatif yang tak lain adalah eksploitasi potensi material-finansial semata untuk mendapatkan surplus ekonomi. Semua yang memiliki ukuran materialistik agar dapat dibungkus sebagai pengisi portofolio sang elite demi pencapaian syahwat kuasanya.
Saya merasakan situasi yang tragik dalam komprehensi di atas. Namun, saya tetap berusaha gembira supaya hidup masih bisa saya bela dan percaya bahwa harapan adalah kompor agar masa depan tetap menyala.
Ciptakan pabrik budaya
Namun, kompor itu akan baik bekerja jika pabrikannya unggul dan berkualitas. Jadi, mari kita memeriksa pabriknya, teknologi, juga ilmu pengetahuan yang menjadi basis pendiriannya. Maka, janganlah kita terlalu sibuk dengan kompor, sebagai produk, soal jenis, bentuk, cara kerja, proses fungsi, dan sebagainya. Lalu, karena bingung, kemudian kita tinggal meniru pabrikasinya atau menjadi konsumen dari impor (produk) kompor itu.
Kita harus mulai bicara dengan ilmu serta anak kandungnya, teknologi, yang menjadi basis dari pabrik kompor tersebut. Kita harus mulai bicara tentang kebudayaan serta pelbagai pengetahuan, kearifan, dan tradisi di dalamnya agar dapat membangun pabrik-pabrik yang menghasilkan produk (budaya) berkualitas.
Berhentilah kita, misalnya, memamerkan atau mengetalasekan kutipan, teori, atau pemikiran orang asing untuk mengonstitusi diri dan kenyataan kita sendiri. Mulailah kita membuat pernyataan, kutipan, atau teori kita sendiri, berbasis riset atau karya-karya akademik yang mendapatkan keabsahan internasional. Sudahilah menulis puisi, prosa, atau drama dengan basis estetika Barat, sementara sastra daerah kita begitu kaya juga dengan estetiknya masing-masing.
Bangunlah kota dan gedung berbasis teknologi arsitektural yang begitu kaya—bahkan unggul—dalam dunia tradisi kita. Sebaiknya tidak lagi kita memainkan simbol-simbol, yang kadang tidak ada hubungannya sama sekali dengan, agama yang kita anut demi tujuan pragmatis-oportunis alih-alih tujuan kesalehan ibadahnya.
Mari kita mulai menghargai adat dan tradisi kita, di mana (lima) dasar/elemen dari (ke)budaya(an), yakni nilai, norma, moralitas, etika, dan estetika, bermuara. Sebab, dengan cara itu kita bukan hanya melanjutkan—tidak melulu meniru produk budaya—karya luhur para leluhur, baik dengan kreasi baru maupun carangan (varian)-nya, melainkan juga kita dapat menggunakannya untuk menyikapi secara proporsional dan matang budaya baru yang datang dari luar secara tsunamik belakangan ini.
Tak ada yang perlu ditakuti atau dihindari semua produk asing dan baru itu. Sebagaimana para leluhur juga tradisinya mengajarkan, kebudayaan kita—yang tak pernah henti berkembang itu—adalah alat yang ampuh untuk menghadapi, mengabsorbsi, hingga menaklukkan budaya luar yang masuk ke dalam diri kita. Bahkan, mengelindankannya menjadi anasir yang membentuk jati diri hingga karakter baru kita, jati diri masa kini.
Semua harus dilakukan secara bersama dalam waktu yang seiring. Terutama kalangan elite, di bidang apa pun, mulai mengoperasikan budaya lokalnya masing-masing dalam menjalankan aktivitas profesionalnya. Berbasis pada lima elemen kebudayaan yang ditradisikan dalam pelbagai ritus di dalam adat lokal kita semua.
Dengan itu, kita tak akan terjerembap, jatuh ke dalam jurang konsumerisme berlebihan, menjadi korban dari kepentingan serakah pihak lain dan akhirnya lebih percaya (kekuatan) diri sendiri.
Proses itu akan berlangsung terbalik, bahkan mendestruksi (negara) kita sendiri jika elite juga penyelenggara negara tidak mengurus kebudayaan yang sebenarnya. Tidak (berusaha) paham, sibuk dan fokus pada eksploitasi produknya yang negatif, hingga pada tingkat meminggirkan kebudayaan sebagai kegiatan pemerintahan yang hanya membuang anggaran (cost), padahal sebenarnya ia adalah investasi terbesar, jauh lebih besar dari investasi bisnis, material (infrastruktur), bahkan pertahanan.
Ini bukan soal Anda percaya atau tidak, melainkan semata paham atau tidak.
Radhar Panca Dahana Budayawan
Kompas, 8 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar