Ihwal "Kompas" Menjawab
Dalam Kompas (26/3/2019) Ninok Leksono menulis di halaman pertama paling atas: Kompas Menjawab. Ini menunjukkan betapa penting Kompas menilai dampak keramaian di media sosial dalam menyikapi artikel yang dimuat harian ini sekitar pilpres.
Betapa sulit membangun reputasi suatu lembaga ataupun perseorangan dan betapa mudah menghancurkan reputasi yang dibangun dengan susah payah. Credential (kredensial) dan credibility (kredibilitas) adalah istilah yang sering digunakan dalam menilai tingkat kepercayaan kepada suatu lembaga atau perseorangan. Jakob Oetama dan PK Ojong, pendiri Kompas, adalah sosok yang kredibel yang membawa harian ini memperoleh kredensial dari masyarakat. Mungkin inilah yang dikenal sebagai penilaian bahwa kedua orang itukredibel. Kredibilitas membawa Kompas menjadi lembaga yang memiliki kredensial.
Perubahan zaman membawa suatu fenomena: berkembangnya media sosial yang dipadani dengan meluasnya penggunaaan internet. Siapa pun dapat menyampaikan pendapatnya, baik perseorangan maupun kelompok, tanpa ada yang dapat mengendalikannya. Warren Buffett pernah membuat suatu pernyataan yang sangat mengena, "Perlu waktu 20 tahun untuk membangun nama baik dan hanya memerlukan lima menit untuk menghancurkannya".
Yang dialami harian Kompas sebenarnya banyak dibahas dalam berbagai ulasan. Intinya, hal negatif yang berdampak pada suatu lembaga ataupun perusahaan dapat dihindari dengan tiga cara: isi bahan publikasi haruslah terawasi dengan baik (Ninok menjelaskan hal ini sudah merupakan kebijakan Kompas); hindari isi yang menimbulkan kontroversi—mungkin hal ini yang dialami Kompas; dan hoaks yang memanfaatkan kedua hal di atas. Melihat pembentukan opini publik yang begitu cepat, hal ini mungkin terjadi. Namun, barangkali, tanpa niat seperti itu. Opini langsung disebarluaskan.
Kompas sebagai media arus utama yang puluhan tahun memberikan informasi dan ulasan yang mendidik masyarakat banyak tentu tak boleh dibiarkan kehilangan peran oleh adanya persepsi sesaat yang meluas di dalam masyarakat.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasarmanggis,
Setiabudi, Jakarta Selatan
Reaksi Publik
Saya menjadi terperangah melihat reaksi publik yang negatif terhadap harian Kompas setelah koran ini memuat hasil survei dukungan publik terhadap kedua capres-cawapres yang dinilai tidak obyektif serta menguntungkan salah satu pasangan karena dukungannya yang meningkat.
Padahal, menurut saya, suatu hasil survei itu hanya bersifat tentatif, bukan sesuatu yang pasti. Reaksi publik melalui media sosial, baik Facebook maupun Whatsapp, yang mengimbau masyarakat memboikot dan tidak berlangganan harian ini jelas merupakan reaksi yang bersifat reaktif dan bukan responsif.
Ini menunjukkan ketidakdewasaan publik yang tidak mendukung kehidupan berdemokrasi di negara kita tercinta. Kehidupan berdemokrasi masyarakat hanya akan berkembang jika masyarakat memiliki sikap yang responsif dan sikap yang reaktif akan memperlemah kehidupan berdemokrasi itu sendiri.
Sikap yang responsif dimiliki oleh orang yang telah dewasa dalam berpikir dan bertindak karena reaksinya didasarkan pada nalar yang sehat dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari kondisi yang dihadapinya.
Sebaliknya, sikap yang reaktif didasarkan pada emosi sesaat yang berujung pada konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Saya sangat mendambakan hidup masyarakat yang dewasa dalam menyikapi semua persoalan yang ada. Dengan begitulah kehidupan berdemokrasi bisa berkembang dari waktu ke waktu.
Bun B Kumala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar